Monday, January 13, 2014

Maulid Nabi - Sebuah Penyimpangan Syariat


Kaum muslimin yang dimuliakan Allah, di bulan Rabi’ul Awwal ini, banyak kaum muslimin yang merayakan maulid Nabi. Telah banyak pula tulisan yang menjelaskan bahwa perayaan maulid tidak ada tuntunannya di dalam Islam. Dengan memohon pertolongan Allah, sedikit bahasan ini akan memaparkan alasan mengapa maulid dikategorikan sebagai bid’ah sehingga tidak seyogyanya seorang muslim merayakannya. Semoga Allah memberi taufik kepada kita semua.


Pengertian ringkas bid’ah


Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud dengan bid’ah adalah setiap perbuatan yang diada-adakan dalam agama yang tidak ada dalil yang menunjukkan disyari’atkannya perbuatan tersebut” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2/127)

Berdasarkan pengertian di atas, maka ada dua poin penting yang dapat diambil :
  • Bid’ah hanya berkaitan dengan masalah agama
  • Bid’ah adalah perbuatan yang tidak ada dasarnya dalam agama.

Mengapa maulid dikategorikan sebagai bid’ah?


Kaum muslimin yang dimuliakan Allah, tentu bagi saudara kita yang merayakannya, maulid adalah ibadah dan perayaan yang sangat agung yang dapat mendatangkan keridhoan Allah Ta’ala dan syafa’at Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maulid Nabi adalah perayaan yang rutin digelar setiap tahunnya sehingga maulid Nabi termasuk hari ‘ied dimana banyak dari kaum muslimin berkumpul di hari tersebut.
Definisi ‘ied

Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “’Ied adalah istilah yang diambil karena berulangnya sesuatu untuk sebuah perkumpulan besar. Bisa jadi yang berulang adalah tahun, pekan, bulan, atau semisalnya” (Fathul Majid, hal. 267)

Dengan demikian, maulid dapat dikategorikan sebagai hari ‘ied berdasarkan pengertian di atas karena kesesuaian sifat-sifatnya, sama-sama rutin dan sama-sama merupakan perkumpulan besar kaum muslimin.
Penentuan ibadah atau hari ‘ied kaum muslimin membutuhkan dalil

Akan tetapi, untuk menentukan suatu hari itu adalah ‘ied atau bukan maka membutuhkan dalil dari Al Qur’an atau As Sunnah.

Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Tidaklah disyari’atkan bagi kaum muslimin untuk menjadikan (suatu hari sebagai) ‘ied kecuali yang ditetapkan oleh syari’at sebagai hari ‘ied. Hari ‘ied (yang ditetapkan syari’at) tersebut adalah ‘iedul fithri, ‘iedul adha, hari-hari tasyrik dimana ketiga ‘ied tersebut adalah ‘ied tahunan, serta hari jum’at dimana hari jum’at adalah ‘ied pekanan. Selain dari hari-hari ‘ied tersebut, maka menetapkan suatu hari sebagai hari ‘ied yang lain adalah kebid’ahan yang tidak ada asalnya dalam syari’at” (Latho-if Al Ma’arif, hal. 228) 



Adakah dalil dianjurkannya maulid? 

Kaum muslimin yang dimuliakan Allah, sayangnya tidaklah kita temukan satu dalil pun yang menunjukkan disyari’atkannya maulid Nabi setelah sempurnanya Islam. Tidak ada hadits Nabi, riwayat sahabat, serta ucapan 4 imam mazhab yang menunjukkan dianjurkannya merayakan maulid Nabi.

Selisih Pendapat Seputar Waktu Kelahiran Nabi

Tanggal Kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diperselisihkan secara tajam. Ada yang mengatakan bahwa beliau lahir tanggal 2 Rabiul Awal, 8 Rabiul Awal, 10 Rabiul Awal, 12 Rabiul Awal, 17 Rabiul Awal (Lihat al-Bidayah wa Nihayah karya Ibnu Katsir: 2/260 dan Latho’iful Ma’arif karya Ibnu Rojab hlm. 184-185). Semua pendapat ini tidak berdasarkan hadits yang shahih. Adapun hadits Jabir dan Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma yang menerangkan bahwa tanggal kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah tanggal 12 Rabiul Awal tidak shahih. Kalaulah shahih, tentu akan menjadi hakim (pemutus perkara) dalam masalah ini. Akan tetapi, Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang hadits tersebut, “Sanadnya terputus.” (al-Bidayah wan Nihayah karya Ibnu Rajab hlm. 184-185)


Berhubung penentuan hari kelahiran beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak ada yang shahih, tidak mengapa kalau kita menukil pendapat ahli falak. Banyak ahli falak berpendapat bahwa hari kelahiran beliau adalah pada tanggal 9 Rabiul Awal, seperti al-Ustadz Mahmud Basya al-Falaki, al-Ustadz Muhammad Sulaiman al-Manshur Fauri (Sebagaimana dinukil oleh Shofiyurrohman al-Mubarokfuri dalam ar-Rahiqul Makhtum hlm. 62) 

Al-Ustadz Abdullah bin Ibrahim bin muhammad as-Sulaim, beliau mengatakan, “Dalam kitab-kitab sejarah dan siroh dikatakan bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam lahir pada hari Senin tanggal 10, atau 8, atau 12 dan ini yang dipilih oleh mayoritas ulama. Telah tetap tanpa keraguan bahwa kelahiran beliau adalah pada 20 April 571 M (tahun Gajah), sebagaimana telah tetap juga bahwa beliau wafat pada 13 Rabiul Awal 11 H yang bertepatan dengan 6 Juni 632 M. Selagi tanggal-tanggal ini telah diketahui, maka dengan mudah dapat diketahui hari kelahiran dan hari wafatnya dengan jitu, demikian juga usia Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan mengubah tahun-tahun ini pada hitungan hari akan ketemu 22.330 hari dan bila diubah ke tahun qamariyyah akan ketemulah bahwa umur beliau 63 tahun lebih tiga hari. Dengan demikian, hari kelahiran beliau adalah hari Senin 9 Rabiul Awal tahun 53 sebelum hijriah, bertepatan dengan 20 April 571 M. (Taqwimul Azman hlm. 143, cet pertama 1404 H)

Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, “Sebagian ahli falak belakangan telah meneliti tentang tanggal kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ternyata jatuh pada tanggal 9 Rabiul Awal, bukan 12 Rabiul Awal.” (al-Qaulul Mufid ‘ala Kitab Tauhid: 1/491. Dinukil dari Ma Sya’a wa Lam Yatsbut fis Sirah Nabawiyyah hlm. 7-8 oleh Muhammad bin Abdullah al-Ausyan)
 


Terdapat kemiripan dengan perayaan orang kafir

Selain tidak memiliki landasan agama, perayaan maulid Nabi juga menyerupai perayaan yang diadakan oleh orang nasrani yang merayakan hari kelahiran Nabi ‘Isa ‘alaihis salam sehingga dikategorikan sebagai bid’ah.

Imam As Suyuthi rahimahullah berkata, “Termasuk ke dalam perbuatan bid’ah yang mungkar adalah : menyerupai orang kafir dan menyamai mereka dalam hari raya mereka dan perayaan mereka yang terlaknat sebagaimana yang dilakukan banyak orang awam dari kaum muslimin yang turut serta dalam perayaan orang nasrani pada Khamis al Baydh dan lainnya” (Al Amru bil Ittiba’, hal. 141, dinukil dari ‘Ilmu Ushul Al Bida’, hal. 80)

Mungkin saja Nabi dan para sahabat melakukannya jika mau

Kaum muslimin yang dimuliakan Allah, akan semakin menambah keyakinan kita untuk mengatakan bahwa maulid adalah bid’ah jika melihat perkataan Ibnu Taimiyyah berikut ini.

Beliau rahimahullah berkata, “Sesungguhnya para salaf tidak merayakannya (maulid Nabi) padahal ada faktor pendorong untuk merayakannya dan juga tidak ada halangan untuk merayakannya. Seandainya perbuatan itu isinya murni kebaikan, atau mayoritas isinya adalah kebaikan, niscaya para salaf radhiyallahu ‘anhum lebih berhak untuk merayakannya. Karena mereka adalah orang yang lebih besar kecintaannya dan pengagungannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dibandingkan kita. Mereka -para salaf- lebih semangat untuk berbuat kebaikan” (lihat Iqtidho Shirothil Mustaqim, 2/612-616, dinukil dari Al Bida’ Al Hauliyah, hal. 198)

Kaum muslimin yang dimuliakan Allah, seandainya Rasulullah, para sahabat, tabi’in, maupun 4 imam mazhab mau merayakan maulid Nabi, tentu mudah bagi mereka untuk merayakannya. Faktor pendorong merayakan maulid sudah ada, yakni kecintaan mereka kepada Nabi yang teramat besar, ditambah lagi tidak ada faktor yang menghalangi mereka untuk merayakannya. Namun, mengapa mereka tidak merayakannya? Apa sih susahnya maulidan? Hal ini semata karena keyakinan mereka bahwa maulid bukanlah ajaran Rasul yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Suatu ketika, Sa’id Ibnul Musayyib rahimahullah melihat seseorang yang shalat lebih dari 2 raka’at setelah terbitnya fajar. Orang tersebut memperbanyak ruku’ dan sujud. Kemudian beliau melarang orang tersebut meneruskan sholatnya. Orang tersebut pun berkata, “Hai Abu Muhammad (panggilan Sa’id Ibnul Musayyib)! Apakah Allah akan menyiksa aku karena sholatku?” Beliau menjawab, “Tidak, akan tetapi Allah akan menyiksamu karena kamu menyelisihi sunnah!”

Syaikh Al Albani
berkomentar, “Ini adalah jawaban yang sangat indah dari Sa’id Ibnul Musayyib rahimahullahu Ta’ala. Jawaban ini adalah senjata ampuh bagi orang yang gemar berbuat bid’ah yang menganggap baik banyak bid’ah dengan alasan isinya adalah zikir dan sholat! Merekapun mengingkari ahlus sunnah dengan memanfaatkan alasan tersebut. Mereka menuduh bahwa ahlus sunnah mengingkari zikir dan sholat! Padahal sejatinya, yang mereka ingkari adalah penyelisihan mereka terhadap sunnah dalam berzikir, sholat, dan sejenisnya” (Irwa-ul Ghalil, 2/236, dinukil dari ‘Ilmu Ushul Al Bida’, hal. 71-72)

Itulah kaum muslimin yang dimuliakan Allah, yang ahlus sunnah ingkari bukanlah zikir dan sholat itu sendiri, akan tetapi penyelisihan terhadap sunnah itulah yang menjadi poin penting pembahasan ini. Bagaimana tidak? Menyelisihi sunnah berarti menyelisihi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal Allah Ta’ala memerintahkan kita semua untuk selalu meneladani beliau. Semoga Allah Subhaanahu wa Ta’ala memberi petunjuk kepada kita semua dan membimbing kita untuk senantiasa berpegang kepada Al Qur’an dan As Sunnah.


Orang-orang yang diusir Rasulullah di Padang Mahsyar 

Sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu mengisahkan: Pada suatu hari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mendatangi kuburan, lalu beliau mengucapkan salam: “Semoga keselamatan senantiasa menyertai kalian wahai penghuni kuburan dari kaum mukminin dan kami insya Allah pasti akan menyusul kalian.” Selanjutnya beliau bersabda: “Aku sangat berharap untuk dapat melihat saudara-saudaraku.” Mendengar ucapan ini, para sahabat keheranan, sehingga mereka bertanya, “Bukankah kami adalah saudara-saudaramu, wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Kalian adalah sahabat-sahabatku, sedangkan saudara-saudaraku adalah ummatku yang akan datang kelak.” Kembali para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana engkau dapat mengenali ummatmu yang sampai saat ini belum terlahir?” Beliau menjawab, “Menurut pendapat kalian, andai ada orang yang memiliki kuda yang di dahi dan ujung-ujung kakinya berwarna putih dan kuda itu berada di tengah-tengah kuda-kuda lainnya yang berwarna hitam legam, tidakkah orang itu dapat mengenali kudanya?” Para sahabat menjawab, “Tentu saja orang itu dengan mudah mengenali kudanya.” Maka, Rasulullah menimpali jawaban mereka dengan bersabda, “Sejatinya ummatku pada Hari Kiamat akan datang dalam kondisi wajah dan ujung-ujung tangan dan kakinya bersinar pertanda mereka berwudlu semasa hidupnya di dunia. Aku akan menanti ummatku di pinggir telagaku di alam mahsyar. Dan ketahuilah, bahwa akan ada dari ummatku yang diusir oleh malaikat, sebagaimana seekor onta yang tersesat dari pemiliknya dan mendatangi tempat minum milik orang lain, sehingga iapun diusir.” Melihat sebagian orang yang memiliki tanda-tanda pernah berwudlu, maka aku memanggil mereka, “Kemarilah!” Namun, para malaikat yang mengusir mereka berkata, “Sejatinya mereka sepeninggalmu telah mengubah-ubah ajaranmu.” Mendapat penjelasan semacam ini, maka aku berkata, “Menjauhlah, menjauhlah, wahai orang-orang yang sepeninggalku merubah-rubah ajaranku!” [Mutafaq 'Alaihi]


Fatwa Seputar Maulid Nabi

1. Pertanyaan:

Apa hukum merayakan maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di bulan Rabi’ul Awwal dalam rangka mengagungkan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam?

Jawaban:
Mengagungkan dan memuliakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dengan mengimani wahyu yang Allah wahyukan pada beliau dan mengikuti syari’at yang beliau bawa baik dalam hal aqidah, ucapan, amalan dan akhlak. Memuliakan beliau bukanlah dengan melakukan bid’ah dalam agama. Yang termasuk bid’ah dalam agama adalah merayakan maulid nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Wa billahit taufiq, shalawat dan salam kepada nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

(Fatwa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ no. 3257)

2. Pertanyaan:
Bolehkah seseorang menghadiri perayaan yang bid’ah seperti perayaan maulid nabi, isro’ mi’roj, malam nishfu sya’ban, namun ia tidak meyakini bahwa perayaan-perayaan tadi disyari’atkan, ia cuma bertujuan menjelaskan kebenaran?

Jawaban:
Pertama, perayaan yang disebutkan dalam pertanyaan di atas adalah perayaan yang tidak boleh dirayakan bahkan perayaan yang bid’ah yang mungkar.
Kedua, jika memang kita bermaksud untuk menghadiri perayaan-perayaan tersebut dalam rangka menasehati dan mengingatkan bahwa perayaan tersebut termasuk bid’ah (perkara yang diada-adakan dalam agama), maka itu adalah suatu hal yang disyari’atkan, lebih-lebih lagi jika yakin memiliki argumen yang kuat dan yakin selamat dari fitnah. Namun jika menghadirinya tidak dalam rangka demikian, hanya bersenang-senang saja, maka seperti itu tidak dibolehkan karena termasuk dalam berserikat dengan mereka dalam hal yang mungkar dan malah menambah tersebar serta semakin meriahnya bid’ah mereka.
Wa billahit taufiq, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa aalihi wa shohbihi wa sallam

(Fatwa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ no. 6524, 3/38)

Fatwa ini ditandatangani oleh: 
Ketua: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz 
Wakil Ketua: Syaikh ‘Abdur Rozaq ‘Afifi 
Anggota: Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayan, Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud


Kesimpulan hukum maulid

Oleh karena itulah, dengan melihat definisi bid’ah di atas serta melihat penjelasan tentang ‘ied sebelumnya, maka yang dapat kita simpulkan adalah : Maulid adalah sebuah perayaan rutin (‘ied) yang tidak memiliki landasan sama sekali dalam agama sehingga tergolong perbuatan baru yang diada-adakan (baca : bid’ah).

Inilah alasan pokok mengapa maulid dikategorikan sebagai bid’ah. Maulid adalah perkara baru dalam agama yang tidak ada dasarnya sama sekali, sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

و إياكم و محدثات الأمور فإن كل بدعة صلالة

“Waspadalah kalian dari perkara-perkara baru (dalam agama) karena sesungguhnya semua bid’ah itu sesat” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, beliau berkata : “hadits ini hasan shahih”) 

Allah berfirman:
"Lalu orang-orang yang zalim mengganti perintah dengan (mengerjakan) yang tidak diperintahkan kepada mereka. Sebab itu Kami timpakan atas orang-orang yang zalim itu siksa dari langit, karena mereka berbuat fasik." (QS.Al Baqarah 2: 59) 


Sumber: Muslim.or.id, Syaamilquran.com, dll.

20 comments:

  1. Min tobat min ini udh kelewatan sesat ente min -_-

    ReplyDelete
  2. Semoga penulis artikel dan pemilik blog ini sempat bertaubat sebelum terlambat. Amin.

    ReplyDelete
  3. mas. kalau semua disalahkan, di sesatkan, di bilang bid'ah. Lah yg non muslim akan menganggap islam bukan lah agama yg penuh cinta, mas.
    Kalau memang bid'ah. maka yg sampeyan kerjakan ini juga bid'ah. rasul endak ngeblog, mas. rasul endak naik motor/mobil..
    mbok ya sampeyan itu ngaca dulu, mas.

    ReplyDelete
    Replies
    1. pertanyaan anda sebenarnya ada jawabannya di tulisan di atas (kalau memang anda membaca), bahwa bid'ah hanya berkaitan dengan masalah agama. Nge-blok berkaitan dengan masalah agama? naik mobil berkaitan dengan masalah agama?

      lagipula ada satu kaidah yg penting tentang masalah bid'ah ini yaitu : Apabila Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam meninggalkan satu ibadah dari jenis-jenis ibadah yang ada, padahal faktor dan sebab yang menuntut dikerjakan ada, sementara faktor penghalangnya tidak ada, maka melaksanakan ibadah tersebut adalah bid’ah.

      sekarang pertanyaannya, perayaan maulid itu bisa/mungkin tidak dilaksanakan ketika zaman nabi dan para sahabat (setelah wafatnya nabi)? kalau mungkin, apakah mereka melakukannya?

      Delete
  4. Artikel di atas lumayan jelas dg bahasa yg ringan dan mudah dimengerti. Jika masih saja ada yang tidak mampu memahaminya, maka sy hnya bisa mendoakan saja: "Syafakallah" (Semoga Allah menyembuhkan anda).

    ReplyDelete
    Replies
    1. Semoga kita dikuatkan dalam "menggenggam bara api" ini.
      Dari Anas bin Malik رضي الله عنه, ia berkata : Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda :
      يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ القَابِضُ عَلَى دِيْنِهِ كَالْقَابِضِ عَلَى الْجَمْرِ
      “Akan datang kepada manusia suatu zaman, orang yang berpegang teguh pada agamanya seperti orang yang menggenggam bara api.” Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi.

      Delete
  5. Apa perbedaan Khawarij dengan Salafussholeh ya mas Abi Zam?

    ReplyDelete
  6. Sepertinya penulis belum khatam bab bid'ah. Biarkan saja dulu. Buat mas abi zam, saya mendo'akan anda "syafakallah" :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. sepertinya anda lebih paham dari ulama kibar Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’, sampai bisa bikin fatwa salah menurut anda.. yang ga paham itu siapa coba? aneh bin ajaib antum.

      Semangat untuk akhi Abi Zam, biarkan saja orang-orang ini, mereka belum mengerti, masih ikut hawa nafsu.

      Delete
    2. Ndul, gw anonimous yg komen tentang IM. kok pertanyaan gw gak dijawab? Jd yg dungu siapa niiih? Syafakillah.

      Delete
  7. dalam maulid itu adanya bacaan alquran,memperingati sirah nabi, ceramah agama untuk memperdalamkan kecintaan kita kepada nabi,juga ada sajian makan2 yang untuk lapisan masyarakat. Jadi antara banyak2 amalan yang dilakukan dalam maulid,yang mama said yang bertentangan dengan Islam dan gak pernah dikerjakan para sahabat.sedangkan nabi juga sentiasa berpuasa pads hair senin kerana hair senin adalah hair keputeraan baginda nabi saw.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Suatu ketika, Sa’id Ibnul Musayyib rahimahullah melihat seseorang yang shalat lebih dari 2 raka’at setelah terbitnya fajar. Orang tersebut memperbanyak ruku’ dan sujud. Kemudian beliau melarang orang tersebut meneruskan sholatnya. Orang tersebut pun berkata, “Hai Abu Muhammad (panggilan Sa’id Ibnul Musayyib)! Apakah Allah akan menyiksa aku karena sholatku?” Beliau menjawab, “Tidak, akan tetapi Allah akan menyiksamu karena kamu menyelisihi sunnah!”

      Syaikh Al Albani berkomentar, “Ini adalah jawaban yang sangat indah dari Sa’id Ibnul Musayyib rahimahullahu Ta’ala. Jawaban ini adalah senjata ampuh bagi orang yang gemar berbuat bid’ah yang menganggap baik banyak bid’ah dengan alasan isinya adalah zikir dan sholat! Merekapun mengingkari ahlus sunnah dengan memanfaatkan alasan tersebut. Mereka menuduh bahwa ahlus sunnah mengingkari zikir dan sholat! Padahal sejatinya, yang mereka ingkari adalah penyelisihan mereka terhadap sunnah dalam berzikir, sholat, dan sejenisnya” (Irwa-ul Ghalil, 2/236, dinukil dari ‘Ilmu Ushul Al Bida’, hal. 71-72)

      Delete
  8. http://www.majelisrasulullah.org/media/kenalilah_akidahmu_2.pdf

    ReplyDelete
  9. Belum cukupkah apa yang telah diajarkan oleh Nabi kita Sholallahu'alaihiwasallam sehingga kita lancang membuat amalan-amalan baru. (Al Maidah ayat 3)
    Sungguh dengan begitu kita telah menuduh Rasul kita Sholallahu'alaihiwasallam tidak tuntas dalam membawa syariat. Tsumma naudzubillah min dzalik.

    ReplyDelete
  10. Assalamu'alaikum wr.wb. sy menghargai pendapat semuanya ini saran ja..untuk penulis...
    1)ketika para wali songo menyebarkan islam di negara kita khusunya p. jawa, mereka menyebarkan islam dengan budaya,kesenian, misalnya wayang dll. apa tu juga disebut bid'ah..
    2)kemudian pengeras suara katanya bid'ah...padahal mesjid adzan pake pengeras suara ja mesjid masih bnyak yg kosong...pa lgi kalau gak pke....
    jdi intinya, mnurut sy kita kembali ke Al Qur'an dan Hadits ..penulis...hnya sebatas membaca tpi belum memahami....satu hal "ilmu tanpa agama lumpuh" __agama tanpa ilmu buta"_jadi intinya dengan maulid kita bisa pupuk kecintaan kepada nabi kita terutama generasi muda untuk mengimbangi dari moderenisasi zaman yg mengikis kehidupan manusia dari sosial, budaya dan agama

    ReplyDelete
  11. hmmmm.. yg mana nih mesti gue jadiin imam, dua2nya argumennya logic!?

    ReplyDelete
  12. Para pecinta maulid dengan pembenci maulid sama memiliki kesamaan kok, sebaiknya bersatu aja. Kesamaannya galak terhadap sesama muslim tapi berkasihsayang dengan orang kafir.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yang satu rela menjaga rumah ibadah agama lain dan yg lain rela menjadikan jongos penjajah sebagai ulil amri.

      Delete
  13. Seorang mukmin bukanlah pengumpat, pengutuk, berkata keji atau berkata busuk. (HR. Bukhari Alhakim).
    Tapi kok geng berkedok pengikut salafushalih suka mengutuk jamaah lain dengan tuduhan bid'ah dan sesat.

    ReplyDelete
  14. Ibnu Rajab Al Hanbaly menukil keterangan sebagian ulama Salafus Shalih bahwa dikatakan kepadanya : “Bolehkah seseorang yang mempunyai ilmu tentang As Sunnah membantah ahli bid’ah?” Ia menjawab : “Tidak! Tapi hendaknya ia menerangkan As Sunnah itu kalau diterima itu lebih baik baginya dan jika tidak maka (sebaiknya) ia diam saja (jangan berdebat, ed.).” (Bayanu Fadlli Ilmis Salaf ala Ilmil Khalaf halaman 36)

    Maka dari itu, saya berkata pada kalian bahwa petunjuk telah disampaikan. Jika anda tidak suka dan memilih berpaling, silahkan. Saya tidak akan memberi lagi bantahan atau penjelasan bertele-tele lagi dengan orang jahil yang suka berdebat.

    Wassalamualaikum.

    ReplyDelete