Wednesday, January 29, 2014

Tahlilan Kematian - Pelaziman Perilaku Jahiliah

Kematian, sebuah fase yang harus dilewati oleh setiap manusia hidup. Kematian membawa kesedihan pada keluarga yang ditinggalkan, dan terkadang membawa dampak kesusahan manakala yang meninggal adalah pencari nafkah dalam keluarga. Sudah ma’ruf di masyarakat, apabila ada anggota keluarga yang meninggal maka, sang keluarga akan mengadakan acara peringatan kematian yang umumnya disebut Tahlilan Kematian. Bagaimanakah Pandangan Syariat Islam dalam hal ini?



Berikut adalah isi acara secara umum dalam Tahlilan Kematian:
  1. Berkumpul di rumah keluarga mayit (sesudah penguburan), 
  2. Datang dan mengucapkan belasungkawa kepada keluarga mayit (Takziyah), 
  3. Membaca Al Quran (terutama surat Yasin) untuk dihadiahkan kepada mayit dan mendoakan kebaikan untuk sang mayit di kehidupan selanjutnya, 
  4. Menyantap hidangan yang disiapkan oleh keluarga mayit 
  5. Mengulangi perbuatan pada poin 1-4 di hari-hari selanjutnya (hari ke 3, 7, 40, dst.)

Mari kita urai satu persatu berdasar pandangan syariat dari 5 poin umum di atas:



1. Berkumpul di rumah keluarga mayit



عَنْ جَرِيْربْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْبَجَلِيِّ قَالَ : كُنَّا نَرَى (وفِى رِوَايَةٍ : كُنَا نَعُدُّ) اْلاِجْتِمَاع اِلَى أَهلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ (بَعْدَ دَفْنِهِ) مِنَ الْنِّيَاحَةِ 

Dari Jarir bin Abdullah Al Bajaliy, ia berkata : "Kami (yakni para shahabat semuanya) memandang/menganggap (yakni menurut madzhab kami para shahabat) bahwa berkumpul-kumpul di tempat ahli mayit dan membuatkan makanan sesudah ditanamnya mayit termasuk dari bagian niyahah (meratap)"

Rasulullah Sholallohu’alaihi wasallam bersabda: “Ada empat hal dari umatku yang termasuk perkara jahiliyah yang mereka tidak meninggalkannya, yaitu berbangga-bangga dengan kebanggaan keluarga, mencela nasab, minta hujan kepada bintang-bintang dan niyahah (meratap).” Dan beliau menyatakan: “Wanita yang melakukan niyahah apabila tidak bertaubat sebelum meninggalnya, maka kelak di hari kiamat dia akan diberdirikan dengan memakai pakaian panjang dari tembaga dan pakaian dari kudis.” [HR. Muslim no. 934]


- Al Imam Asy-Syafi’iy berkata: “Aku benci al ma'tam yaitu berkumpul-kumpul dirumah ahli mayit meskipun tidak ada tangisan, karena sesungguhnya yang demikian itu akan memperbaharui kesedihan" [Al 'Um” (I/318)]

- Al Imam Ibnu Qudamah: “Adapun ahli mayit membuatkan makanan untuk orang banyak maka itu satu hal yang dibenci ( haram ). Karena akan menambah kesusahan diatas musibah mereka dan menyibukkan mereka diatas kesibukan mereka dan menyerupai perbuatan orang-orang jahiliyyah. Dan telah diriwayatkan bahwasannya Jarir pernah bertamu kepada Umar. Lalu Umar bertanya,.Apakah mayit kamu diratapi ?" Jawab Jarir, " Tidak !" Umar bertanya lagi, " Apakah mereka berkumpul di rumah ahli mayit dan mereka membuat makanan ? Jawab Jarir, " Ya !" Berkata Umar, " Itulah ratapan !" [Al Mughni (Juz 3 halaman 496-497 cetakan baru ditahqiq oleh Syaikh Abdullah bin Abdul Muhsin At Turki )]

- Syaikh Ahmad Abdurrahman Al Banna: "Telah sepakat imam yang empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi'i dan Ahmad) atas tidak disukainya ahli mayit membuat makanan untuk orang banyak yang mana mereka berkumpul disitu berdalil dengan hadits Jarir bin Abdullah. Dan zhahirnya adalah HARAM karena meratapi mayit hukumnya haram, sedangkan para Sahabat telah memasukkannya (yakni berkumpul-kumpul di rumah ahli mayit) bagian dari meratap dan dia itu (jelas) haram. Dan diantara faedah hadits Jarir ialah tidak diperbolehkannya berkumpul-kumpul dirumah ahli mayit dengan alasan ta'ziyah /melayat sebagaimana dikerjakan orang sekarang ini.

Kemudian di akhir syarahnya atas hadits Jarir tersebut, beliau menegaskan : “Maka, apa yang biasa dikerjakan oleh kebanyakan orang sekarang ini yaitu berkumpul-kupmul (di tempat ahli mayit) dengan alasan ta’ziyah dan mengadakan penyembelihan, menyediakan makanan, memasang tenda dan permadani dan lain-lain dari pemborosan harta yang banyak dalam seluruh urusan yang bid’ah ini mereka tidak maksudkan kecuali untuk bermegah-megah dan pamer supaya orang-orang memujinya bahwa si fulan telah mengerjakan ini dan itu dan menginfakkan hartanya untuk tahlilan bapak-nya. Semuanya itu adalah HARAM menyalahi petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Salafush shalih dari para shahabat dan tabi’in dan tidak pernah diucapkan oleh seorangpun juga dari Imam-imam Agama (kita)."

[Fathurrabbani tartib musnad Imam Ahmad bin Hambal ( 8/95-96)]



- Al Imam Asy Syairoziy, dikitabnya yang kemudian disyarahkan oleh Imam Nawawi dengan nama Al Majmu' Syarah Muhadzdzab : "Tidak disukai /dibenci duduk-duduk (ditempat ahli mayit) dengan alasan untuk Ta'ziyah karena sesungguhnya yang demikian itu muhdats sedangkan muhdats adalah " Bid'ah ". [Lihat Kitab: Muhadzdzab, Asy Syairoziy]



- Al Imam An Nawawi : "Adapun duduk-duduk (dirumah ahli mayit ) dengan alasan untuk ta'ziyah telah dijelaskan oleh Imam Syafi'i dan pengarang kitab Al Muhadzdzab dan kawan-kawan semadzhab atas dibencinya (perbuatan tersebut)........ "
Kemudian Nawawi menjelaskan lagi, " Telah berkata pengarang kitab Al Muhadzdzab : “Dibenci duduk-duduk (ditempat ahli mayit ) dengan alasan untuk ta'ziyah. Karena sesungguhnya yang demikian itu adalah muhdats (hal yang baru yang tidak ada keterangan dari Agama), sedang muhdats adalah " Bid'ah."
[Majmu' Syarah Muhadzdzab (5/305-320)]. Dan hal inipun beliau tegaskan dengan membawakan perkataan penulis kitab Asy -Syaamil dan lain-lain Ulama di kitab beliau: [Raudlotuth Tholibin (2/145)]

- Al Imam Ibnul Humam Al Hanafi, di kitabnya dengan tegas dan terang menyatakan bahwa perbuatan tersebut adalah " Bid'ah Yang Jelek". [Fathul Qadir (2/142)]

- Al Imam Ibnul Qayyim, di kitabnya menegaskan bahwa berkumpul-kumpul (dirumah ahli mayit) dengan alasan untuk ta'ziyah dan membacakan Qur'an untuk mayit adalah " Bid'ah " yang tidak ada petunjuknya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam [Zaadul Ma'aad (I/527-528)]
- Al Imam Asy Syaukani, dikitabnya menegaskan bahwa hal tersebut Menyalahi Sunnah. [Nailul Authar (4/148)]

2. Datang dan mengucapkan belasungkawa kepada keluarga mayit (Takziyah)

- As- Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz berkata: “Ta'ziyah itu bisa dilakukan sebelum menshalatkan dan bisa juga setelahnya. Jika mengunjunginya, maka disyariatkan untuk menjabat tangannya (tangan keluarga si mayat) dan mendo'akannya dengan do'a yang sesuai, misalnya : (Semoga Allah memberimu pahala yang besar dan membaikkan kedukaanmu serta menguatkanmu pada musibahmu). Jika yang meninggal itu seorang muslim, maka hendaknya memohonkan ampunan dan rahmat baginya. Begitu pula para wanita, bisa saling mengucapkan bela sungkawa. Boleh juga laki-laki kepada wanita dan wanita kepada laki-laki, tapi tidak dengan khulwah (bersepi-sepian) dan tidak menjabat tangan jika wanita itu bukan mahramnya.”  [Majmu Fatawa wa Maqalat Mutanawwi'ah, Juz 5 hal.345, Syaikh Ibnu Baz]





3. Membaca Al Quran (terutama surat Yasin) untuk dihadiahkan kepada mayit dan mendoakan kebaikan untuk sang mayit di kehidupan selanjutnya

Firman Allah Jalla wa ‘Alaa.
“Artinya : Bahwa seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan bahwasanya manusia tidak akan memperoleh (kebaikan) kecuali apa yang telah ia usahakan” [An-Najm : 38-39]

- Al-Hafidz Ibnu Katsir di dalam menafsirkan ayat di atas.
“Yaitu, sebagaimana seseorang tidak akan memikul dosa orang lain demikian juga seorang tidak akan memperoleh ganjaran (pahala) kecuali apa-apa yang telah ia usahakan untuk dirinya sendiri.”

- Al-Imam Asy-Syafi’iy bersama para ulama yang mengikutinya telah mengeluarkan hukum bahwa bacaan Qur’an tidak akan sampai hadiah pahalanya kepada orang yang telah mati. Karena bacaan tersebut bukan dari amal dan usaha mereka. Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mensyariatkan umatnya (untuk menghadiahkan bacaan Qur’an kepada orang yang telah mati) dan tidak juga pernah menggemarkannya atau memberikan petunjuk kepada mereka baik dengan nash (dalil yang tegas dan terang) dan tidak juga dengan isyarat (sampai-sampai dalil isyarat pun tidak ada). Dan tidak pernah dinukil dari seorangpun shahabat (bahwa mereka pernah mengirim bacaan Qur’an kepada orang yang telah mati). Kalau sekiranya perbuatan itu baik tentu para shahabat telah mendahului kita mengamalkannya 

- As- Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz berkata: “Perbuatan tersebut dan yang sejenisnya tidak memiliki dasar sama sekali, dan tidak pernah diriwayatkan secara sah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau dari para sahabat beliau bahwa mereka membacakan Al-Qur’an untuk orang yang sudah meninggal dunia. 

Bahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.“Barangsiapa yang melakukan suatu amal ibadah tanpa perintah dari kami, maka amalannya tersebut tertolak”. [Dikeluarkan oleh Muslim dalam Shahih-nya, juga diriwayatkan oleh Al-Bukhari secara mu’allaq dalam Shahih-nya, namun dengan pernyataan tegas (jazm).] 

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda. “Barangsiapa membuat-buat suatu amalan dalam agama kami ini yang bukan termasuk bagian dari agama tersebut, maka amalannya itu tertolak”. [Muttafaq ‘Alaihi]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyebutkan dalam khutbah jum’at.: “Amma ba’du. Sesungguhnya ucapan terbaik adalah Kitabullah dan petunjuk terbaik adalah petunjuk Muhammad. Hal terburuk adalah yang dibuat-buat (bid’ah), dan setiap bid’ah adalah sesat” [Shahih Muslim, An-Nasa-i menambahkan dengan sanad shahih : “Dan setiap kesesatan itu tempatnya di Neraka.]

Adapun sedekah untuk orang mati dan mendo’akan mereka, niscaya dapat bermanfaat dan pahalanya dapat sampai kepada mereka berdasarkan ijma kaum muslimin. Hanya Allah yang dapat memberikan taufiq dan menjadi sandaran bagi kita.

[Al-Fatawa Juz Awwal, Penulis Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Eidisi Indonesia Fatawa bin Baaz, Penerjemah Abu Umar Abdillah, Penerbit At-Tibyan – Solo]



4. Menyantap hidangan yang disiapkan oleh keluarga mayit



- Berkata penulis kitab ‘Al-Fiqhul Islamiy” (2/549) : “Adapun ahli mayit membuat makanan untuk orang banyak maka hal tersebut dibenci dan Bid’ah yang tidak ada asalnya. Karena akan menambah musibah mereka dan menyibukkan mereka diatas kesibukan mereka dan menyerupai (tasyabbuh) perbuatan orang-orang jahiliyyah”.


- Al Imam Ahmad bin Hambal, ketika ditanya tentang masalah ini beliau menjawab : " "Dibuatkan makanan untuk mereka (ahli mayit ) dan tidaklah mereka (ahli mayit ) membuatkan makanan untuk para penta'ziyah." [Masaa-il Imam Ahmad bin Hambal oleh Imam Abu Dawud hal. 139]

Hal ini juga Bertentangan dengan akal, karena orang yang sedang didera kesusahan dengan sebab kematian anggota keluarganya sepantasnya dihibur. Bukan ditambahi beban dengan menghidangkan jamuan buat para tamu, baik tetangga maupun kerabat atau dengan membayar orang yang membacakan al-Quran, tahlil atau doa.

Walaupun sang keluarga dengan sukarela melakukannya bahkan dengan senang hati, tetaplah perbuatan ini adalah terlarang.

Dan telah diriwayatkan bahwasannya Jarir pernah bertamu kepada Umar. Lalu Umar bertanya,."Apakah mayit kamu diratapi ?" Jawab Jarir, " Tidak !" Umar bertanya lagi, " Apakah mereka berkumpul di rumah ahli mayit dan mereka membuat makanan ? Jawab Jarir, " Ya !" Berkata Umar, " Itulah ratapan !" [Al Mughni (Juz 3 halaman 496-497 cetakan baru ditahqiq oleh Syaikh Abdullah bin Abdul Muhsin At Turki )]


5. Mengulangi perbuatan pada poin 1-4 di hari-hari selanjutnya (hari ke 3, 7, 40, dst.)

Telah nyata dan dijelaskan berbagai kemungkaran yang terjadi pada acara Tahlilan Kematian. Terlebih lagi apabila hal tersebut diulang kembali di hari-hari selanjutnya. 


Bagaimana Cara Yang Benar Dalam Mendo'akan Mayit ?

1. Mendoakan dan memohonkan ampunan ketika mendengar berita atau mengetahui kematian seorang muslim. 
2. Mendoakan dan memohonkan ampunan saat shalat jenazah.
3. Mendoakan dan memohonkan ampunan ketika ziarah kubur
4. Mendoakan dan memohonkan ampunan di setiap ada waktu dan kesempatan, dengan tanpa menentukan waktu, tempat dan tata-cara khusus yang tidak diajarkan oleh Allâh dan RasulNya.




Wabillahi taufiq, salam dan solawat kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabat beliau.


Sumber: Almanhaj, Abdul Hakim, dll.
Abi Zam, 28 Rabbiul 'Awwal 1435 H

Thursday, January 16, 2014

Kewajiban Amar Ma'ruf Nahi Mungkar


Allah Ta'ala memberi contoh perkataan mulia Luqman saat memerintahkan anaknya: 
"... dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)". [QS. Lukman : 17]

Berdasarkan firman Allah di atas telah jelas tentang diwajibkannya ber-amar ma'ruf nahi mungkar. Fenomena yang terjadi sekarang ini di tengah-tengah kita adalah keengganan seseorang dalam melaksanakan kewajiban ini.

Dari firman Allah tersebut, ada beberapa poin utama yang terkandung di dalamnya, yaitu:
  1. Perintah untuk ber-amar ma'ruf (menyuruh manusia lain mengerjakan kebaikan), 
  2. Perintah untuk ber-nahi mungkar (mencegah dari perbuatan yang mungkar), 
  3. Perintah untuk bersabar terhadap apa yang menimpa, 
  4. Penegasan kembali dari Allah Ta'ala tentang diwajibkannya ketiga hal tersebut. 

Inilah hakikat akhlaq yang harus dimiliki oleh seorang Muslim. Allah Ta'ala berfirman: "Adalah engkau sekalian itu sebaik-baik umat yang dikeluarkan untuk seluruh manusia, karena engkau semua memerintah dengan kebaikan dan melarang dari kemungkaran." [QS. Ali-Imran: 110]

Berlepasnya seseorang dari ketiga poin tersebut (amar ma'ruf, nahi mungkar, dan kesabaran) akan menyebabkan kerusakan yang meluas, dan yang terutama adalah merugikan bagi orang yang meninggalkannya.

Allah Ta'ala berfirman: "Demi masa, sesungguhnya manusia itu dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran." [QS. Al-'Ashr: 1-3]


Keutamaan Orang Yang Ber-Amar Ma'ruf, Nahi Mungkar, dan Sabar

Sejatinya suatu hal yang diwajibkan oleh Allah kepada manusia mempunyai keutamaan yang besar bagi seseorang yang menunaikannya.

1. Diselamatkan dari keburukan/bencana/musibah yang akan menimpa

Allah Ta'ala berfirman: "Kami menyelamatkan orang-orang yang melarang dari keburukan dan Kami menerapkan hukuman kepada orang-orang yang menganiaya dengan siksaan yang pedih dengan sebab mereka berbuat kefasikan." [QS. Al-A'raf: 165]
 
2.Allah memasukan kebahagian ke dalam hati

Allah Ta'ala berfirman: "Hendaklah ada diantara engkau semua itu suatu umat -golongan- yang mengajak kepada kebaikan, memerintah dengan kebaikan serta melarang dari kemungkaran. Mereka itulah orang-orang yang berbahagia." [QS. Ali-Imran: 104]

Tapi dibalik itu maka meninggalkan Amar Ma'ruf, Nahi Mungkar, dan Sabar, juga mempunyai konsekuensi yang seimbang dengan keutamaan di atas.


Tuntunan Ber-Amar Ma'ruf Nahi Mungkar

Dalam ber-amar ma'ruf nahi mungkar dibutuhkan 3 bagian penting yang satu sama lainnya saling membutuhkan dalam penegakkan amar ma'ruf nahi mungkar. 
  • Niat Ikhlas
  • Ilmu Syariat
  • Kelembutan dan Kesabaran

1. Niat Ikhlas


Syaikhul Islam Ahmad bin Abdul Halim Ibnu Taimiyah berkata: "Maka pertama sekali, hendaklah seseorang menjadikan urusannya karena Allah dan tujuannya adalah menta’ati Allah pada apa yang diperintahkan Allah kepadanya. Dan mencintai kemaslahatan manusia atau menegakkan hujjah terhadap mereka. Apabila ia mengerjakan perbuatan yang disebutkan di atas karena ingin mencari kedudukan untuk dirinya dan golongannya serta merendahkan orang lain, maka perbuatan itu menjadi hamiyah (fanatik golongan atau hizbiyyah) yang tidak diterima Allah. 


Begitu juga kalau dia mengerjakanya karena mencari sum’ah (reputasi / ingin didengar orang) dan riya’ (disimulasi / ingin dilihat orang), maka perbuatan itu akan menjadi sia-sia. Kemudian apabila perbuatannya itu dibantah atau dirinya disakiti atau dikatakan terhadap dirinya, bahwa dia itu adalah orang yang salah dan tujuannya salah, maka dia mencari pertolongan (pendukung) untuk memenangkan dirinya sendiri, sehingga syaitan pun mendatanginya.
[Minhaajus Sunnah 3/64, tarjim Abu Abdillah Muhammad Elvi Syam]


2. Ilmu Syariat

Ilmu syariat sangatlah diperlukan dalam ber-amar ma'ruf nahi mungkar. Darimana seseorang tahu apa-apa kebaikan yang harus ia perintahkan dan mana saja keburukan yang harus ia cegah darinya bilamana ia sendiri tidak mengetahui yang mana yang ma'ruf dan yang mana yang mungkar. Perlu diketahui bahwa "Apa-apa yang menurut kita baik, belum tentu itu baik dan apa-apa yang menurut kita tidak baik, belum tentu itu keburukan, semua kebaikan dan semua keburukan telah disebutkan tanpa ada celah tertinggal di dalam syariat Islam yang sempurna ini"

Orang-orang yang hanya berpegang atau mengedepankan akalnya saja dalam menghukumi suatu perbuatan itu baik atau tidak baik, jelas akan lebih banyak salah dan sesat dari jalan kebenaran itu sendiri. Wahyu berupa Al Quran dan As Sunnah harus menjadi imam dari akal, bukan sebaliknya.

"Mengedepankan akal dalam agama ibarat seseorang yang berjalan di tengah hutan belantara yang luas dengan berbekal lilin. Ia akan berputar-putar, tersandung, bahkan bisa jadi lilin yang menjadi penerangnya tersebut mati tertiup angin atau dikarenakan lain hal. Sedangkan apabila wahyu yang menjadi imam dari akal, maka wahyu tersebut ibarat bintang yang terang benderang di kegelapan malam yang menembus dedaunan, seseorang di dalam hutan dengan berbekal lilin tidak akan tersesat bila mengambilnya sebagai penunjuk arah. Lilin ia gunakan untuk melihat sekitarnya agar terhindar dari lubang atau akar yang melintang, dan bintang ia jadikan sebagai penunjuk jalan kemana ia harus melangkah."


3. Kelembutan dan Kesabaran

Syaikhul Islam Ahmad bin Abdul Halim Ibnu Taimiyah berkata: "Berlemah-lembut di waktu menyuruh, serta bijaksana setelah menyuruh. Kalau seandainya ia bukan seorang yang ‘alim, maka ia tidak boleh mengikuti apa yang tidak ia ketahui. Kalau seandainya ia seorang yang ‘alim (berilmu), tetapi tidak berlemah-lembut, maka bagaikan seorang dokter yang tidak mempunyai sikap lemah-lembut, lantas bersikap kasar terhadap pesien, akibatnya pasien pun tidak menerimanya. Dan seperti seorang pendidik yang kasar, maka anak pun tidak bisa menerimanya". [Minhaajus Sunnah 3/64, tarjim Abu Abdillah Muhammad Elvi Syam]

Keberhasilan suatu dakwah memerlukan kesabaran dalam melakukannya. Allah Ta'ala berfirman: "Dan sesungguhnya orang yang berhati sabar dan suka memaafkan, sesungguhnya bagi yang sedemikian itu adalah termasuk pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan dengan keteguhan hati." [QS. As-Syura: 43]

Dari Aisyah radhiallahu 'anha pula bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya sikap lemah-lembut itu tidak menetap dalam sesuatu perkara, melainkan ia makin memperindah hiasan baginya dan tidak dicabut dari sesuatu perkara, melainkan membuat cela padanya." (Riwayat Muslim)

Dari Jarir bin Abdullah radhiallahu 'anhuma., katanya: "Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa yang tidak dikaruniai sifat lemah lembut, maka ia tidak dikaruniai segala macam kebaikan." (Riwayat Muslim)


Berikut Dampak-dampak buruk dari ditinggalkannya Amar Ma'ruf, Nahi Mungkar, dan Sabar:

1. Turunnya Azab Allah

Manakala di dalam suatu tempat atau negeri sudah terlampau banyak keburukan, kemungkaran, kefasikan dan kecurangan, maka kebinasaan dan kerusakan akan merata di daerah itu dan tidak hanya mengenai orang jahat-jahat saja, tetapi orang-orang shalih tidak akan dapat menghindarkan diri dari azab Allah itu, sekalipun jumlah mereka itu cukup banyak. 

Dari Annu'man bin Basyir radhiallahu 'anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Perumpamaan orang yang berdiri tegak -untuk menentang orang-orang yang melanggar- pada had-had Allah -yakni apa-apa yang dilarang olehNya- dan orang yang menjerumuskan diri di dalam had-had Allah -yakni senantiasa melanggar larangan-laranganNya- adalah sebagai perumpamaan sesuatu kaum yang berserikat -yakni bersama-sama- ada dalam sebuah kapal, maka yang sebagian dari mereka itu ada di bagian atas kapal, sedang sebagian lainnya ada di bagian bawah kapal. Orang-orang yang berada di bagian bawah kapal itu apabila hendak mengambil air, tentu saja melalui orang-orang yang ada di atasnya -maksudnya naik keatas dan oleh sebab hal itu dianggap sukar-, maka mereka berkata: "Bagaimanakah andaikata kita membuat lobang saja di bagian bawah kita ini, suatu lobang itu tentunya tidak mengganggu orang yang ada di atas kita." Maka jika sekiranya orang yang bagian atas itu membiarkan saja orang yang bagian bawah menurut kehendaknya, tentulah seluruh isi kapal akan binasa. Tetapi jikalau orang bagian atas itu mengambil tangan orang yang bagian bawah -melarang mereka dengan kekerasan- tentulah mereka selamat dan selamat pulalah seluruh penumpang kapal itu." [HR. Bukhari]

Dalam sabda lainnya Rasulullah Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda: 
"Sesungguhnya manusia itu bila melihat kemungkaran tapi tidak mengingkarinya, maka dikhawatirkan Allah akan menimpakan siksa-Nya yang juga menimpa mereka." [HR. Abu Dawud dalam Al-Malahim (4338), At-Tirmidzi dalam At-Tafsir (3057)]



2. Tidak dikabukannya Doa, Tidak Diberi Bila Meminta, dan Tidak Ditolong

Dalam sebuah Hadits Qudsi, dari Aisyah Radhiallahu'anha, Rasulullah Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda: Allah berfirman: "Perintahkanlah kepada yang ma`ruf (kebaikan), dan laranglah dari hal yang munkar (keburukan), sebelum kalian berdoa lalu Aku tidak mengabulkan doa kalian, sebelum kalian meminta kepada-Ku lalu Aku tidak memberi kepada kalian, sebelum kalian meminta pertolongan kepada-Ku lalu aku tidak memberi pertolongan kepada kalian." [HR Ahmad (VI/159) dan al-Bazzâr (no. 3304)]

Kemungkaran itu jangan didiamkan saja merajalela. Bila kuasa harus diperingatkan dengan perbuatan agar terhenti kemungkaran tadi seketika itu juga. Bila tidak sanggup, maka dengan lisan (dengan nasihat peringatan atau perkataan yang sopan santun), sekalipun ini agak lambat berubahnya. Tetapi kalau masih juga tidak sanggup, maka cukuplah bahwa hati kita tidak ikut-ikut menyetujui adanya kemungkaran itu. Hanya saja yang terakhir ini adalah suatu tanda bahwa iman kita sangat lemah sekali. Karena dengan hati itu hanya bermanfaat untuk diri kita sendiri, sedang dengan perbuatan atau nasihat itu dapat bermanfaat untuk kita dan masyarakat umum, hingga kemungkaran itu tidak terus menjadi-jadi.

Dari Abu Said al-Khudri radhiallahu 'anhuma, katanya: "Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: "Barangsiapa diantara engkau semua melihat sesuatu kemungkaran, maka hendaklah mengubahnya itu dengan tangannya, jikalau tidak dapat, maka dengan lisannya dengan jalan menasihati orang yang melakukan kemungkaran tadi -dan jikalau tidak dapat juga- dengan lisannya, maka dengan hatinya -maksudnya hatinya mengingkari serta tidak menyetujui perbuatan itu. Yang sedemikian itu -yakni dengan hati saja- adalah selemah-lemahnya keimanan." (Riwayat Muslim)


3. Ridho Terhadap Kemungkaran berakibat Hilangnya Keimanan dalam Hati

Dari Ibnu Mas'ud radhiallahu 'anhuma bahwasanya Rasulullah Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. bersabda: "Tiada seorang nabipun yang diutus oleh Allah sebelumku, melainkan ia mempunyai beberapa orang hawari (penolong atau pengikut setia) dari kalangan umatnya, juga beberapa sahabat, yang mengambil teladan dengan sunnahnya serta mentaati perintahnya. Selanjutnya sesudah mereka ini akan menggantilah beberapa orang pengganti yang suka mengatakan apa yang tidak mereka lakukan, bahkan juga melakukan apa yang mereka tidak diperintahkan (pelaku bid'ah). Maka barangsiapa yang berjuang melawan mereka itu (yakni para penyeleweng dari ajaran-ajaran nabi yang sebenarnya ini) dengan tangan (atau kekuasaannya), maka ia adalah seorang mu'min, barangsiapa yang berjuang melawan mereka dengan lisannya, iapun seorang mu'min dan barangsiapa yang berjuang melawan mereka dengan hatinya, juga seorang mu'min, tetapi jikalau semua itu tidak -dengan tangan, lisan dan hati, maka tiada keimanan sama sekali sekalipun hanya sebiji sawi." (Riwayat Muslim)


Semoga kita mampu untuk melaksanakan kewajiban amar ma'ruf nahi mungkar ini, semoga Allah memberikan ilmu yang bermanfaat dan menganugerahkan kesabaran kepada kita semua. Aamiin.

Wabillahi taufiq, salam dan solawat kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabat beliau.

Abi Zam, 15 Rabi'ul awwal 1435 H

Monday, January 13, 2014

Maulid Nabi - Sebuah Penyimpangan Syariat


Kaum muslimin yang dimuliakan Allah, di bulan Rabi’ul Awwal ini, banyak kaum muslimin yang merayakan maulid Nabi. Telah banyak pula tulisan yang menjelaskan bahwa perayaan maulid tidak ada tuntunannya di dalam Islam. Dengan memohon pertolongan Allah, sedikit bahasan ini akan memaparkan alasan mengapa maulid dikategorikan sebagai bid’ah sehingga tidak seyogyanya seorang muslim merayakannya. Semoga Allah memberi taufik kepada kita semua.


Pengertian ringkas bid’ah


Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud dengan bid’ah adalah setiap perbuatan yang diada-adakan dalam agama yang tidak ada dalil yang menunjukkan disyari’atkannya perbuatan tersebut” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2/127)

Berdasarkan pengertian di atas, maka ada dua poin penting yang dapat diambil :
  • Bid’ah hanya berkaitan dengan masalah agama
  • Bid’ah adalah perbuatan yang tidak ada dasarnya dalam agama.

Mengapa maulid dikategorikan sebagai bid’ah?


Kaum muslimin yang dimuliakan Allah, tentu bagi saudara kita yang merayakannya, maulid adalah ibadah dan perayaan yang sangat agung yang dapat mendatangkan keridhoan Allah Ta’ala dan syafa’at Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maulid Nabi adalah perayaan yang rutin digelar setiap tahunnya sehingga maulid Nabi termasuk hari ‘ied dimana banyak dari kaum muslimin berkumpul di hari tersebut.
Definisi ‘ied

Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “’Ied adalah istilah yang diambil karena berulangnya sesuatu untuk sebuah perkumpulan besar. Bisa jadi yang berulang adalah tahun, pekan, bulan, atau semisalnya” (Fathul Majid, hal. 267)

Dengan demikian, maulid dapat dikategorikan sebagai hari ‘ied berdasarkan pengertian di atas karena kesesuaian sifat-sifatnya, sama-sama rutin dan sama-sama merupakan perkumpulan besar kaum muslimin.
Penentuan ibadah atau hari ‘ied kaum muslimin membutuhkan dalil

Akan tetapi, untuk menentukan suatu hari itu adalah ‘ied atau bukan maka membutuhkan dalil dari Al Qur’an atau As Sunnah.

Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Tidaklah disyari’atkan bagi kaum muslimin untuk menjadikan (suatu hari sebagai) ‘ied kecuali yang ditetapkan oleh syari’at sebagai hari ‘ied. Hari ‘ied (yang ditetapkan syari’at) tersebut adalah ‘iedul fithri, ‘iedul adha, hari-hari tasyrik dimana ketiga ‘ied tersebut adalah ‘ied tahunan, serta hari jum’at dimana hari jum’at adalah ‘ied pekanan. Selain dari hari-hari ‘ied tersebut, maka menetapkan suatu hari sebagai hari ‘ied yang lain adalah kebid’ahan yang tidak ada asalnya dalam syari’at” (Latho-if Al Ma’arif, hal. 228) 



Adakah dalil dianjurkannya maulid? 

Kaum muslimin yang dimuliakan Allah, sayangnya tidaklah kita temukan satu dalil pun yang menunjukkan disyari’atkannya maulid Nabi setelah sempurnanya Islam. Tidak ada hadits Nabi, riwayat sahabat, serta ucapan 4 imam mazhab yang menunjukkan dianjurkannya merayakan maulid Nabi.

Selisih Pendapat Seputar Waktu Kelahiran Nabi

Tanggal Kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diperselisihkan secara tajam. Ada yang mengatakan bahwa beliau lahir tanggal 2 Rabiul Awal, 8 Rabiul Awal, 10 Rabiul Awal, 12 Rabiul Awal, 17 Rabiul Awal (Lihat al-Bidayah wa Nihayah karya Ibnu Katsir: 2/260 dan Latho’iful Ma’arif karya Ibnu Rojab hlm. 184-185). Semua pendapat ini tidak berdasarkan hadits yang shahih. Adapun hadits Jabir dan Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma yang menerangkan bahwa tanggal kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah tanggal 12 Rabiul Awal tidak shahih. Kalaulah shahih, tentu akan menjadi hakim (pemutus perkara) dalam masalah ini. Akan tetapi, Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang hadits tersebut, “Sanadnya terputus.” (al-Bidayah wan Nihayah karya Ibnu Rajab hlm. 184-185)


Berhubung penentuan hari kelahiran beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak ada yang shahih, tidak mengapa kalau kita menukil pendapat ahli falak. Banyak ahli falak berpendapat bahwa hari kelahiran beliau adalah pada tanggal 9 Rabiul Awal, seperti al-Ustadz Mahmud Basya al-Falaki, al-Ustadz Muhammad Sulaiman al-Manshur Fauri (Sebagaimana dinukil oleh Shofiyurrohman al-Mubarokfuri dalam ar-Rahiqul Makhtum hlm. 62) 

Al-Ustadz Abdullah bin Ibrahim bin muhammad as-Sulaim, beliau mengatakan, “Dalam kitab-kitab sejarah dan siroh dikatakan bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam lahir pada hari Senin tanggal 10, atau 8, atau 12 dan ini yang dipilih oleh mayoritas ulama. Telah tetap tanpa keraguan bahwa kelahiran beliau adalah pada 20 April 571 M (tahun Gajah), sebagaimana telah tetap juga bahwa beliau wafat pada 13 Rabiul Awal 11 H yang bertepatan dengan 6 Juni 632 M. Selagi tanggal-tanggal ini telah diketahui, maka dengan mudah dapat diketahui hari kelahiran dan hari wafatnya dengan jitu, demikian juga usia Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan mengubah tahun-tahun ini pada hitungan hari akan ketemu 22.330 hari dan bila diubah ke tahun qamariyyah akan ketemulah bahwa umur beliau 63 tahun lebih tiga hari. Dengan demikian, hari kelahiran beliau adalah hari Senin 9 Rabiul Awal tahun 53 sebelum hijriah, bertepatan dengan 20 April 571 M. (Taqwimul Azman hlm. 143, cet pertama 1404 H)

Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, “Sebagian ahli falak belakangan telah meneliti tentang tanggal kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ternyata jatuh pada tanggal 9 Rabiul Awal, bukan 12 Rabiul Awal.” (al-Qaulul Mufid ‘ala Kitab Tauhid: 1/491. Dinukil dari Ma Sya’a wa Lam Yatsbut fis Sirah Nabawiyyah hlm. 7-8 oleh Muhammad bin Abdullah al-Ausyan)
 


Terdapat kemiripan dengan perayaan orang kafir

Selain tidak memiliki landasan agama, perayaan maulid Nabi juga menyerupai perayaan yang diadakan oleh orang nasrani yang merayakan hari kelahiran Nabi ‘Isa ‘alaihis salam sehingga dikategorikan sebagai bid’ah.

Imam As Suyuthi rahimahullah berkata, “Termasuk ke dalam perbuatan bid’ah yang mungkar adalah : menyerupai orang kafir dan menyamai mereka dalam hari raya mereka dan perayaan mereka yang terlaknat sebagaimana yang dilakukan banyak orang awam dari kaum muslimin yang turut serta dalam perayaan orang nasrani pada Khamis al Baydh dan lainnya” (Al Amru bil Ittiba’, hal. 141, dinukil dari ‘Ilmu Ushul Al Bida’, hal. 80)

Mungkin saja Nabi dan para sahabat melakukannya jika mau

Kaum muslimin yang dimuliakan Allah, akan semakin menambah keyakinan kita untuk mengatakan bahwa maulid adalah bid’ah jika melihat perkataan Ibnu Taimiyyah berikut ini.

Beliau rahimahullah berkata, “Sesungguhnya para salaf tidak merayakannya (maulid Nabi) padahal ada faktor pendorong untuk merayakannya dan juga tidak ada halangan untuk merayakannya. Seandainya perbuatan itu isinya murni kebaikan, atau mayoritas isinya adalah kebaikan, niscaya para salaf radhiyallahu ‘anhum lebih berhak untuk merayakannya. Karena mereka adalah orang yang lebih besar kecintaannya dan pengagungannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dibandingkan kita. Mereka -para salaf- lebih semangat untuk berbuat kebaikan” (lihat Iqtidho Shirothil Mustaqim, 2/612-616, dinukil dari Al Bida’ Al Hauliyah, hal. 198)

Kaum muslimin yang dimuliakan Allah, seandainya Rasulullah, para sahabat, tabi’in, maupun 4 imam mazhab mau merayakan maulid Nabi, tentu mudah bagi mereka untuk merayakannya. Faktor pendorong merayakan maulid sudah ada, yakni kecintaan mereka kepada Nabi yang teramat besar, ditambah lagi tidak ada faktor yang menghalangi mereka untuk merayakannya. Namun, mengapa mereka tidak merayakannya? Apa sih susahnya maulidan? Hal ini semata karena keyakinan mereka bahwa maulid bukanlah ajaran Rasul yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Suatu ketika, Sa’id Ibnul Musayyib rahimahullah melihat seseorang yang shalat lebih dari 2 raka’at setelah terbitnya fajar. Orang tersebut memperbanyak ruku’ dan sujud. Kemudian beliau melarang orang tersebut meneruskan sholatnya. Orang tersebut pun berkata, “Hai Abu Muhammad (panggilan Sa’id Ibnul Musayyib)! Apakah Allah akan menyiksa aku karena sholatku?” Beliau menjawab, “Tidak, akan tetapi Allah akan menyiksamu karena kamu menyelisihi sunnah!”

Syaikh Al Albani
berkomentar, “Ini adalah jawaban yang sangat indah dari Sa’id Ibnul Musayyib rahimahullahu Ta’ala. Jawaban ini adalah senjata ampuh bagi orang yang gemar berbuat bid’ah yang menganggap baik banyak bid’ah dengan alasan isinya adalah zikir dan sholat! Merekapun mengingkari ahlus sunnah dengan memanfaatkan alasan tersebut. Mereka menuduh bahwa ahlus sunnah mengingkari zikir dan sholat! Padahal sejatinya, yang mereka ingkari adalah penyelisihan mereka terhadap sunnah dalam berzikir, sholat, dan sejenisnya” (Irwa-ul Ghalil, 2/236, dinukil dari ‘Ilmu Ushul Al Bida’, hal. 71-72)

Itulah kaum muslimin yang dimuliakan Allah, yang ahlus sunnah ingkari bukanlah zikir dan sholat itu sendiri, akan tetapi penyelisihan terhadap sunnah itulah yang menjadi poin penting pembahasan ini. Bagaimana tidak? Menyelisihi sunnah berarti menyelisihi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal Allah Ta’ala memerintahkan kita semua untuk selalu meneladani beliau. Semoga Allah Subhaanahu wa Ta’ala memberi petunjuk kepada kita semua dan membimbing kita untuk senantiasa berpegang kepada Al Qur’an dan As Sunnah.


Orang-orang yang diusir Rasulullah di Padang Mahsyar 

Sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu mengisahkan: Pada suatu hari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mendatangi kuburan, lalu beliau mengucapkan salam: “Semoga keselamatan senantiasa menyertai kalian wahai penghuni kuburan dari kaum mukminin dan kami insya Allah pasti akan menyusul kalian.” Selanjutnya beliau bersabda: “Aku sangat berharap untuk dapat melihat saudara-saudaraku.” Mendengar ucapan ini, para sahabat keheranan, sehingga mereka bertanya, “Bukankah kami adalah saudara-saudaramu, wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Kalian adalah sahabat-sahabatku, sedangkan saudara-saudaraku adalah ummatku yang akan datang kelak.” Kembali para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana engkau dapat mengenali ummatmu yang sampai saat ini belum terlahir?” Beliau menjawab, “Menurut pendapat kalian, andai ada orang yang memiliki kuda yang di dahi dan ujung-ujung kakinya berwarna putih dan kuda itu berada di tengah-tengah kuda-kuda lainnya yang berwarna hitam legam, tidakkah orang itu dapat mengenali kudanya?” Para sahabat menjawab, “Tentu saja orang itu dengan mudah mengenali kudanya.” Maka, Rasulullah menimpali jawaban mereka dengan bersabda, “Sejatinya ummatku pada Hari Kiamat akan datang dalam kondisi wajah dan ujung-ujung tangan dan kakinya bersinar pertanda mereka berwudlu semasa hidupnya di dunia. Aku akan menanti ummatku di pinggir telagaku di alam mahsyar. Dan ketahuilah, bahwa akan ada dari ummatku yang diusir oleh malaikat, sebagaimana seekor onta yang tersesat dari pemiliknya dan mendatangi tempat minum milik orang lain, sehingga iapun diusir.” Melihat sebagian orang yang memiliki tanda-tanda pernah berwudlu, maka aku memanggil mereka, “Kemarilah!” Namun, para malaikat yang mengusir mereka berkata, “Sejatinya mereka sepeninggalmu telah mengubah-ubah ajaranmu.” Mendapat penjelasan semacam ini, maka aku berkata, “Menjauhlah, menjauhlah, wahai orang-orang yang sepeninggalku merubah-rubah ajaranku!” [Mutafaq 'Alaihi]


Fatwa Seputar Maulid Nabi

1. Pertanyaan:

Apa hukum merayakan maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di bulan Rabi’ul Awwal dalam rangka mengagungkan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam?

Jawaban:
Mengagungkan dan memuliakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dengan mengimani wahyu yang Allah wahyukan pada beliau dan mengikuti syari’at yang beliau bawa baik dalam hal aqidah, ucapan, amalan dan akhlak. Memuliakan beliau bukanlah dengan melakukan bid’ah dalam agama. Yang termasuk bid’ah dalam agama adalah merayakan maulid nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Wa billahit taufiq, shalawat dan salam kepada nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

(Fatwa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ no. 3257)

2. Pertanyaan:
Bolehkah seseorang menghadiri perayaan yang bid’ah seperti perayaan maulid nabi, isro’ mi’roj, malam nishfu sya’ban, namun ia tidak meyakini bahwa perayaan-perayaan tadi disyari’atkan, ia cuma bertujuan menjelaskan kebenaran?

Jawaban:
Pertama, perayaan yang disebutkan dalam pertanyaan di atas adalah perayaan yang tidak boleh dirayakan bahkan perayaan yang bid’ah yang mungkar.
Kedua, jika memang kita bermaksud untuk menghadiri perayaan-perayaan tersebut dalam rangka menasehati dan mengingatkan bahwa perayaan tersebut termasuk bid’ah (perkara yang diada-adakan dalam agama), maka itu adalah suatu hal yang disyari’atkan, lebih-lebih lagi jika yakin memiliki argumen yang kuat dan yakin selamat dari fitnah. Namun jika menghadirinya tidak dalam rangka demikian, hanya bersenang-senang saja, maka seperti itu tidak dibolehkan karena termasuk dalam berserikat dengan mereka dalam hal yang mungkar dan malah menambah tersebar serta semakin meriahnya bid’ah mereka.
Wa billahit taufiq, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa aalihi wa shohbihi wa sallam

(Fatwa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ no. 6524, 3/38)

Fatwa ini ditandatangani oleh: 
Ketua: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz 
Wakil Ketua: Syaikh ‘Abdur Rozaq ‘Afifi 
Anggota: Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayan, Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud


Kesimpulan hukum maulid

Oleh karena itulah, dengan melihat definisi bid’ah di atas serta melihat penjelasan tentang ‘ied sebelumnya, maka yang dapat kita simpulkan adalah : Maulid adalah sebuah perayaan rutin (‘ied) yang tidak memiliki landasan sama sekali dalam agama sehingga tergolong perbuatan baru yang diada-adakan (baca : bid’ah).

Inilah alasan pokok mengapa maulid dikategorikan sebagai bid’ah. Maulid adalah perkara baru dalam agama yang tidak ada dasarnya sama sekali, sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

و إياكم و محدثات الأمور فإن كل بدعة صلالة

“Waspadalah kalian dari perkara-perkara baru (dalam agama) karena sesungguhnya semua bid’ah itu sesat” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, beliau berkata : “hadits ini hasan shahih”) 

Allah berfirman:
"Lalu orang-orang yang zalim mengganti perintah dengan (mengerjakan) yang tidak diperintahkan kepada mereka. Sebab itu Kami timpakan atas orang-orang yang zalim itu siksa dari langit, karena mereka berbuat fasik." (QS.Al Baqarah 2: 59) 


Sumber: Muslim.or.id, Syaamilquran.com, dll.

Thursday, January 9, 2014

Mengenal Ilmu Hadits (Musthola'ah Hadits)


Definisi Musthola'ah Hadits
  • HADITS ialah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan, taqrir, dan sebagainya.
  • ATSAR ialah sesuatu yang disandarkan kepada para sahabat Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam.
  • TAQRIR ialah keadaan Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam yang mendiamkan, tidak mengadakan sanggahan atau menyetujui apa yang telah dilakukan atau diperkatakan oleh para sahabat di hadapan beliau.
  • SAHABAT ialah orang yang bertemu Rosulullah shalallahu 'alaihi wasallam dengan pertemuan yang wajar sewaktu beliau masih hidup, dalam keadaan islam lagi beriman dan mati dalam keadaan islam.
  • TABI'IN ialah orang yang menjumpai sahabat, baik perjumpaan itu lama atau sebentar, dan dalam keadaan beriman dan islam, dan mati dalam keadaan islam.
  • MATAN ialah lafadz hadits yang diucapkan oleh Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam, atau disebut juga isi hadits.

Unsur-Unsur Yang Harus Ada Dalam Menerima Hadits

Rawi, yaitu orang yang menyampaikan atau menuliskan hadits dalam suatu kitab apa-apa yang pernah didengar dan diterimanya dari seseorang atau gurunya. Perbuatannya menyampaikan hadits tersebut dinamakan merawi atau meriwayatkan hadits dan orangnya disebut perawi hadits.


Sistem Penyusun Hadits Dalam Menyebutkan Nama Rawi 

  • As Sab'ah berarti diriwayatkan oleh tujuh perawi, yaitu :
1. Ahmad
2. Bukhari
3. Turmudzi
4. Nasa'i
5. Muslim
6. Abu Dawud
7. Ibnu Majah 

  • As Sittah berarti diriwayatkan oleh enam perawi yaitu : Semua nama yang tersebut diatas (As Sab'ah) selain Ahmad 
  • Al Khomsah berarti diriwayatkan oleh lima perawi yaitu : Semua nama yang tersebut diatas (As Sab'ah) selain Bukhari dan Muslim 
  • Al Arba'ah berarti diriwayatkan oleh empat perawi yaitu : Semua nama yang tersebut diatas (As Sab'a) selain Ahmad, Bukhari dan Muslim. 
  • Ats Tsalasah berarti diriwayatkan oleh tiga perawi yaitu : Semua nama yang tersebut diatas (As Sab'ah) selain Ahmad, Bukhari, Muslim dan Ibnu Majah. 
  • Asy Syaikhon berarti diriwayatkan oleh dua orang perawi yaitu : Bukhari dan Muslim 
  • Al Jama'ah berarti diriwayatkan oleh para perawi yang banyak sekali jumlahnya (lebih dari tujuh perawi / As Sab'ah). 

Matnu'l Hadits adalah pembicaraan (kalam) atau materi berita yang berakhir pada sanad yang terakhir. Baik pembicaraan itu sabda Rosulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, sahabat ataupun tabi'in. Baik isi pembicaraan itu tentang perbuatan Nabi, maupun perbuatan sahabat yang tidak disanggah oleh Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam .

Sanad atau Thariq adalah jalan yang dapat menghubungkan matnu'l hadits kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam .


Gambaran Sanad

Untuk memahami pengertian sanad, dapat digambarkan sebagai berikut: Sabda Rosulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam didengar oleh sahabat (seorang atau lebih). Sahabat ini (seorang atau lebih) menyampaikan kepada tabi'in (seorang atau lebih), kemudian tabi'in menyampaikan pula kepada orang-orang dibawah generasi mereka. Demikian seterusnya hingga dicatat oleh imam-imam ahli hadits seperti Muslim, Bukhari, Abu Dawud, dll.

Contoh:
Waktu meriwayatkan hadits Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, Bukhari berkata hadits ini diucapkan kepada saya oleh A, dan A berkata diucapkan kepada saya oleh B, dan B berkata diucapkan kepada saya oleh C, dan C berkata diucapkan kepada saya oleh D, dan D berkata diucapkan kepada saya oleh Nabi Muhammad.


Awal Sanad dan akhir Sanad

Menurut istilah ahli hadits, sanad itu ada permulaannya (awal) dan ada kesudahannya (akhir). Seperti contoh diatas yang disebut awal sanad adalah A dan akhir sanad adalah D. 


Klasifikasi Hadits 

Klasifikasi hadits menurut dapat (diterima) atau ditolaknya hadits sebagai hujjah (dasar hukum) adalah: 
  • Hadits Shohih, adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung, tidak ber illat dan tidak janggal. Illat hadits yang dimaksud adalah suatu penyakit yang samar-samar yang dapat menodai keshohihan suatu hadits. 
  • Hadits Makbul adalah hadits-hadits yang mempunyai sifat-sifat yang dapat diterima sebagai Hujjah. Yang termasuk hadits makbul adalah Hadits Shohih dan Hadits Hasan. 
  • Hadits Hasan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Rawi yang adil, tapi tidak begitu kuat ingatannya (hafalan), bersambung sanadnya, dan tidak terdapat illat serta kejanggalan pada matannya. Hadits Hasan termasuk hadits yang Makbul, biasanya dibuat hujjah buat sesuatu hal yang tidak terlalu berat atau terlalu penting. 
  • Hadits Dhoif adalah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits shohih atau hadits hasan. Hadits Dhoif banyak macam ragamnya dan mempunyai perbedaan derajat satu sama lain, disebabkan banyak atau sedikitnya syarat-syarat hadits shohih atau hasan yang tidak dipenuhinya.


Syarat-syarat Hadits Shohih

Suatu hadits dapat dinilai shohih apabila telah memenuhi 5 Syarat : 
  1. Rawinya bersifat Adil 
  2. Sempurna ingatan 
  3. Sanadnya tidak terputus 
  4. Hadits itu tidak berillat dan 
  5. Hadits itu tidak janggal 

Arti Adil dalam periwayatan, seorang rawi harus memenuhi 4 syarat untuk dinilai adil, yaitu : 
  1. Selalu memelihara perbuatan taat dan menjahui perbuatan maksiat.
  2. Menjauhi dosa-dosa kecil yang dapat menodai agama dan sopan santun. 
  3. Tidak melakukan perkara-perkara Mubah yang dapat menggugurkan iman kepada kadar dan mengakibatkan penyesalan. 
  4. Tidak mengikuti pendapat salah satu madzhab yang bertentangan dengan dasar Syara'. 

Klasifikasi Hadits Dhoif berdasarkan kecacatan perawinya 
  • Hadits Maudhu': adalah hadits yang diciptakan oleh seorang pendusta yang ciptaan itu mereka katakan bahwa itu adalah sabda Nabi shalallahu 'alaihi wasallam, baik hal itu disengaja maupun tidak. 
  • Hadits Matruk: adalah hadits yang menyendiri dalam periwayatan, yang diriwayatkan oleh orang yang dituduh dusta dalam perhaditsan. 
  • Hadits Munkar: adalah hadits yang menyendiri dalam periwayatan, yang diriwayatkan oleh orang yang banyak kesalahannya, banyak kelengahannya atau jelas kefasiqkannya yang bukan karena dusta. Di dalam satu jurusan jika ada hadits yang diriwayatkan oleh dua hadits lemah yang berlawanan, misal yang satu lemah sanadnya, sedang yang satunya lagi lebih lemah sanadnya, maka yang lemah sanadnya dinamakan hadits Ma'ruf dan yang lebih lemah dinamakan hadits Munkar. 
  • Hadits Mu'allal (Ma'lul, Mu'all): adalah hadits yang tampaknya baik, namun setelah diadakan suatu penelitian dan penyelidikan ternyata ada cacatnya. Hal ini terjadi karena salah sangka dari rawinya dengan menganggap bahwa sanadnya bersambung, padahal tidak. Hal ini hanya bisa diketahui oleh orang-orang yang ahli hadits. 
  • Hadits Mudraj (saduran): adalah hadits yang disadur dengan sesuatu yang bukan hadits atas perkiraan bahwa saduran itu termasuk hadits. 
  • Hadits Maqlub: adalah hadits yang terjadi mukhalafah (menyalahi hadits lain), disebabkan mendahului atau mengakhirkan. 
  • Hadits Mudltharrib: adalah hadits yang menyalahi dengan hadits lain terjadi dengan pergantian pada satu segi yang saling dapat bertahan, dengan tidak ada yang dapat ditarjihkan (dikumpulkan). 
  • Hadits Muharraf: adalah hadits yang menyalahi hadits lain terjadi disebabkan karena perubahan Syakal kata, dengan masih tetapnya bentuk tulisannya. 
  • Hadits Mushahhaf: adalah hadits yang mukhalafahnya karena perubahan titik kata, sedang bentuk tulisannya tidak berubah. 
  • Hadits Mubham: adalah hadits yang didalam matan atau sanadnya terdapat seorang rawi yang tidak dijelaskan apakah ia laki-laki atau perempuan. 
  • Hadits Syadz (kejanggalan): adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang yang makbul (tsiqah) menyalahi riwayat yang lebih rajih, lantaran mempunyai kelebihan kedlabithan atau banyaknya sanad atau lain sebagainya, dari segi pentarjihan. 
  • Hadits Mukhtalith: adalah hadits yang rawinya buruk hafalannya, disebabkan sudah lanjut usia, tertimpa bahaya, terbakar atau hilang kitab-kitabnya. 

Klasifikasi hadits Dhoif berdasarkan gugurnya rawi 
  • Hadits Muallaq: adalah hadits yang gugur (inqitha') rawinya seorang atau lebih dari awal sanad. 
  • Hadits Mursal: adalah hadits yang gugur dari akhir sanadnya, seseorang setelah tabi'in. 
  • Hadits Mudallas: adalah hadits yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan, bahwa hadits itu tiada bernoda. Rawi yang berbuat demikian disebut Mudallis. 
  • Hadits Munqathi': adalah hadits yang gugur rawinya sebelum sahabat, disatu tempat, atau gugur dua orang pada dua tempat dalam keadaan tidak berturut-turut. 
  • Hadits Mu'dlal: adalah hadits yang gugur rawi-rawinya, dua orang atau lebih berturut turut, baik sahabat bersama tabi'in, tabi'in bersama tabi'it tabi'in, maupun dua orang sebelum sahabat dan tabi'in. 

Klasifikasi hadits Dhoif berdasarkan sifat matannya 
  • Hadits Mauquf: adalah hadits yang hanya disandarkan kepada sahabat saja, baik yang disandarkan itu perkataan atau perbuatan dan baik sanadnya bersambung atau terputus. 
  • Hadits Maqthu': adalah perkataan atau perbuatan yang berasal dari seorang tabi'in serta di mauqufkan padanya, baik sanadnya bersambung atau tidak. 

Apakah Boleh Berhujjah dengan hadits Dhoif ? 

Para ulama sepakat melarang meriwayatkan hadits dhoif yang maudhu' tanpa menyebutkan kemaudhu'annya. Adapun kalau hadits dhoif itu bukan hadits maudhu' maka diperselisihkan tentang boleh atau tidaknya diriwayatkan untuk berhujjah. Berikut ini pendapat yang ada yaitu: 

Pendapat Pertama Melarang secara mutlak meriwayatkan segala macam hadits dhoif, baik untuk menetapkan hukum, maupun untuk memberi sugesti amalan utama. Pendapat ini dipertahankan oleh Abu Bakar Ibnul 'Araby.

Pendapat Kedua Membolehkan, kendatipun dengan melepas sanadnya dan tanpa menerangkan sebab-sebab kelemahannya, untuk memberi sugesti, menerangkan keutamaan amal (fadla'ilul a'mal dan cerita-cerita, bukan untuk menetapkan hukum-hukum syariat, seperti halal dan haram, dan bukan untuk menetapkan aqidah-aqidah). 

Para imam seperti Ahmad bin hambal, Abdullah bin al Mubarak berkata: "Apabila kami meriwayatkan hadits tentang halal, haram dan hukum-hukum, kami perkeras sanadnya dan kami kritik rawi-rawinya. Tetapi bila kami meriwayatkan tentang keutamaan, pahala dan siksa kami permudah dan kami perlunak rawi-rawinya."

Karena itu, Ibnu Hajar Al Asqalany termasuk ahli hadits yang membolehkan berhujjah dengan hadits dhoif untuk fadla'ilul amal. Ia memberikan 3 syarat dalam hal meriwayatkan hadits dhoif, yaitu: 
  1. Hadits dhoif itu tidak keterlaluan. Oleh karena itu, untuk hadits-hadits dhoif yang disebabkan rawinya pendusta, tertuduh dusta, dan banyak salah, tidak dapat dibuat hujjah kendatipun untuk fadla'ilul amal. 
  2. Dasar amal yang ditunjuk oleh hadits dhoif tersebut, masih dibawah satu dasar yang dibenarkan oleh hadits yang dapat diamalkan (shahih dan hasan) 
  3. Dalam mengamalkannya tidak mengitikadkan atau menekankan bahwa hadits tersebut benar-benar bersumber kepada nabi, tetapi tujuan mengamalkannya hanya semata mata untuk ikhtiyath (hati-hati) belaka. 

Klasifikasi hadits dari segi sedikit atau banyaknya rawi :

[1] Hadits Mutawatir: adalah suatu hadits hasil tanggapan dari panca indra, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat dusta.

Syarat syarat hadits mutawatir 
  • Pewartaan yang disampaikan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan panca indra. Yakni warta yang mereka sampaikan itu harus benar benar hasil pendengaran atau penglihatan mereka sendiri. 
  • Jumlah rawi-rawinya harus mencapai satu ketentuan yang tidak memungkinkan mereka bersepakat bohong/dusta. 
  • Adanya keseimbangan jumlah antara rawi-rawi dalam lapisan pertama dengan jumlah rawi-rawi pada lapisan berikutnya. Kalau suatu hadits diriwayatkan oleh 5 sahabat maka harus pula diriwayatkan oleh 5 tabi'in demikian seterusnya, bila tidak maka tidak bisa dinamakan hadits mutawatir. 

[2] Hadits Ahad: adalah hadits yang tidak memenuhi syarat syarat hadits mutawatir.

Klasifikasi hadits Ahad 
  • Hadits Masyhur: adalah hadits yang diriwayatkan oleh 3 orang rawi atau lebih, serta belum mencapai derajat mutawatir. 
  • Hadits Aziz: adalah hadits yang diriwayatkan oleh 2 orang rawi, walaupun 2 orang rawi tersebut pada satu thabaqah (lapisan) saja, kemudian setelah itu orang-orang meriwayatkannya. 
  • Hadits Gharib: adalah hadits yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkan, dimana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi. 

Hadits Qudsi atau Hadits Rabbani atau Hadits Ilahi

Adalah sesuatu yang dikabarkan oleh Allah kepada nabiNya dengan melalui ilham atau impian, yang kemudian nabi menyampaikan makna dari ilham atau impian tersebut dengan ungkapan kata beliau sendiri.


Perbedaan Hadits Qudsi dengan hadits Nabawi

Pada hadits qudsi biasanya diberi ciri ciri dengan dibubuhi kalimat-kalimat : 
  • Qala ( yaqalu ) Allahu 
  • Fima yarwihi 'anillahi Tabaraka wa Ta'ala 
  • Lafadz lafadz lain yang semakna dengan apa yang tersebut diatas. 

Perbedaan Hadits Qudsi dengan Al-Qur'an: 
  • Semua lafadz-lafadz Al-Qur'an adalah mukjizat dan mutawatir, sedang hadits qudsi tidak demikian. 
  • Ketentuan hukum yang berlaku bagi Al-Qur'an, tidak berlaku pada hadits qudsi. Seperti larangan menyentuh, membaca pada orang yang berhadats, dll. 
  • Setiap huruf yang dibaca dari Al-Qur'an memberikan hak pahala kepada pembacanya. 
  • Meriwayatkan Al-Qur'an tidak boleh dengan maknanya saja atau mengganti lafadz sinonimnya, sedang hadits qudsi tidak demikian. 

Bid'ah

Yang dimaksud dengan bid'ah ialah sesuatu bentuk ibadah yang dikategorikan dalam menyembah Allah yang Allah sendiri tidak memerintahkannya, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam tidak menyontohkannya, serta para sahabat-sahabat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam tidak menyontohkannya.

Kewajiban sebagai seorang muslim adalah mengingatkan amar ma'ruf nahi munkar kepada saudara-saudara seiman yang masih sering mengamalkan amalan-amalan ataupun cara-cara bid'ah.

Alloh berfirman, dalam QS Al-Maidah ayat 3, "Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu." Jadi tidak ada satu halpun yang luput dari penyampaian risalah oleh Nabi. Sehingga jika terdapat hal-hal baru yang berhubungan dengan ibadah, maka itu adalah bid'ah.

"Kulu bid'ah dholalah..." semua bid'ah adalah sesat (dalam masalah ibadah). "Wa dholalatin fin Naar..." dan setiap kesesatan itu adanya dalam neraka.

Beberapa hal seperti speaker, naik pesawat, naik mobil, pakai pasta gigi, tidak dapat dikategorikan sebagai bid'ah. Semua hal ini tidak dapat dikategorikan sebagai bentuk ibadah yang menyembah Allah. Ada tata cara dalam beribadah yang wajib dipenuhi, misalnya dalam hal sembahyang ada ruku, sujud, pembacaan al-Fatihah, tahiyat, dst. Ini semua adalah wajib dan siapa pun yang menciptakan cara baru dalam sembahyang, maka itu adalah bid'ah. Ada tata cara dalam ibadah yang dapat kita ambil hikmahnya. Seperti pada zaman Rasul Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menggunakan siwak, maka sekarang menggunakan sikat gigi dan pasta gigi, terkecuali beberapa muslim di Arab, India, dst.

Menemukan hal baru dalam ilmu pengetahuan bukanlah bid'ah, bahkan dapat menjadi ladang amal bagi umat muslim. Banyak muncul hadits-hadits yang bermuara (matannya) kepada hal bid'ah. Dan ini sangat sulit sekali untuk diingatkan kepada para pengamal bid'ah. 


Apakah yang menyebabkan timbulnya Hadits-Hadits Palsu? 

Didalam Kitab Khulaashah Ilmil Hadits dijelaskan bahwa kabar yang datang pada Hadits ada tiga macam: 
  1. Yang wajib dibenarkan (diterima). 
  2. Yang wajib ditolak (didustakan, tidak boleh diterima) yaitu Hadits yang diadakan orang mengatasnamakan Rasululloh Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. 
  3. Yang wajib ditangguhkan (tidak boleh diamalkan) dulu sampai jelas penelitian tentang kebenarannya, karena ada dua kemungkinan. Boleh jadi itu adalah ucapan Nabi dan boleh jadi pula itu bukan ucapan Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam (dipalsukan atas nama Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam). 
Untuk mengetahui apakah Hadits itu palsu atau tidak, ada beberapa cara, diantaranya: 
  1. Atas pengakuan orang yang memalsukannya. Misalnya Imam Bukhari pernah meriwayatkan dalam Kitab Taarikhut Ausath dari 'Umar bin Shub-bin bin 'Imran At-Tamiimy sesungguhnya dia pernah berkata, artinya: Aku pernah palsukan khutbah Rosululloh Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Maisaroh bin Abdir Rabbik Al-Farisy pernah mengakui bahwa dia sendiri telah memalsukan Hadits hadits yang berhubung-an dengan Fadhilah Qur'an (Keutamaan Al-Qur'an) lebih dari 70 hadits, yang sekarang banyak diamalkan oleh ahli-ahli Bid'ah. Menurut pengakuan Abu 'Ishmah Nuh bin Abi Maryam bahwa dia pernah memalsukan dari Ibnu Abbas beberapa Hadits yang hubungannya dengan Fadhilah Qur'an satu Surah demi Surah. (Kitab Al-Baa'itsul Hatsiits). 
  2. Dengan memperhatikan dan mempelajari tanda-tanda/qorinah yang lain yang dapat menunjukkan bahwa Hadits itu adalah Palsu. Misalnya dengan melihat dan memperhatikan keadaan dan sifat perawi yang meriwayatkan Hadits itu. 
  3. Terdapat ketidaksesuaian makna dari matan (isi cerita) hadits tersebut dengan Al-Qur'an. Hadits tidak pernah bertentangan dengan apa yang ada dalam ayat-ayat Qur'an. 
  4. Terdapat kekacauan atau terasa berat didalam susunannya, baik lafadznya ataupun ditinjau dari susunan bahasa dan Nahwunya (grammarnya).

Sebab-sebab terjadi atas timbulnya Hadits-hadits Palsu 

  • Adanya kesengajaan dari pihak lain untuk merusak ajaran Islam. Misalnya dari kaum Orientalis Barat yang sengaja mempelajari Islam untuk tujuan menghancurkan Islam (seperti Snouck Hurgronje). 
  • Untuk menguatkan pendirian atau madzhab suatu golongan tertentu. Umumnya dari golongan Syi'ah, golongan Tareqat, golongan Sufi, para Ahli Bid'ah, orang-orang Zindiq, orang yang menamakan diri mereka Zuhud, golongan Karaamiyah, para Ahli Cerita, dan lain-lain. Semua yang tersebut ini membolehkan untuk meriwayatkan atau mengadakan Hadits-hadits Palsu yang ada hubungannya dengan semua amalan-amalan yang mereka kerjakan. Yang disebut 'Targhiib' atau sebagai suatu ancaman yang yang terkenal dengan nama 'At-Tarhiib'. 
  • Untuk mendekatkan diri kepada Sultan, Raja, Penguasa, Presiden, dan lain-lainnya dengan tujuan mencari kedudukan. 
  • Untuk mencari penghidupan dunia (menjadi mata pencaharian dengan menjual hadits-hadits Palsu). 
  • Untuk menarik perhatian orang sebagaimana yang telah dilakukan oleh para ahli dongeng dan tukang cerita, juru khutbah, dan lain-lainnya. 

Hukum meriwayatkan Hadits-hadits Palsu 
  • Secara Muthlaq, meriwayatkan hadits-hadits palsu itu hukumnya haram bagi mereka yang sudah jelas mengetahui bahwa hadits itu palsu. 
  • Bagi mereka yang meriwayatkan dengan tujuan memberi tahu kepada orang bahwa hadits ini adalah palsu (menerangkan kepada mereka sesudah meriwayatkan atau mebacakannya) maka tidak ada dosa atasnya. 
  • Mereka yang tidak tahu sama sekali kemudian meriwayatkannya atau mereka mengamalkan makna hadits tersebut karena tidak tahu, maka tidak ada dosa atasnya. Akan tetapi sesudah mendapatkan penjelasan bahwa riwayat atau hadits yang dia ceritakan atau amalkan itu adalah hadits palsu, maka hendaklah segera dia tinggalkannya, kalau tetap dia amalkan sedang dari jalan atau sanad lain tidak ada sama sekali, maka hukumnya tidak boleh (berdosa - dari Kitab Minhatul Mughiits). 
Baca: 

(Sumber Rujukan: Kitab Hadits Dhaif dan Maudhlu - Muhammad Nashruddin Al-Albany; Kitab Hadits Maudhlu - Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah; Kitab Mengenal Hadits Maudhlu - Muhammad bin Ali Asy-Syaukaaniy; Kitab Kalimat-kalimat Thoyiib - Ibnu Taimiyah (tahqiq oleh Muhammad Nashruddin Al-Albany); Kitab Mushtholahul Hadits - A. Hassan)