Sunday, December 22, 2013

Penyakit Penuntut Ilmu


Manusia dilahirkan dalam keadaan jahil (bodoh), kedua orangtua, dan lingkungannya yang menjadikan ia seorang kafir atau seorang muslim. Allah dengan sifatnya yang Maha Adil lebih mengetahui siapa saja yang pantas menjadi seorang muslim dan siapa saja yang pantas masuk ke dalam golongan orang-orang yang durhaka.

Sebagai manusia yang telah Allah beri nikmat Islam dan menjadi seorang muslim, maka adalah suatu kewajiban untuk bersyukur atas nikmat tiada tara tersebut. Menuntut ilmu agama adalah perwujudan dari rasa syukur atas nikmat Islam yang telah Allah anugerahkan kepada kita. 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Dunia itu terlaknat dan segala yang terkandung di dalamnya pun terlaknat, kecuali orang yang berdzikir kepada Allah, yang melakukan ketaatan kepada-Nya, seorang ‘alim atau penuntut ilmu syar’i.” [HR. Tirmidzi, Ibnu Majah. Dalam Shohihul Jami’, Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini hasan]

Sesungguhnya syaitan tidak suka pada seorang hamba yang menjalankan ketaatan kepada Allah. Seorang penuntut ilmu agama ibarat pejuang yang sangat berpotensi menjadi musuh besar dalam memerangi syaitan dan pasukannya. Penuntut ilmu bagaikan tabib yang membawa penawar racun dimana iblis dan pasukannya terus menerus tiada lelah menyuntikkan racun tersebut ke dalam dada-dada manusia. Jikalau seperti itu kenyataannya maka siapakah yang lebih pantas untuk dibinasakan oleh iblis dan pasukannya? Tentulah seorang penuntut ilmu lebih menjadi prioritas untuk diracuni oleh mereka.

Kesibukan seseorang dalam berbagai bidang keilmuan dan dakwah terkadang membuatnya lupa, dan bisa juga syaitan yang membuatnya melupakan bahwa dirinyalah yang sejatinya menjadi target utama iblis dan pasukannya untuk dibinasakan.

Berikut beberapa penyakit yang biasa menghinggapi para penuntut ilmu:
  1. Merasa diri yang paling tahu terhadap agama
  2. Meremehkan orang lain yang dianggap kurang ilmunya
  3. Fanatik yang berlebihan kepada guru/ustadz/syaikh nya
  4. Merasa bahwa dirinya yang paling benar dan harus diterima hujjahnya
  5. Tidak mengaplikasikan adab seorang muslim dalam bermasyarakat, terkesan tertutup dan sebagian mengeksklusifkan diri/kelompoknya
  6. Ikut-ikutan dalam arena perdebatan ulama tanpa menyadari kekurangan ilmu dan adab, serta akhlaq pada dirinya, sehingga dengan berani mencela seorang ulama yang sedang dikritik/ditahzir oleh ulama lain
  7. Antipati terhadap muslim lain yang tidak sepemahaman dengan dirinya dan menunjukkan dengan sikap ketus dan permusuhan.
  8. Dan lain-lain.
Sesungguhnya penyakit yang menjangkiti seorang penuntut ilmu adalah disebabkan ketidaksadaran bahwa dirinya adalah termasuk salah satu target utama iblis dan pasukannya. Sehingga dikarenakan hal tersebut maka tersebarlah berbagai fitnah, perpecahan di antara penuntut ilmu, dan hal ini tanpa disadari akan berdampak menjauhnya manusia dari dakwah.

Seorang penuntut ilmu haruslah ikut memikirkan kemaslahatan umat dengan menghidarkan berbagai perpecahan dan berusaha mendamaikan dan meredam permusuhan.

Allah Ta'ala berfirman: "Dan berdamai itu adalah yang terbaik." Allah Ta'ala berfirman pula: "Maka bertaqwalah engkau semua kepada Allah dan damaikanlah antara sesamamu sendiri." (al-Anfal: 1)

Juga Allah Ta'ala berfirman: "Sesungguhnya kaum mu'minin itu adalah sebagai saudara, maka damaikanlah antara kedua saudaramu." (al-Hujurat: 10)


Terkadang seorang penuntut ilmu berkaidah bahwa yang haq harus disampaikan, yang mungkar pun harus disampaikan dengan alasan untuk memperingatkan umat. Sekilas hal ini memang benar, tapi bila dilakukan dengan serampangan tanpa diterapkan kaidah-kaidah pertimbangan kemaslahatan, maka sungguh akan terjadi fitnah yang tersebar luas. 

Dari Ummu Kultsum binti Uqbah bin Abu Mu'aith, katanya: "Saya mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: "Bukannya termasuk pendusta orang yang mendamaikan antara para manusia, lalu ia menyampaikan berita yang baik atau mengatakan sesuatu yang baik." (Muttafaq 'alaih) 
Dalam riwayat Muslim disebutkan tambahannya demikian: Ummu Kultsum berkata: "Saya tidak pernah mendengar dari Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam tentang dibolehkannya berdusta daripada ucapan-ucapan yang diucapkan oleh para manusia itu, melainkan dalam tiga hal yaitu perihal peperangan, mendamaikan antara para manusia dan perkataan seorang suami kepada istrinya serta perkataan istri kepada suaminya -yang akan membawa kebaikan rumah-tangga dan lain-lain-."

Bila berdustapun diperbolehkan dalam perkara mendamaikan manusia (terlebih lagi sesama muslim), maka apakah tidak lebih baik untuk menahan suatu informasi hanya dalam kalangan tertentu, dan tidak menyebarluaskannya kepada manusia yang belum menerapkan adab dan kurang berlemah lembut dan berkasih sayang kepada sesama? Dan bilapun diharuskan penyampaian informasi tersebut, seyogyanya seorang penuntut ilmu menyertakan tuntunan sikap dan adab yang luhur dan baik dalam menanggapi informasi yang disampaikan.

Dan hendaknya juga seorang muslim khususnya penuntut ilmu menghindarkan diri dari banyaknya berbicara, kasak-kusuk membicarakan orang/kelompok yang dianggap tidak sepemahaman dengan mereka. Allah Ta'ala berfirman: "Tiada kebaikannya sama sekali dalam banyaknya pembicaraan rahasia mereka itu, melainkan orang yang memerintahkan bersedekah, menyuruh berbuat kebaikan serta mengusahakan perdamaian antara seluruh manusia." (an-Nisa': 114)

Abi Zam, Bandung, 18 Safar 1435 H

Panduan Ringkas Ilmu Waris

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal, MSc


Ilmu waris adalah ilmu yang sangat sedikit sekali dipelajari untuk saat ini. Allah Ta’ala telah merinci dalam Al Qur’an mengenai hitungan warisan. Dan Allah yang memberikan hukum seadil-adilnya. Beda dengan anggapan sebagian orang yang menganggap hukum Allah itu tidak adil karena suuzhonnya pada Sang Kholiq.

Pada kesempatan kali ini, kami hanya menghadirkan secara ringkas mengenai perihal waris. Tidak seperti biasanya kami berkutat dengan banyak dalil. Kami buat panduan waris kali ini dengan begitu sederhana yang banyak merujuk dari kitab fikih Syafi’i Matan Ghoyah wat Taqrib (Matan Abi Syuja’). Dalam tulisan kali ini, kami pun menyampaikan contoh-contoh sederhana mengenai masalah waris. Semoga bermanfaat.

Ahli waris dari laki-laki ada 10:
1. Anak laki-laki
2. Cucu laki-laki dan seterusnya ke bawah
3. Ayah
4. Kakek dan seterusnya ke atas
5. Saudara laki-laki
6. Anak laki-laki dari saudara laki-laki (keponakan) walaupun jauh (seperti anak dari keponakan)
7. Paman
8. Anak laki-laki dari paman (sepupu) walaupun jauh
9. Suami
10. Bekas budak laki-laki yang dimerdekakan

Ahlis waris dari perempuan ada 7:
1. Anak perempuan
2. Anak perempuan dari anak laki-laki (cucu perempuan) dan seterusnya ke bawah
3. Ibu
4. Nenek dan seterusnya ke atas
5. Saudara perempuan
6. Istri
8. Bekas budak perempuan yang dimerdekakan

Hak waris yang tidak bisa gugur:
1. Suami dan istri
2. Ayah dan ibu
3. Anak kandung (anak laki-laki atau perempuan)

Yang tidak mendapatkan waris ada tujuh:
1. Budak laki-laki maupun perempuan
2. Budak yang merdeka karena kematian tuannya (mudabbar)
3. Budak wanita yang disetubuhi tuannya dan melahirkan anak dari tuannya (ummul walad)
4. Budak yang merdeka karena berjanji membayarkan kompensasi tertentu pada majikannya (mukatab)
5. Pembunuh yang membunuh orang yang memberi waris
6. Orang yang murtad
7. Berbeda agama

‘Ashobah yaitu orang yang mendapatkan warisan dari kelebihan harta setelah diserahkan pada ashabul furudh.

  • Urutan ‘ashobah dari yang paling dekat:
1. Anak laki-laki
2. Anak dari anak laki-laki (cucu)
3. Ayah
4. Kakek
5. Saudara laki-laki seayah dan seibu
6. Saudara laki-laki seayah
7. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah dan seibu (keponakan)
8. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah (keponakan)
9. Paman
10. Anak paman (sepupu)
Jika tidak didapati ‘ashobah, baru beralih ke bekas budak yang dimerdekakan

Ashabul furudh yaitu orang yang mendapatkan warisan berdasarkan kadar yang telah ditentukan dalam kitabullah.

  • Kadar waris untuk ashabul furudh: 1/2, 1/4, 1/8, 2/3, 1/3, 1/6
  • Ashabul furudh yang mendapatkan 1/2 ada lima:
1. Anak perempuan
2. Anak perempuan dari anak laki-laki (cucu perempuan)
3. Saudara perempuan seayah dan seibu
4. Saudara perempuan seayah
5. Suami jika tidak memiliki anak atau cucu laki-laki

  • Ashabul furudh yang mendapatkan 1/4 ada dua:
1. Suami jika istri memiliki anak atau cucu laki-laki
2. Istri jika tidak memiliki anak atau cucu laki-laki

  • Ashabul furudh yang mendapatkan 1/8:
- Istri jika memiliki anak atau cucu laki-laki

  • Ashabul furudh yang mendapatkan 2/3 ada empat:
1. Dua anak perempuan atau lebih
2. Dua anak perempuan dari cucu laki-laki (cucu perempuan) atau lebih
3. Dua saudara perempuan seayah dan seibu atau lebih
4. Dua saudara perempuan seayah atau lebih

  • Ashabul furudh yang mendapatkan 1/3 ada dua:
1. Ibu jika si mayit tidak dihajb
2. Dua atau lebih dari saudara laki-laki atau saudara perempuan yang seibu

  • Ashabul furudh yang mendapatkan 1/6 ada tujuh:
1. Ibu jika memiliki anak atau cucu, atau memiliki dua atau lebih dari saudara laki-laki atau saudara perempuan
2. Nenek ketika tidak ada ibu
3. Anak perempuan dari anak laki-laki (cucu perempuan) dan masih ada anak perempuan kandung
4. Saudara perempuan seayah dan masih ada saudara perempuan seayah dan seibu
5. Ayah jika ada anak atau cucu
6. Kakek jika tidak ada ayah
7. Saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu

Hajb atau penghalang dalam waris:
1. Nenek terhalang mendapatkan waris jika masih ada ibu
2. Kakek terhalang mendapatkan waris jika masih ada ayah
3. laki-laki seibu tidak mendapatkan waris jika masih ada anak (laki-laki atau perempuan), cucu (laki-laki atau perempuan), ayah dan kakek ke atas
4. Saudara laki-laki seayah dan seibu tidak mendapatkan waris jika masih ada anak laki-laki, cucu laki-laki, dan ayah
5. Saudara laki-laki seayah tidak mendapatkan waris jika masih ada anak laki-laki, cucu laki-laki, ayah dan saudara laki-laki seayah dan seibu

Kaedah yang perlu diingat: Siapa yang tumbuh dari si fulan, selama si fulan ini ada, maka ia tidak mendapatkan warisan. Misalnya seorang cucu tidaklah mendapatkan waris jika masih ada anak si mayit (ayah dari cucu tadi).

Yang menyebabkan saudara perempuan mendapatkan jatah separuh laki-laki karena adanya 4 orang:
1. Anak laki-laki
2. Cucu laki-laki
3. Saudara laki-laki seayah dan seibu
4. Saudara laki-laki seayah

Paman laki-laki, anak laki-laki dari paman (sepupu), anak laki-laki dari saudara laki-laki (keponakan) dan tuan yang membebaskan budak mendapatkan waris tanpa saudara-saudara perempuan mereka.


Contoh soal 1:
Seorang laki-laki meninggal dunia dengan meninggalkan 1 orang istri , 1 orang anak laki-laki dan 1 orang anak perempuan dari anak laki-laki.


Jawab:
Cucu perempuan: hajb (terhalang) karena adanya anak laki-laki
Istri: 1/8 karena terdapat anak dan cucu.
Sisa 7/8 untuk anak laki-laki.


Contoh soal 2:
Seorang laki-laki meninggal dunia dan meninggalkan 1 anak perempuan dan seorang ayah.


Jawab:
Ayah: 1/6 + 2/6 ‘ashobah
Anak perempuan: 1/2 karena hanya satu, tidak ada anak laki-laki


Contoh soal 3:
Seorang wanita meninggal dunia dengan meninggalkan seorang suami, 1 anak perempuan, 1 anak perempuan dari anak laki-laki, 1 anak laki-laki dari anak laki-laki dari anak laki-laki (cicit).

Jawab:
Suami: 1/4
Anak perempuan: 1/2
Anak perempuan dari anak laki-laki: 1/6
Cicit: sisanya = 1/12


Contoh soal 4:
Seorang pria meninggal dunia meninggalkan seorang ibu, seorang saudara kandung wanita dan seorang paman.


Jawab:
Ibu: 1/3
Saudara kandung wanita: 1/2
Paman: sisa = 1/6


Contoh soal 5:
Seorang pria meninggal dunia dengan meninggalkan seorang ibu, seorang ayah, anak laki-laki, saudara kandung laki-laki


Jawab:
Ibu: 1/6
Ayah: 1/6
Saudara kandung laki-laki: hajb (terhalang oleh anak laki-laki)
Anak laki-laki: sisa


Contoh soal 6:
Seorang pria meninggal dunia dan meninggalkan 2 anak laki-laki, 1 anak laki-laki dari anak laki-laki (cucu), ayah, kakek dan nenek.


Jawab:
Ayah: 1/6
Dua anak laki-laki: sisa
Cucu: hajb (terhalangi oleh anak laki-laki)
Kakek: hajb (terhalangi oleh ayah)
Nenek: 1/6


Contoh soal 7:
Seorang pria meninggal dunia dan meninggalkan ayah, 1 anak perempuan, 1 anak laki-laki, 1 paman, 1 kakek, 1 anak perempuan dari anak laki-laki.


Jawab:
Ayah: 1/6
Kakek: hajb (terhalangi oleh ayah)
Anak perempuan dari anak laki-laki: hajb (terhalangi oleh anak laki-laki)
Paman: hajb (terhalang oleh anak laki-laki dan ayah)
Anak laki-laki dan anak perempuan: sisa
Anak perempuan: separuh dari laki-laki


Contoh soal 8:
Seorang pria meninggal dunia dan meninggalkan 1 anak perempuan, 1 saudara perempuan seayah, 1 anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah, 1 saudara laki-laki seibu.


Jawab:
Anak perempuan: 1/2
Saudara laki-laki seibu: hajb (terhalangi oleh anak perempuan)
Saudara perempuan seayah: sisa
Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah: hajb (terhalangi oleh saudara perempuan seayah)

Semoga sajian sederhana ini bermanfaat.

Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.


Referensi:
At Tadzhib fii Adillati Matan Al Ghoyah wat Taqrib (Matan Abi Syuja’), Prof. Dr. Musthofa Daib Al Bugho, terbitan Darul Musthofa, cetakan ke-11, 1428 H.
Fathul Qoribul Mujib fii Syarhi Alfazhi At Taqrib, Syamsuddin Muhammad bin Qosim bin Muhammad Al Ghozzi (Ibnul Ghorobiliy), terbitan Dar Ibnu Hazm, cetakan pertama, 1425 H.
Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik Kamal bin As Sayid Salim, terbitan Al Maktabah At Taufiqiyah.



@ Ummul Hamam, malam Jum’at penuh berkah, 17 Rajab 1433 H
www.rumaysho.com

Tuesday, December 17, 2013

Milikilah Sifat Sabar, Perlahan-lahan, Kasih Sayang, dan Lemah Lembut


Saudaraku, berikut kami nukilkan 1 bab dari Kitab Riyadhus Shalihin karya Al Imam An-Nawawi tentang Sifat Sabar, Perlahan-lahan, Kasih Sayang, dan Lemah Lembut.

Allah Ta'ala berfirman: "Dan orang-orang yang menahan amarahnya serta memaafkan kepada orang banyak dan Allah itu mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan." (Ali-Imran: 134)

Allah Ta'ala berfirman pula: "Berilah pengampunan, perintahkanlah kebaikan dan janganlah menghiraukan kepada orang-orang yang bodoh." (al-A'raf: 199)

Allah Ta'ala berfirman lagi: "Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan itu. Tolaklah kejahatan itu dengan cara yang sebaik-baiknya, sehingga orang yang bermusuhan antara engkau dengan ia akan menjadi teman yang amat setia. Perbuatan sedemikian itu tidak akan diberikan kepada siapapun, selain dari orang-orang yang berhati sabar dan tidak pula diberikan melainkan kepada orang yang mempunyai keberuntungan besar." (Fushshilat: 34-35)

Allah Ta'ala juga berfirman: "Dan sesungguhnya orang yang berhati sabar dan suka memaafkan, sesungguhnya bagi yang sedemikian itu adalah termasuk pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan dengan keteguhan hati." (as-Syura: 43)

Dari Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma, katanya: "Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Asyaj Abdul Qais: "Sesungguhnya dalam dirimu itu ada dua macam perkara yang dicintai oleh Allah, yaitu sabar dan perlahan-lahan -dalam tindakan-." (Riwayat Muslim)

Dari Aisyah radhiallahu 'anha, katanya: "Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. bersabda: "Sesungguhnya Allah itu Maha Lemah Lembut dan mencintai sikap yang lemah lembut dalam segala perkara." (Muttafaq 'alaih)

Dari Aisyah radhiallahu 'anha pula bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. bersabda: "Sesungguhnya Allah itu Maha Lemah Lembut dan mencintai sikap lemah lembut. Allah memberikan sesuatu dengan jalan lemah lembut, yang tidak dapat diberikan jika dicari dengan cara kekerasan, juga sesuatu yang tidak dapat diberikan selain dengan jalan lemah lembut itu." (Riwayat Muslim)

Dari Aisyah radhiallahu 'anha pula bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya sikap lemah-lembut itu tidak menetap dalam sesuatu perkara, melainkan ia makin memperindah hiasan baginya dan tidak dicabut dari sesuatu perkara, melainkan membuat cela padanya." (Riwayat Muslim)

Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhuma., katanya: "Ada seorang A'rab -orang Arab dari daerah pedalaman- kencing dalam masjid, lalu berdirilah orang banyak padanya dengan maksud hendak memberikan tindakan padanya. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Biarkanlah orang itu dan di atas kencingnya itu siramkan saja setimba penuh air atau segayung yang berisi air. Karena sesungguhnya engkau semua itu dibangkitkan untuk memberikan kemudahan dan bukannya engkau semua itu dibangkitkan untuk memberikan kesukaran." (Riwayat Bukhari) Assajlu dengan fathahnya sin muhmalah dan sukunnya jim, artinya ialah timba yang penuh berisi air, demikian pula artinya kata adzdzanub.

Dari Anas radhiallahu 'anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sabdanya: "Berikanlah kemudahan dan jangan mempersukarkan. Berilah kegembiraan dan jangan menyebabkan orang lari." (Muttafaq 'alaih)

Dari Jarir bin Abdullah radhiallahu 'anhuma., katanya: "Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa yang tidak dikaruniai sifat lemah lembut, maka ia tidak dikaruniai segala macam kebaikan." (Riwayat Muslim)

Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhuma bahwasanya ada seorang lelaki yang berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: "Berikanlah wasiat padaku!" Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: "Janganlah engkau marah." Orang itu mengulang-ulangi lagi permintaan wasiatnya sampai beberapa kali, tetapi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap menjawab: "Janganlah engkau marah." (Riwayat Muslim)

Dari Abu Ya'la, yaitu Syaddad bin Aus radhiallahu 'anhuma dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sabdanya: "Sesungguhnya Allah itu menetapkan untuk berbuat kebaikan dalam segala hal. Maka jikalau engkau semua membunuh, maka berlaku baiklah dalam membunuh itu dan jikalau engkau semua menyembelih, maka berlaku baguslah dalam menyembelih itu. Hendaklah seorang dari engkau semua itu mempertajamkan pisaunya serta memberi kelonggaran kepada apa yang disembelihnya itu," seperti mempercepat jalannya pisau, tidak dikuliti sebelum benar-benar dingin, memberi minum sebelum disembelih dan lain-lain. (Riwayat Muslim)

Keterangan:
Dalam Agama Islam hukuman bunuh itu juga diadakan, misalnya orang yang berzina muhshan, yaitu dengan cara dirajam (lihat hadits keempat belas) atau perampok yang menghadang di jalan dengan cara dibunuh lalu disalibkan, juga seperti orang yang bermurtad dari Agama Islam, iapun wajib dibunuh setelah dinantikan tiga hari untuk disuruh bertaubat. Pembunuhannya dengan dipotong lehernya. Dalam hal hukuman bunuh dengan pemotongan leher ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan tuntunan hendaknya dilakukan dengan sebaik-baiknya, umpama pedang yang digunakan untuk itu hendaklah yang tajam, juga jangan mengadakan siksaan yang tidak-tidak, memotong-motong anggotanya setelah mati, dijadikan tontonan dan lain-lain. Mengenai hukuman rajam, yakni dilempari batu yang sedang, sampai mati untuk orang yang berzina muhshan serta dibunuh lalu disalibkan untuk perampok, maka caranya memang demikianlah yang ditetapkan oleh syariat. Apapun yang sudah digariskan oleh syariat Islam, maka cara itu wajib diikuti, sesuai dengan nash-nash yang ada. Juga di kala menyembelih binatang untuk dimakan, hendaklah dengan cara yang sebaik-baiknya pula, misalnya pisaunya yang tajam, disenang-senangkan dulu sebelum disembelih dengan diberi makan minum secukupnya, dibaringkan di tempat yang rata, pisau dijalankan secepat mungkin sampai putuslah urat besar di lehernya, jangan dikuliti dulu sampai dingin badannya, jangan pula menyembelih yang satu di muka yang lainnya, jangan pula disembelih binatang yang menyusui sebab kasihan anaknya dan lain-lain lagi. Renungkanlah betapa lengkapnya aturan-aturan dalam Agama Islam itu, sampai menyembelihpun diberi tuntunan secukupnya.

Dari Aisyah radhiallahu 'anha, katanya: "Tidak pernah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. itu diberi pilihan antara dua macam perkara, melainkan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tentu mengambil -memilih- yang termudah diantara keduanya itu, asalkan yang dianggapnya termudah ini bukannya merupakan suatu hal yang dosa. Jikalau hal itu berupa suatu dosa, maka beliau s.a.w. adalah sejauh-jauh manusia daripadanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga tidak pernah membalas sesuatu yang ditujukan pada diri pribadinya, melainkan jikalau kehormatan Allah itu dilanggar, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pasti membalasnya semata-mata karena mengharapkan keridhaan Allah belaka." (Muttafaq 'alaih)


Dari Ibnu Mas'ud radhiallahu 'anhuma, katanya: "Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Sukakah engkau semua saya beritahu tentang siapakah orang yang diharapkan masuk neraka atau kepada siapakah neraka itu diharamkan memakannya? Neraka itu diharamkan untuk orang yang dekat pada orang banyak -yakni baik dalam bergaul-, lemah lembut, berhati tenang -tidak gegabah dalam menghadapi sesuatu- serta bersikap mudah -yakni gampang dimintai pertolongan-." Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan ia mengatakan bahwa ini adalah Hadis hasan.

[Terjemah Riyadhush Shalihin - Jilid 1&2 - Pustaka Amani, Jakarta]

Saturday, December 14, 2013

Untuk Para Pencari Hakikat Kehidupan !



Allah berfirman di dalam Al-Quran: "Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia Ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; Kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning Kemudian menjadi hancur. dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia Ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu." (QS. Al Hadid: 20)

Saudaraku, betapa banyak orang yang dahulunya terpandang, kaya raya, gagah perkasa, diagungkan manusia di dunia, sekarang telah menjadi bangkai di kuburan. Mereka berangan-angan agar dapat kembali barang sejenak ke dunia. Untuk apa mereka ingin ke dunia? Mereka ingin kembali hidup di dunia bukanlah untuk kembali pada keluarga ataupun hartanya, bukan untuk kembali pada kedudukan ataupun karena rindu pada teman-temannya, tapi mereka berharap dapat kembali hidup ke dunia hanya untuk beramal soleh, melakukan ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya demi kehidupan setelah kematian di dunia. Namun angan-angan tinggallah angan-angan semua sudah terlambat

Dan manusia yang masih hidup sekarang, berjuang meraih impian kemegahan dunia, mengikuti jejak pendahulunya yang sekarang telah menjadi bangkai di kuburan. Mensia-siakan waktu yang telah diberikan Allah, yang waktu tersebut akan dimintakan pertanggungjawaban kelak di akhirat.


Permisalan Seorang Mukmin di Dunia

Seorang mukmin hidup di dunia ibaratnya seperti orang asing atau musafir. Suatu permisalan yang penuh makna dan pesan yang agung. Hal ini telah dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang selayaknya dijadikan pelajaran dan diterapkan oleh seorang mukmin dalam kehidupannya di dunia.


Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang kedua pundakku lalu bersabda, “Jadilah engkau hidup di dunia seperti orang asing atau musafir (orang yang bepergian).” Lalu Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu menyatakan, “Apabila engkau berada di sore hari, maka janganlah menunggu hingga pagi hari. Dan apabila engkau berada di pagi hari maka janganlah menunggu hingga sore hari. Pergunakanlah waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu. Dan pergunakanlah hidupmu sebelum datang kematianmu.” (HR. Al- Bukhariy no.6416)

Para ‘ulama menjelaskan hadits ini dengan mengatakan, “Janganlah engkau condong kepada dunia; janganlah engkau menjadikannya sebagai tempat tinggal (untuk selama-lamanya); janganlah terbetik dalam hatimu untuk tinggal lama padanya; dan janganlah engkau terikat dengannya kecuali sebagaimana terikatnya orang asing di negeri keterasingannya (yakni orang asing tidak akan terikat di tempat tersebut kecuali sedikit sekali dari sesuatu yang dia butuhkan); dan janganlah engkau tersibukkan padanya dengan sesuatu yang orang asing yang ingin pulang ke keluarganya tidak tersibukkan dengannya; dan Allah-lah yang memberi taufiq.”

Inilah permisalan yang disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan inilah kenyataannya. Karena sesungguhnya seseorang di dunia ibaratnya seorang musafir. Maka dunia bukanlah tempat tinggal yang tetap (selama-lamanya). Bahkan dunia itu sekedar tempat lewat yang cepat berlalunya. Orang yang melewatinya tidak pernah merasa letih baik malam maupun siang hari.

Adapun seorang musafir biasa, kadang-kadang dia singgah di suatu tempat lalu dia bisa beristirahat. Akan tetapi musafir dunia (yakni permisalan orang mukmin di dunia) tidak pernah singgah, dia terus-menerus dalam keadaan safar (perjalanan). Berarti setiap saat dia telah menempuh suatu jarak dari dunia ini yang mendekatkannya ke negeri akhirat.

Maka bagaimana sangkaanmu terhadap suatu perjalanan yang pelakunya senantiasa berjalan dan terus bergerak, bukankah dia akan sampai ke tempat tujuan dengan cepat? Tentu, dia akan cepat sampai. Karena inilah Allah Ta’ala menyatakan,
"Pada hari mereka melihat hari berbangkit itu, mereka merasa seakan-akan tidak tinggal (di dunia) melainkan (sebentar saja) di waktu sore atau pagi hari." (An-Naazi’aat:46)

Makna Hadits Ini
Berkata Ath-Thibiy, “Kata ‘atau’ (dalam hadits ini) tidaklah menunjukkan keraguan bahkan menunjukkan pilihan dan kebolehan dan yang paling baiknya adalah bermakna ‘bahkan’.” Yakni maknanya: “Jadilah engkau hidup di dunia seperti orang asing atau bahkan seperti musafir".

Orang mukmin ketika hidup di dunia, kedudukannya seperti orang asing. Maka hatinya pun tidak akan terikat dengan sesuatu di negeri keterasingannya tersebut. Bahkan hatinya terikat dengan tempat tinggal (negerinya) yang dia akan kembali kepadanya. Dan dia menjadikan tinggalnya di dunia hanya sekedar untuk menunaikan kebutuhannya dan mempersiapkan diri untuk kembali ke negerinya. Inilah keadaan orang yang asing.

Atau bahkan seorang mukmin itu seperti musafir yang tidak pernah menetap di suatu tempat tertentu. Bahkan dia terus-menerus berjalan menuju tempat tinggalnya.
Maka seorang mukmin hidup di dunia ini ibaratnya seperti seorang hamba yang ditugaskan oleh tuannya untuk suatu keperluan ke suatu negeri. Hamba tersebut tentunya ingin bersegera melaksanakan apa yang ditugaskan oleh tuannya lalu kembali ke negerinya. Dan dia tidak akan terikat dengan sesuatu kecuali apa yang ditugaskan oleh tuannya.

Keadaan Orang Asing dan Musafir
Berkata Al-Imam Abul Hasan ‘Ali bin Khalaf di dalam Syarh Al-Bukhariy, “Berkata Abu Zinad, “Makna hadits ini adalah anjuran untuk sedikit bergaul dan berkumpul serta zuhud terhadap dunia.”

Kemudian Abul Hasan berkata, “Penjelasannya adalah bahwa orang asing biasanya sedikit berkumpul dengan manusia sehingga terasing dari mereka. Karena hampir-hampir dia tidak pernah melewati orang yang dikenalnya dan diakrabinya serta orang-orang yang biasanya berkumpul dengannya. Sehingga dia pun merasa rendah diri dan takut. Demikian pula dengan seorang musafir. Dia tidak melakukan perjalanan melainkan sekedar kekuatannya. Dan dia pun hanya membawa beban yang ringan agar tidak terbebani untuk menempuh perjalanannya. Dia tidak membawa apa-apa kecuali hanya sekedar bekal dan kendaraan sebatas yang dapat menyampaikannya kepada tujuan. Hal ini menunjukkan bahwa sikap zuhud terhadap dunia dimaksudkan agar dapat sampai kepada tujuan dan mencegah kegagalan. Seperti halnya seorang musafir. Dia tidak membutuhkan membawa bekal yang banyak kecuali sekedar apa yang bisa menyampaikannya ke tempat tujuan. Demikian pula halnya dengan seorang mukmin dalam kehidupan di dunia ini. Dia tidak membutuhkan banyak bekal kecuali hanya sekedar bekal untuk mencapai tujuan hidupnya yakni negeri akhirat.”

Dia tidak mengambil bagian dari dunia ini kecuali apa-apa yang bisa membantunya untuk taat kepada Allah dan ingat negeri akhirat. Hal inilah yang akan memberikan manfaat kepadanya di akhirat.

Berkata Al-’Izz ‘Ila`uddin bin Yahya bin Hubairah, “Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan agar kita menyerupai orang asing. Karena orang asing itu apabila memasuki suatu negeri, dia tidak mau bersaing dengan penduduk pribumi. Dan tidak pula berbuat sesuatu yang mengejutkan sehingga orang-orang melihat dia melakukan sesuatu yang berbeda dengan kebiasaan mereka. Misalnya dalam berpakaian. Sehingga dia pun tidak bermusuhan dengan mereka. Tentunya selama dalam batasan syar’i. Demikian pula halnya dengan seorang musafir. Dia tidak mendirikan rumah dalam perjalanannya. Dan dia menghindari perselisihan dengan manusia karena dia ingat bahwa dia tinggal bersama mereka hanyalah untuk sementara waktu saja. Maka setiap keadaan orang asing ataupun seorang musafir adalah baik bagi seorang mukmin untuk diterapkan dalam kehidupannya di dunia. Karena dunia bukanlah negerinya, juga karena dunia telah membatasi antara dirinya dengan negerinya yang sebenarnya (yakni negeri akhirat).”

Demikianlah sikap yang harus dimiliki oleh seorang mukmin. Dia tidaklah berlomba-lomba dan bersaing dalam masalah dunia sebagaimana orang asing. Dan juga tidak berniat tinggal seterusnya di dunia sebagaimana seorang musafir.

Jangan Menunda-nunda Amal!
Adapun perkataan Ibnu ‘Umar, “Apabila engkau berada di sore hari, maka janganlah menunggu hingga pagi hari, dan apabila engkau berada di pagi hari maka janganlah menunggu hingga sore hari” adalah anjuran beliau agar seorang mukmin senantiasa mempersiapkan diri terhadap datangnya kematian. Sedangkan mempersiapkan datangnya kematian adalah dengan amal shalih. Dan beliau juga menganjurkan agar memendekkan angan-angan.

Maksudnya adalah janganlah menunggu amal-amal yang bisa dikerjakan di malam hari untuk pagi hari. Bahkan bersegeralah beramal. Begitu pula tatkala pagi hari. Janganlah terbetik di dalam hatimu bahwa engkau akan bertemu dengan sore hari sehingga engkau pun akhirkan amal-amal pagimu untuk malam hari. Ketika engkau berada di waktu sore janganlah mengatakan, “Nanti, masih ada waktu pagi”. Betapa banyaknya seseorang yang berada di sore hari tidak menjumpai waktu pagi. Demikian juga ketika engkau berada di waktu pagi janganlah mengatakan, “Nanti, masih ada waktu sore.” Karena betapa banyaknya seseorang yang berada di waktu pagi tetapi tidak menjumpai sore hari dikarenakan ajal menjemputnya. Kalaupun engkau bisa menjumpai waktu pagi atau sore, belum tentu engkau bisa melakukan pekerjaan yang engkau tunda dikarenakan kesibukan menghampirimu atau sakit menimpamu. 

Hal ini telah diingatkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sabdanya, “Ada dua nikmat yang kebanyakan manusia tertipu pada keduanya (yaitu): nikmat sehat dan waktu luang.” (HR. Al-Bukhariy dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma)

Ketika datang waktu sakit dia baru merasakan betapa nikmatnya sehat. “Kenapa ketika sehat saya tidak menggunakannya untuk beramal shalih?” Ketika datang waktu sibuknya dia baru sadar betapa nikmatnya waktu luang. “Kenapa ketika punya waktu luang saya tidak menggunakannya untuk melakukan kebaikan?” Penyesalan selalu datang kemudian.

Kemudian beliau radhiyallahu ‘anhu juga menyatakan, “Dan pergunakanlah waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu” yakni bersegeralah beramal shalih ketika sehat sebelum datangnya masa sakit. Karena seseorang ketika dalam keadaan sehat maka mudah baginya untuk beramal shalih, dikarenakan dia dalam keadaan sehat, dadanya lapang, dan jiwanya dalam keadaan senang. Sedangkan orang yang sakit dadanya sempit dan jiwanya dalam keadaan tidak gembira sehingga tidak mudah baginya untuk beramal.

Hal ini pun sebagai anjuran dari beliau untuk menjaga dan mempergunakan waktu sehat dengan sebaik-baiknya serta beramal dengan sungguh-sungguh padanya. Dikarenakan khawatir dia akan mendapatkan sesuatu yang akan menghalanginya untuk beramal.

Pergunakan Umurmu dengan Sebaik-baiknya!
“Dan pergunakanlah waktu hidupmu sebelum datang kematianmu” yakni bersegeralah pergunakan waktu hidupmu selama engkau masih hidup (untuk beramal shalih) sebelum engkau mati. Sebagai peringatan untuk menjaga dan mempergunakan masa hidup dengan sebaik- baiknya. Karena sesungguhnya seseorang apabila mati maka terputuslah amalnya. Telah shahih hal ini dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di mana beliau bersabda, “Apabila seseorang meninggal dunia maka terputuslah darinya amalnya kecuali tiga perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau anak shalih yang mendo’akannya.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Demikian juga akan hilanglah angan-angannya dan muncullah penyesalannya yang besar karena keteledorannya dalam menjaga umurnya. Dan ketahuilah bahwa kelak akan datang kepadanya suatu waktu yang panjang. Yakni tatkala dia berada di bawah tanah di mana dia tidak mampu lagi untuk beramal dan tidak memungkinkan pula baginya untuk berdzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Maka hendaknya bersegera beramal selagi masih hidup.

Jangan Panjang Angan-angan!
Sebagian ‘ulama menyatakan, “Allah Ta’ala mencela panjang angan-angan di dalam firman-Nya,
“Biarkanlah mereka (di dunia ini) makan dan bersenang-senang dan dilalaikan oleh angan-angan (kosong). Maka kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatan mereka).” (Al-Hijr:3)

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata,
“Dunia berjalan meninggalkan manusia sedangkan akhirat berjalan menjemput manusia, dan masing-masing memiliki generasi. Maka jadilah kalian generasi akhirat dan janganlah kalian menjadi generasi dunia. Karena hari ini (di dunia) yang ada hanyalah amal dan belum dihisab sedangkan besok (di akhirat) yang ada adalah hisab dan tidak ada lagi amal.”

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat garis-garis lalu bersabda, “Ini adalah manusia, ini angan-angannya dan ini adalah ajalnya. Maka tatkala manusia berjalan menuju angan-angannya tiba-tiba sampailah dia ke garis yang lebih dekat dengannya (daripada angan-angannya).” Yakni ajalnya yang melingkupinya. (HR. Al- Bukhariy no.6418)

Inilah peringatan dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam agar memendekkan angan-angan dan merasakan dekatnya ajal dan takut kalau ajal datang kepadanya dengan tiba-tiba. Barangsiapa yang tidak mengetahui ajalnya (dan semua orang tentunya tidak tahu kapan ajalnya datang) maka dia layak untuk berjaga-jaga akan kedatangannya dan menunggunya karena khawatir jika ajal mendatanginya disaat dia terpedaya dan lengah. Maka seorang mukmin hendaklah dia senantiasa menjaga dirinya dengan mempergunakan umurnya sebaik-baiknya dan menentang angan-angan maupun hawa nafsunya karena manusia sering terpedaya oleh angan-angannya.

Abdullah bin ‘Umar berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati kami yang sedang memperbaiki gubuk kami. Lalu beliau bertanya, “Apa ini?” Kami menjawab, “Gubuk ini telah rusak/reyot, kami sedang memperbaikinya.” Maka beliau pun bersabda, “Tidaklah aku melihat urusan ini (dunia) melainkan lebih cepat dari gubuk ini.” (HR. At-Tirmidziy no.2335)

Kita memohon kepada Allah Yang Maha Agung agar mengasihi kita dan menjadikan kita termasuk orang-orang yang zuhud terhadap dunia, aamiin. Wallaahu A’lam.

[Maraaji’: Syarh Riyaadhish Shaalihiin 2/193-194, Maktabah Ash-Shafaa, Al-Qawaa’id wa Fawaa`id minal Arba’iin An-Nawawiyyah hal.351, Syarh Al-Arba’iin Hadiitsan An-Nawawiyyah hal.104-107, At-Ta’liiqaat ‘alal Arba’iin An-Nawawiyyah hal.107-108.]

<< KLIK DISINI UNTUK MELIHAT DAFTAR TEMPAT KAJIAN RUTIN ISLAM ILMIAH SELURUH INDONESIA >>