Thursday, January 16, 2014

Kewajiban Amar Ma'ruf Nahi Mungkar


Allah Ta'ala memberi contoh perkataan mulia Luqman saat memerintahkan anaknya: 
"... dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)". [QS. Lukman : 17]

Berdasarkan firman Allah di atas telah jelas tentang diwajibkannya ber-amar ma'ruf nahi mungkar. Fenomena yang terjadi sekarang ini di tengah-tengah kita adalah keengganan seseorang dalam melaksanakan kewajiban ini.

Dari firman Allah tersebut, ada beberapa poin utama yang terkandung di dalamnya, yaitu:
  1. Perintah untuk ber-amar ma'ruf (menyuruh manusia lain mengerjakan kebaikan), 
  2. Perintah untuk ber-nahi mungkar (mencegah dari perbuatan yang mungkar), 
  3. Perintah untuk bersabar terhadap apa yang menimpa, 
  4. Penegasan kembali dari Allah Ta'ala tentang diwajibkannya ketiga hal tersebut. 

Inilah hakikat akhlaq yang harus dimiliki oleh seorang Muslim. Allah Ta'ala berfirman: "Adalah engkau sekalian itu sebaik-baik umat yang dikeluarkan untuk seluruh manusia, karena engkau semua memerintah dengan kebaikan dan melarang dari kemungkaran." [QS. Ali-Imran: 110]

Berlepasnya seseorang dari ketiga poin tersebut (amar ma'ruf, nahi mungkar, dan kesabaran) akan menyebabkan kerusakan yang meluas, dan yang terutama adalah merugikan bagi orang yang meninggalkannya.

Allah Ta'ala berfirman: "Demi masa, sesungguhnya manusia itu dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran." [QS. Al-'Ashr: 1-3]


Keutamaan Orang Yang Ber-Amar Ma'ruf, Nahi Mungkar, dan Sabar

Sejatinya suatu hal yang diwajibkan oleh Allah kepada manusia mempunyai keutamaan yang besar bagi seseorang yang menunaikannya.

1. Diselamatkan dari keburukan/bencana/musibah yang akan menimpa

Allah Ta'ala berfirman: "Kami menyelamatkan orang-orang yang melarang dari keburukan dan Kami menerapkan hukuman kepada orang-orang yang menganiaya dengan siksaan yang pedih dengan sebab mereka berbuat kefasikan." [QS. Al-A'raf: 165]
 
2.Allah memasukan kebahagian ke dalam hati

Allah Ta'ala berfirman: "Hendaklah ada diantara engkau semua itu suatu umat -golongan- yang mengajak kepada kebaikan, memerintah dengan kebaikan serta melarang dari kemungkaran. Mereka itulah orang-orang yang berbahagia." [QS. Ali-Imran: 104]

Tapi dibalik itu maka meninggalkan Amar Ma'ruf, Nahi Mungkar, dan Sabar, juga mempunyai konsekuensi yang seimbang dengan keutamaan di atas.


Tuntunan Ber-Amar Ma'ruf Nahi Mungkar

Dalam ber-amar ma'ruf nahi mungkar dibutuhkan 3 bagian penting yang satu sama lainnya saling membutuhkan dalam penegakkan amar ma'ruf nahi mungkar. 
  • Niat Ikhlas
  • Ilmu Syariat
  • Kelembutan dan Kesabaran

1. Niat Ikhlas


Syaikhul Islam Ahmad bin Abdul Halim Ibnu Taimiyah berkata: "Maka pertama sekali, hendaklah seseorang menjadikan urusannya karena Allah dan tujuannya adalah menta’ati Allah pada apa yang diperintahkan Allah kepadanya. Dan mencintai kemaslahatan manusia atau menegakkan hujjah terhadap mereka. Apabila ia mengerjakan perbuatan yang disebutkan di atas karena ingin mencari kedudukan untuk dirinya dan golongannya serta merendahkan orang lain, maka perbuatan itu menjadi hamiyah (fanatik golongan atau hizbiyyah) yang tidak diterima Allah. 


Begitu juga kalau dia mengerjakanya karena mencari sum’ah (reputasi / ingin didengar orang) dan riya’ (disimulasi / ingin dilihat orang), maka perbuatan itu akan menjadi sia-sia. Kemudian apabila perbuatannya itu dibantah atau dirinya disakiti atau dikatakan terhadap dirinya, bahwa dia itu adalah orang yang salah dan tujuannya salah, maka dia mencari pertolongan (pendukung) untuk memenangkan dirinya sendiri, sehingga syaitan pun mendatanginya.
[Minhaajus Sunnah 3/64, tarjim Abu Abdillah Muhammad Elvi Syam]


2. Ilmu Syariat

Ilmu syariat sangatlah diperlukan dalam ber-amar ma'ruf nahi mungkar. Darimana seseorang tahu apa-apa kebaikan yang harus ia perintahkan dan mana saja keburukan yang harus ia cegah darinya bilamana ia sendiri tidak mengetahui yang mana yang ma'ruf dan yang mana yang mungkar. Perlu diketahui bahwa "Apa-apa yang menurut kita baik, belum tentu itu baik dan apa-apa yang menurut kita tidak baik, belum tentu itu keburukan, semua kebaikan dan semua keburukan telah disebutkan tanpa ada celah tertinggal di dalam syariat Islam yang sempurna ini"

Orang-orang yang hanya berpegang atau mengedepankan akalnya saja dalam menghukumi suatu perbuatan itu baik atau tidak baik, jelas akan lebih banyak salah dan sesat dari jalan kebenaran itu sendiri. Wahyu berupa Al Quran dan As Sunnah harus menjadi imam dari akal, bukan sebaliknya.

"Mengedepankan akal dalam agama ibarat seseorang yang berjalan di tengah hutan belantara yang luas dengan berbekal lilin. Ia akan berputar-putar, tersandung, bahkan bisa jadi lilin yang menjadi penerangnya tersebut mati tertiup angin atau dikarenakan lain hal. Sedangkan apabila wahyu yang menjadi imam dari akal, maka wahyu tersebut ibarat bintang yang terang benderang di kegelapan malam yang menembus dedaunan, seseorang di dalam hutan dengan berbekal lilin tidak akan tersesat bila mengambilnya sebagai penunjuk arah. Lilin ia gunakan untuk melihat sekitarnya agar terhindar dari lubang atau akar yang melintang, dan bintang ia jadikan sebagai penunjuk jalan kemana ia harus melangkah."


3. Kelembutan dan Kesabaran

Syaikhul Islam Ahmad bin Abdul Halim Ibnu Taimiyah berkata: "Berlemah-lembut di waktu menyuruh, serta bijaksana setelah menyuruh. Kalau seandainya ia bukan seorang yang ‘alim, maka ia tidak boleh mengikuti apa yang tidak ia ketahui. Kalau seandainya ia seorang yang ‘alim (berilmu), tetapi tidak berlemah-lembut, maka bagaikan seorang dokter yang tidak mempunyai sikap lemah-lembut, lantas bersikap kasar terhadap pesien, akibatnya pasien pun tidak menerimanya. Dan seperti seorang pendidik yang kasar, maka anak pun tidak bisa menerimanya". [Minhaajus Sunnah 3/64, tarjim Abu Abdillah Muhammad Elvi Syam]

Keberhasilan suatu dakwah memerlukan kesabaran dalam melakukannya. Allah Ta'ala berfirman: "Dan sesungguhnya orang yang berhati sabar dan suka memaafkan, sesungguhnya bagi yang sedemikian itu adalah termasuk pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan dengan keteguhan hati." [QS. As-Syura: 43]

Dari Aisyah radhiallahu 'anha pula bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya sikap lemah-lembut itu tidak menetap dalam sesuatu perkara, melainkan ia makin memperindah hiasan baginya dan tidak dicabut dari sesuatu perkara, melainkan membuat cela padanya." (Riwayat Muslim)

Dari Jarir bin Abdullah radhiallahu 'anhuma., katanya: "Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa yang tidak dikaruniai sifat lemah lembut, maka ia tidak dikaruniai segala macam kebaikan." (Riwayat Muslim)


Berikut Dampak-dampak buruk dari ditinggalkannya Amar Ma'ruf, Nahi Mungkar, dan Sabar:

1. Turunnya Azab Allah

Manakala di dalam suatu tempat atau negeri sudah terlampau banyak keburukan, kemungkaran, kefasikan dan kecurangan, maka kebinasaan dan kerusakan akan merata di daerah itu dan tidak hanya mengenai orang jahat-jahat saja, tetapi orang-orang shalih tidak akan dapat menghindarkan diri dari azab Allah itu, sekalipun jumlah mereka itu cukup banyak. 

Dari Annu'man bin Basyir radhiallahu 'anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Perumpamaan orang yang berdiri tegak -untuk menentang orang-orang yang melanggar- pada had-had Allah -yakni apa-apa yang dilarang olehNya- dan orang yang menjerumuskan diri di dalam had-had Allah -yakni senantiasa melanggar larangan-laranganNya- adalah sebagai perumpamaan sesuatu kaum yang berserikat -yakni bersama-sama- ada dalam sebuah kapal, maka yang sebagian dari mereka itu ada di bagian atas kapal, sedang sebagian lainnya ada di bagian bawah kapal. Orang-orang yang berada di bagian bawah kapal itu apabila hendak mengambil air, tentu saja melalui orang-orang yang ada di atasnya -maksudnya naik keatas dan oleh sebab hal itu dianggap sukar-, maka mereka berkata: "Bagaimanakah andaikata kita membuat lobang saja di bagian bawah kita ini, suatu lobang itu tentunya tidak mengganggu orang yang ada di atas kita." Maka jika sekiranya orang yang bagian atas itu membiarkan saja orang yang bagian bawah menurut kehendaknya, tentulah seluruh isi kapal akan binasa. Tetapi jikalau orang bagian atas itu mengambil tangan orang yang bagian bawah -melarang mereka dengan kekerasan- tentulah mereka selamat dan selamat pulalah seluruh penumpang kapal itu." [HR. Bukhari]

Dalam sabda lainnya Rasulullah Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda: 
"Sesungguhnya manusia itu bila melihat kemungkaran tapi tidak mengingkarinya, maka dikhawatirkan Allah akan menimpakan siksa-Nya yang juga menimpa mereka." [HR. Abu Dawud dalam Al-Malahim (4338), At-Tirmidzi dalam At-Tafsir (3057)]



2. Tidak dikabukannya Doa, Tidak Diberi Bila Meminta, dan Tidak Ditolong

Dalam sebuah Hadits Qudsi, dari Aisyah Radhiallahu'anha, Rasulullah Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda: Allah berfirman: "Perintahkanlah kepada yang ma`ruf (kebaikan), dan laranglah dari hal yang munkar (keburukan), sebelum kalian berdoa lalu Aku tidak mengabulkan doa kalian, sebelum kalian meminta kepada-Ku lalu Aku tidak memberi kepada kalian, sebelum kalian meminta pertolongan kepada-Ku lalu aku tidak memberi pertolongan kepada kalian." [HR Ahmad (VI/159) dan al-Bazzâr (no. 3304)]

Kemungkaran itu jangan didiamkan saja merajalela. Bila kuasa harus diperingatkan dengan perbuatan agar terhenti kemungkaran tadi seketika itu juga. Bila tidak sanggup, maka dengan lisan (dengan nasihat peringatan atau perkataan yang sopan santun), sekalipun ini agak lambat berubahnya. Tetapi kalau masih juga tidak sanggup, maka cukuplah bahwa hati kita tidak ikut-ikut menyetujui adanya kemungkaran itu. Hanya saja yang terakhir ini adalah suatu tanda bahwa iman kita sangat lemah sekali. Karena dengan hati itu hanya bermanfaat untuk diri kita sendiri, sedang dengan perbuatan atau nasihat itu dapat bermanfaat untuk kita dan masyarakat umum, hingga kemungkaran itu tidak terus menjadi-jadi.

Dari Abu Said al-Khudri radhiallahu 'anhuma, katanya: "Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: "Barangsiapa diantara engkau semua melihat sesuatu kemungkaran, maka hendaklah mengubahnya itu dengan tangannya, jikalau tidak dapat, maka dengan lisannya dengan jalan menasihati orang yang melakukan kemungkaran tadi -dan jikalau tidak dapat juga- dengan lisannya, maka dengan hatinya -maksudnya hatinya mengingkari serta tidak menyetujui perbuatan itu. Yang sedemikian itu -yakni dengan hati saja- adalah selemah-lemahnya keimanan." (Riwayat Muslim)


3. Ridho Terhadap Kemungkaran berakibat Hilangnya Keimanan dalam Hati

Dari Ibnu Mas'ud radhiallahu 'anhuma bahwasanya Rasulullah Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. bersabda: "Tiada seorang nabipun yang diutus oleh Allah sebelumku, melainkan ia mempunyai beberapa orang hawari (penolong atau pengikut setia) dari kalangan umatnya, juga beberapa sahabat, yang mengambil teladan dengan sunnahnya serta mentaati perintahnya. Selanjutnya sesudah mereka ini akan menggantilah beberapa orang pengganti yang suka mengatakan apa yang tidak mereka lakukan, bahkan juga melakukan apa yang mereka tidak diperintahkan (pelaku bid'ah). Maka barangsiapa yang berjuang melawan mereka itu (yakni para penyeleweng dari ajaran-ajaran nabi yang sebenarnya ini) dengan tangan (atau kekuasaannya), maka ia adalah seorang mu'min, barangsiapa yang berjuang melawan mereka dengan lisannya, iapun seorang mu'min dan barangsiapa yang berjuang melawan mereka dengan hatinya, juga seorang mu'min, tetapi jikalau semua itu tidak -dengan tangan, lisan dan hati, maka tiada keimanan sama sekali sekalipun hanya sebiji sawi." (Riwayat Muslim)


Semoga kita mampu untuk melaksanakan kewajiban amar ma'ruf nahi mungkar ini, semoga Allah memberikan ilmu yang bermanfaat dan menganugerahkan kesabaran kepada kita semua. Aamiin.

Wabillahi taufiq, salam dan solawat kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabat beliau.

Abi Zam, 15 Rabi'ul awwal 1435 H

3 comments:

  1. Ridho terhadap kemunkaran berakibat hilangnya keimanan dalam hati.
    Trus bedanya dengan diam melihat kemunkaran yg dilakukan 'ulil amri' dengan alasan harus bersabar apa dong? Monggo dijawab.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Barangsiapa yang tidak memiliki kemampuan untuk menasihati pemimpin yang zhalim, maka sebaiknya berdiam diri dan bersabar, sebagaimana sabda Rasulullah,”Barangsiapa yang mendapatkan dari pemimpin(nya) sesuatu yang tidak menyenangkan, maka hendaklah bersabar. (Karena) sesungguhnya, barangsiapa yang keluar dari pemimpin, maka meninggal dalam keadaan jahiliyah.” [HR Al Bukhari].

      Abdullah Ibnu Abbas berkata,”Pemimpin adalah ujian bagi kalian. Apabila mereka bersikap adil, maka dia mendapatkan pahala dan kamu harus bersyukur. Dan apabila dia zhalim, maka dia mendapatkan siksa dan kamu harus bersabar.”

      Imam Nawawi berkata,”Barangsiapa yang mendiamkan kemungkaran seorang pemimpin, tidaklah dia berdosa, kecuali (jika) dia menunjukan sikap rela, setuju atau mengikuti kemungkaran itu.”

      Imam al-Qadhi ‘Ali bin ‘Ali bin Muhammad bin Abi al-‘Izz ad-Dimasqy (terkenal dengan Ibnu Abil ‘Izz wafat th. 792 H) rahimahullah berkata: “Hukum mentaati ulil amri adalah wajib (selama tidak dalam kemaksiatan) meskipun mereka berbuat zhalim, karena kalau keluar dari ketaatan kepada mereka akan menimbulkan kerusakan yang berlipat ganda dibanding dengan kezhaliman penguasa itu sendiri. Bahkan bersabar terhadap kezhaliman mereka dapat melebur dosa-dosa dan dapat melipatgandakan pahala. Karena Allah Azza wa Jalla tak akan menguasakan mereka atas diri kita melainkan disebabkan kerusakan amal perbuatan kita juga. Ganjaran itu bergantung pada amal perbuatan. Maka hendaklah kita bersungguh-sungguh memohon ampunan, bertaubat dan memperbaiki amal perbuatan.

      Semoga bermanfat.

      Delete

Seorang mukmin bukanlah pengumpat, pengutuk, berkata keji atau berkata busuk. (HR. Bukhari dan Al Hakim)