Pages

Friday, March 30, 2012

Fatwa, dalil, dan hukum tentang jenggot/lihyah bagi laki-laki

Antara hadits-hadits sahih dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam yang menunjukkan wajibnya memelihara jenggot dan jambang kemudian mewajibkan orang-orang lelaki beriman supaya memotong atau menipiskan kumis mereka serta pengharaman dari mencukur atau memotong jenggot mereka ialah: “Abdullah bin Umar berkata : Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam : Janganlah kamu menyerupai orang-orang Musyrikin, peliharalah jenggot kamu dan tipiskanlah kumis kamu”. HR al Bukhari, Muslim dan al Baihaqi.

“Dari Abi Imamah : Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam : Potonglah kumis kamu dan peliharalah jenggot kamu, tinggalkan (jangan meniru) Ahl al-Kitab”. Hadits sahih, HR Ahmad dan at Tabrani.

“Dari Aisyah berkata : Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam : Sepuluh perkara dari fitrah (dari sunnah nabi-nabi) diantaranya ialah mencukur kumis dan memelihara jenggot”. HR Ahmad, Muslim, Abu Daud, at Tirmidzi, an Nasaii dan Ibn Majah.

Bagi individu yang menjiwai hadits di atas pasti mampu memahami bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam melarang setiap mukmin dari meniru atau menyerupai tatacara orang-orang kafir sama ada dari golongan Yahudi, Nasrani, Majusi atau munafik. Antara penyerupaan yang dilarang oleh Rasulullah ialah berupa pengharaman ke atas setiap orang lelaki yang beriman dari mencukur jenggot dan jambang mereka. Kemudian Rasulullah melarang pula dari memelihara kumis karena dengan memelihara kumis kemudian mencukur jenggot telah menyerupai perbuatan semua golongan orang-orang kafir. Antara motif utama dari larangan Rasulullah itu ialah agar orang-orang yang beriman dapat memelihara sunnah supaya tidak mudah pupus disamping mengharamkan setiap orang yang beriman dari meniru tata-etika, amalan dan tata-cara orang-orang kafir atau jahiliah.

Larangan yang berupa penegasan dari syara ini telah dijelaskan oleh Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam melalui hadits-hadits Rasulullah. Terlalu sukar untuk ditolak atau dinafikan tentang pengharaman mencukur jenggot ini karena terlalu banyak hadits-hadits sahih yang telah membuktikannya dengan terang tentang pengharaman tersebut.

Memang tidak dapat diragukan, antara penyerupaan yang diharamkan oleh Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam ialah meniru perbuatan orang-orang kafir yang kebanyakan dari mereka lebih gemar mencukur jenggot dan jambang mereka kemudian membiarkan (memelihara) kumis mereka sebagai hiasan. Ketegasan larangan mencukur jenggot yang membawa kepada penyerupaan masih dapat difahami melalui hadits-hadits Rasulullah yang seterusnya sebagaimana di bawah ini:

“Dari Ibn Umar Radiyallahu ‘anhu berkata : Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam : Barangsiapa yang menyerupai satu satu kaum, maka ia telah menjadi golongan mereka”. HR Ahmad, Abu Daud dan at Tabrani.

“Dari Abi Hurairah Radiyallahu ‘anhu: Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam : Bahwasanya ahli syirik memelihara kumisnya dan memotong jenggotnya, maka janganlah meniru mereka, peliharalah jenggot kamu dan potonglah kumis kamu”. HR al Bazzar.

“Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam : Janganlah kamu meniru (menyerupai) orang-orang Majusi (penyembah berhala) karena mereka itu memotong (mencukur) jenggot mereka dan memanjangkan (memelihara) kumis mereka”. HR Muslim.

“Tipiskanlah kumis kamu dan peliharalah jenggot kamu. Di riwayat yang lain pula : Potonglah kumis kamu dan peliharalah jenggot kamu”. HR al Bukhari.

Dari Abi Hurairah berkata : Telah bersabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam : Di antara fitrah dalam Islam ialah memotong kumis dan memelihara jenggot, bahwasanya orang-orang Majusi memelihara kumis mereka dan memotong jenggot mereka, maka janganlah kamu menyerupai mereka, hendaklah kamu potong kumis kamu dan peliharalah jenggot kamu”. HR Ibn Habban.

“Dari Abdullah bin Umar berkata : Pernah disebut kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam seorang Majusi maka beliau bersabda : Mereka (orang-orang Majusi) memelihara kumis mereka dan mencukur jenggot mereka, maka (janganlah menyerupai cara mereka) tinggalkan cara mereka”. HR al Baihaqi.

“Dari Ibn Umar Radiyallahu ‘anhu berkata : Kami diperintah supaya memelihara jenggot”. HR Muslim.

“Dari Abi Hurairah : Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam : Cukurlah kumis kamu dan peliharalah jenggot kamu”. HR Muslim.

“Dari Abi Hurairah berkata : Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam : Peliharalah jenggot kamu dan cukurlah kumis kamu, janganlah kamu meniru (menyerupai) Yahudi dan Nasrani”. HR Ahmad.

“Dari Ibn Abbas berkata : Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam : Janganlah kamu meniru (menyerupai) Ajam (orang asing dan kafir), maka peliharalah jenggot kamu”. HR al Bazzar.

Jumhur ulama (ulama tafsir, hadits dan fiqah) menegaskan bahwa perintah yang terdapat pada hadits-hadits (tentang jenggot) adalah menunjukkan perintah yang wajib bukan sunnah karena ia menggunakan lafaz atau kalimah: “nada (gaya) perintah” yang tegas, jelas (dan diulang-ulang).

Larangan Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam agar orang-orang yang beriman tidak mencukur jenggot mereka dan tidak menyerupai Yahudi, Nasrani atau Majusi telah dilahirkan oleh Rasulullah melalui sabdanya dengan beberapa gaya bahasa dan ungkapan yang jelas, terang dan tegas. Sebagaimana hadits-hadits sahih di bawah ini:

Janganlah kamu menyerupai orang-orang Musyrikin, peliharalah jenggot kamu”. HR al-Bukhari dan Muslim.

Tinggalkan cara mereka (jangan meniru orang-orang musyrik) peliharalah jenggot kamu dan cukurlah kumis kamu”. HR al-Bazzar.

“Tinggalkan cara Majusi (jangan meniru Majusi)”. HR Muslim.

“Dan janganlah kamu sekalian menyerupai Yahudi dan Nasrani”. HR Ahmad.

Janganlah kamu sekalian menyerupai orang-orang yang bukan Islam, peliharalah jenggot kamu”. HR al-Bazzar.

Hadits-hadits di atas amat jelas menunjukkan bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam telah mewajibkan kepada setiap orang-orang yang beriman agar memelihara jenggot mereka kemudian memotong atau menipiskan kumis mereka. Di samping itu mengharamkan mereka dari meniru perbuatan orang-orang kafir, sama ada golongan Yahudi, Nasrani, Majusi, munafik atau orang fasiq yang mengingkari perintah dan melanggar larangan yang terdapat di dalam hadits-hadits sahih tentang jenggot dan penyerupaan sebagaimana kenyataan dari hadits-hadits sahih di atas tadi.

Begitu juga jika diteliti beberapa hadits di atas, maka antara ketegasan hadits tersebut ialah melarang orang-orang beriman dari meniru (menyerupai) perbuatan, amalan atau tingkah laku golongan Yahudi, Nasrani, Majusi dan semua orang-orang kafir, yaitu peniruan yang dilakukan dengan cara memotong (mencukur) jenggot dan kemudian memelihara pula kumis. Amat jelas dalam setiap hadits di atas perintah atau perintah dari Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam agar orang-orang yang beriman memelihara jenggot mereka kemudian memotong atau menipiskan kumis mereka. Antara tujuan perintah tersebut ialah supaya orang-orang yang beriman tidak menyerupai golongan orang-orang kafir tidak kira apa jenis kekafiran mereka. Nabi telah memberi peringatan melalui hadits-hadits sahihnya kepada siapa yang melanggar dan mengabaikan perintah syara termasuk memelihara jenggot.

Hadits dari Ibn Umar yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud dan Tabrani yang telah dikemukakan di atas, perlu dijiwai dan diresapi di hati setiap mukmin agar sentiasa menjadi panduan dan perisai untuk memantapkan pegangan (istiqamah) dalam memelihara hukum berjenggot. Hadits yang dimaksudkan ialah:

“Dari Ibn Umar Radiyallahu ‘anhuberkata : Barangsiapa yang menyerupai satu satu kaum, maka dia telah tergolong (agama) kaum itu”. HR Ahmad, Abu Daud dan at Tabrani. Menurut keterangan al-Hafiz al-Iraqi bahwa sanad hadits ini sahih.

Kesahihan hadits di atas dapat memberi keyakinan dan penerangan bahwa barang siapa yang meniru atau menjadikan orang-orang jahiliah sama ada dari kalangan Yahudi, Nasrani atau Majusi sebagai contoh dan mengenepikan amalan yang telah ditetapkan oleh agama Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam, maka peniru tersebut akan tetap menjadi golongan kafir yang ditiru selagi tidak bertaubat malah akan terus bersama mereka sampai di akhirat. Kesahihan ini dapat diperkuat dan dipastikan lagi dengan hadits sahih di bawah ini: “Tiga jenis manusia yang dibenci oleh Allah (antara mereka) ialah penganut Islam yang masih memilih (meniru) perbuatan jahiliah”. HR al-Bukhari.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Umar, Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam telah bersabda: “Barangsiapa yang meniru (menyerupai) seperti mereka (orang-orang bukan Islam) sehingga ia mati, maka ia telah termasuk dalam golongan (mereka sehingga ke akhirat)”.
Memelihara jenggot adalah fitrah Islamiyah yang diamalkan oleh semua nabi-nabi, rasul-rasul ‘alaihissalam, para sahabat dan orang-orang yang sholih. Pengertian fitrah Islamiyah boleh difahami dari apa yang telah dijelaskan oleh Imam as Suyuti di dalam kitabnya: “Sebaik-baik pengertian tentang fitrah boleh dikatakan bahwa ia adalah perbuatan mulia dipilih dan dilakukan oleh para nabi-nabi dan dipersetujui oleh syara sehingga menjadi seperti satu kemestian ke atasnya”.

Sirah atau sejarah semua rasul-rasul dan nabi-nabi sampai ke sirah Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam serta tarikh semua para sahabat terutama Khulafa ar Rasyidin telah didedahkan kepada kita bahwa mereka semua didapati memelihara jenggot karena mengimani dan mentaati setiap perintah agama dan berpegang kepada fitrah yang diturunkan kepada rasul yang diutus untuk mendidik dan menunjukkan mereka jalan kebenaran. Mereka yakin hanya dengan mentaati Nabi atau Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam dalam semua aspek akan berjaya di dunia dan di akhirat. Antara kisah nabi yang terdapat di dalam al-Quran yang disebut dengan jenggot ialah kisah Nabi Harun sebagaimana firman Allah: “Harun menjawab : Hai putera ibuku, janganlah kamu pegang jenggotku dan jangan pula kepalaku”. (QS Thaha, 20:94).

Para Isteri Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam juga suka melihat Nabi berjenggot sehingga ada yang meletakkan minyak wangi di jenggot dan jambang Nabi. Sebagaimana hadits sahih di bawah ini: “Dari Aisyah Ummul Mukminin berkata : Aku mewangikan Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam dengan sebaik-baik wangi-wangian pada rambut dan jenggotnya”. Muttafaq ‘alaihi.

“Berkata Anas bin Malik : Jenggot Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam didapati lebat dari sini ke sini, maka diletakkan kedua tangannya di pipinya”. HR Ibn Asyakir (dalam Tarikhnya).

Di dalam kitab, terdapat nash yang ditulis: “Memelihara jenggot adalah kesan peninggalan yang diwariskan oleh (Nabi) Ibrahim alaihissalam wa ala nabiyina as salatu wassalam sebagaimana dia mewariskan (wajibnya) jenggot maka begitu juga (wajibnya) berkhatan”.

“Dari Jabir berkata : Sesungguhnya Rasulullah lebat jenggotnya”. HR Muslim.

“Dari Muamar berkata : Kami bertanya kepada Khabbab, adakah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam membaca (al-Quran) di waktu Zuhur dan Asar? Beliau berkata : Ya! Kami bertanya, dari mana engkau tahu? Beliau menjawab : Dengan bergerak-geraknya jenggot Rasulullah”. HR al Bukhari.

“Dari Jabir berkata : Kebiasaannya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam apabila bersikat dimulakan pada rambutnya kemudian pada jenggotnya”. HR Muslim.

“Dari Umar berkata : Sesungguhnya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam lebat jenggotnya, di riwayat yang lain tebal jenggotnya dan di lain riwayat pula subur jenggotnya”. HR at Tirmidzi.

“Dari Anas bin Malik berkata : Sesungguhnya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam apabila berwuduk meletakkan tapak tangannya yang berair ke bawah dagunya dan diratakan (air) di jenggotnya. Beliau bersabda : Beginilah aku disuruh oleh Tuhanku”. HR Abu Daud.

“Terdapat pada jenggot (Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam) jenggot yang putih”. HR Muslim.

“Tidak kelihatan uban di jenggotnya kecuali sedikit”. HR Muslim.

“Rambut yang putih (uban) di kepala dan di jenggot (Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam) tidak melebihi dua puluh helai”. HR al-Bukhari.

Semua Para Sahabat Radiyallahu ‘anhu Berjenggot !

Melalui keterangan yang diperolehi dari hadits sahih, atsar dan sirah (sejarah para sahabat) terbukti tidak seorangpun dari kalangan para sahabat yang mencukur jenggot mereka dan tidak seorangpun yang menghalalkan perbuatan mencukur jenggot. Ini terbukti karena didapati keseluruhan para sahabat berjenggot. Sebagaimana keterangan dari hadits-hadits di bawah ini: “Didapati Abu Bakar lebat jenggotnya, Utsman jarang (tidak lebat) jenggotnya tetapi panjang, dan Ali tebal jenggotnya”. HR Tirmidzi.

“Berkata al-Bukhari : Ibn Umar menipiskan kumisnya sehingga kelihatan kulitnya yang putih dan memelihara jenggot dan jambangnya”. Lihat: Fathulbari, jild 10, : 334.

“Semasa Ibn Umar mengerjakan haji atau umrah, beliau menggenggam jenggotnya, mana yang lebih (dari genggamannya) dipotong”. HR al-Bukhari.

Hadits-hadits di atas bukan saja menjelaskan suatu contoh perbuatan Nabi Muhammad, para nabi sebelum Rasulullah dan juga para sahabat yang semua mereka memelihara jenggot. Malah hadits-hadits di atas juga merupakan lanjutan yang berupa perintah dari nabi-nabi dan rasul-rasul sebelum Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam.

Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam meneruskan perintah (lanjutan) tersebut ke atas orang-orang yang beriman supaya memelihara jenggot mereka. Anehnya, dalam hal perintah yang nyata ini dirasakan sukar difahami oleh segolongan para mufti, hakim, imam, ustadz dan alim ulama yang bertebaran di negara ini. Apakah mereka tidak pernah terjumpa (terbaca) walaupun sepotong dari beberapa hadits-hadits sahih sebagaimana yang tercatit di atas yang mewajibkan memelihara jenggot sehingga mereka tidak sudi memeliharanya? Jika sekiranya mereka telah terbaca salah satu dari hadits-hadits tersebut mengapa pula tidak mau menerima dan mentaatinya? Apakah mereka merupakan ulama buta, tuli, pekak dan bisu sehingga tidak dapat melihat, memahami, mengetahui dan menyampaikan sebegitu banyaknya hadits-hadits sahih yang memperkatakan tentang jenggot? Mengapa pula perintah dan larangan syara sebagaimana yang terdapat di dalam firman Allah di bawah ini tidak mereka sadari ? “Dan apa yang disampaikan oleh Rasul maka hendaklah kamu ambil (patuhi) dan apa yang ditegah kamu (dari melakukannya) maka hendaklah kamu tinggalkan”. AL Hasyr, 59:7.

Ayat di atas memberi penekanan agar setiap orang-orang yang beriman bersikap patuh (taat), sama ada patuh dengan cara melaksanakan segala apa yang disuruh oleh Allah dan RasulNya atau patuh dengan cara meninggalkan segala apa yang telah dilarang atau diharamkan.

Orang-orang yang beriman tidak boleh mencontoh sikap Iblis yang enggan mematuhi perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala apabila diarah supaya sujud kepada Nabi Adam ‘alaihissalam. Iblis dilaknat karena mengingkari satu perintah Allah. Keengganan mematuhi perintah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam identik seperti mengingkari perintah Allah karena mentaati Rasulullah adalah asas mentaati Allah, maka mereka yang tidak mau mematuhi atau mentaati perintah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam yang diulang berkali-kali supaya memelihara jenggot dan jambang dengan alasan berjenggot itu tidak rapi, serabutan, kelihatan jelek dan sebagainya. Maka keingkaran dan alasan seperti ini ditakuti menyerupai alasan Iblis dan petanda yang mereka telah mewarisi sikap Iblis yang congkak, biadab, bangga diri dan akhirnya ia dikekalkan di neraka hanya lantaran tidak mau mematuhi satu-satunya perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala yaitu sujud kepada bapa sekalian manusia..

Mentaati Allah dan Rasulnya dalam setiap aspek adalah bukti kokoh yang menandakan seseorang itu benar-benar mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala dan RasulNya, karena syarat untuk mencintai Allah dan RasulNya ialah ketaatan. Sebagaimana firman Allah: “Katakanlah jika kamu (benar-benar)mencintai Allah, ikutlah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Ali Imran, 3:31.

Cinta perlukan pembuktian walaupun dalam hal atau perkara yang kecil dan dianggap remeh. Sikap orang-orang yang beriman apabila mengetahui bahwa Allah dan RasulNya telah menetapkan sesuatu hukum dan menyeru mereka supaya mematuhinya, maka oleh karena cinta mereka yang tinggi terhadap Allah dan Rasulnya maka mereka akan mematuhinya tanpa banyak persoalan. Kepatuhan mereka adalah benar-benar didorong oleh rasa cinta kepada Allah dan RasulNya sebagaimana firman Allah: “Sesungguhnya jawaban orang-orang yang beriman apabila mereka diseru kepada Allah dan RasulNya agar menghukum di antara mereka, ucapan mereka ialah : Kami mendengar dan kami patuh. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung”.An Nuur 24:51.

Orang-orang yang beriman akan mentaati segala perintah Allah dan RasulNya walaupun sekecil-kecilnya karena mereka mengimani bahwa perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala wajib dipatuhui. Mereka menyedari jika perintah yang kecil dan mudah tidak mampu dilaksanakan tentunya yang besar-besar akan ditinggalkan. Malah orang yang beriman akan sentiasa berpegang teguh dengan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana yang terdapat pada ayat di bawah ini: “Dan taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kepada Rasul(Nya) dan berhati-hatilah. Jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kewajipan Rasul Kami hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang”. AL Maidah, 5:92.

“Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul, melainkan untuk ditaati dengan izin Allah”. An Nisaa’ 4:64.

Ayat-ayat di atas merupakan perintah agar kita mengambil (mentaati perintah yang berupa setiap apa) yang didatangkan (yang berupa perintah) dari Allah dan RasulNya kemudian meninggalkan semua yang ditegah (dilarang atau diharamkan) serta melaksanakan semampu mungkin setiap perintah terutamanya yang nyata wajibnya.

Allah dan RasulNya tidak meridhai perbuatan orang-orang kafir, oleh sebab itu melaknat siapapun dari kalangan orang Islam yang meniru cari mereka yang tidak diridhai oleh Allah dan RasulNya seperti perbuatan mencukur jenggot kemudian memelihara kumis mereka saja. Orang-orang yang menyedari bahwa perbuatannya yang suka meniru perbuatan orang-orang kafir itu dibenci, dilaknat dan tidak diridhai oleh Allah dan RasulNya tetapi mereka masih meneruskan perbuatan tersebut dan menyukainya, maka ingatlah Allah telah mengancam orang-orang seperti ini dengan firmanNya: “Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka mengikuti (apa yang menimbulkan) kemurkaan Allah dan (karena) membenci keridhaanNya, sebab itu Allah menghapuskan (pahala) amal-amal mereka”. Muhammad 47:28.

Nabi melarang orang-orang yang beriman dari mencukur jenggot dan jambang mereka malah berkali-kali menyuruh memeliharanya dengan berbagai-bagai ungkapan agar dapat difahami dan diterima oleh umatnya. Apakah benar seseorang itu mencintai Allah dan RasulNya jika perkara yang paling mudah dan tidak mengeluarkan modal ini mereka abaikan dan tidak memperdulikannya langsung? Apakah mereka tidak mampu untuk memahami perintah Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam dan tidak mau mentaatinya? Suri tauladan dari siapakah yang sewajarnya ditiru oleh orang-orang yang beriman? Apakah lebih berbangga dan menyenangi contoh yang ditiru dari Yahudi, Nasrani atau Majusi yang ditegah dari menirunya? Atau mencintai contoh dari Rasul utusan Allah, contoh dari para sahabat Rasulullah dan contoh dari orang-orang sholih yang dibanggakan oleh setiap orang yang beriman apabila dapat mematuhi dan mentaati contoh tersebut? Contoh yang terbaik dan selayaknya dibanggakan hanyalah contoh yang ada pada diri Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam sebagaimana firman Allah: “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharapkan (rahmat) Allah (dan kedatangan) hari Kiamat dan dia banyak mengingati Allah”. AL AHZAB, 33:21.

“Maka barangsiapa yang mengikutiku, maka sesungguhnya orang itu termasuk golonganku dan barangsiapa yang mendurhakai aku, maka sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. IBRAHIM, 14:36.

Berkata as-Syeikh Ismail al-Ansari dalam memperkatakan hadits (atsar) dari Ibn Umar Radiyallahu ‘anhu: Tidak syak lagi bahwa kata-kata Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam dan perbuatannya lebih berhak dan utama dipatuhi daripada kata-kata selain dari Nabi, tidak kira siapapun orang itu”.

Mencintai Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam dan sunnahnya ialah dengan cara mencontoh segala suri teladan dan amalannya, mentaati seruannya dan mematuhi segala perintahnya semampu mungkin.

Berjenggot atau berjambang adalah suri teladan, perintah dan amalan yang berupa sunnah para rasul, para nabi, para sahabat dan orang-orang sholih sejak dahulu kala sampai ke hari kiamat.

Tanya :
Apa hukumnya mencukur jenggot (lihyah) atau mencukur sebagiannya?
Jawab :
Alhamdulillah, mencukur jenggot hukumnya haram berdasarkan hadits-hadits shahih yang secara tegas melarangnya. Dan berdasarkan dalil-dalil umum yang melarang menyerupai orang-orang kafir. Diantaranya hadits Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda: “Selisihilah orang-orang musyrik, peliharalah jenggot dan potonglah kumis.” Dalam riwayat lain berbunyi: “Potonglah kumis dan peliharalah jenggot.

Masih banyak lagi hadits-hadits lain yang semakna dengan itu. Maksud memelihara jenggot adalah membiarkannya tumbuh secara alami. Termasuk memeliharanya adalah membiarkannya tanpa mencukur, mencabut atau memotongnya sedikitpun. Ibnu Hazm bahkan telah menukil ijma’ (kesepakatan) tentang hukum wajibnya memotong kumis dan memelihara jenggot.

Beliau berdalil dengan sejumlah hadits, diantaranya adalah hadits Ibnu Umar terdahulu dan hadits Zaid bin Arqam yang menyebutkan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda: “Barangsiapa tidak memotong sebagian dari kumisnya maka ia bukan termasuk golonganku (golongan yang melaksanakan sunnahku).” Hadits tersebut dinyatakan shahih oleh At-Tirmidzi, ia berkata dalam kitab Al-Furu’ bahwa riwayat yang dibawakan oleh rekan-rekan kami dari kalangan madzhab Hambali di atas menegaskan hukum haramnya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan: “Dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah serta ijma’ telah memerintahkan supaya menyelisihi orang-orang kafir dan melarang menyerupai mereka. Sebab menyerupai mereka secara lahiriyah merupakan sebab menyerupai tabiat dan tingkah laku mereka yang tercela. Bahkan merupakan sebab meniru keyakinan-keyakinan sesat mereka. Dan dapat mewariskan benih-benih kecintaan dan loyalitas dalam batin kepada mereka. Sebagaimana kecintaan dalam hati dapat menyeret kepada penyerupaan dalam bentuk lahiriyah. Imam At-Tirmidzi meriwayatkan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda: “Bukanlah termasuk golongan kami orang yang menyerupai selain kami. Maka janganlah kalian menyerupai kaum Yahudi dan Nasrani.” Dalam riwayat lain berbunyi: “Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka.” (H.R Imam Ahmad).

Bahkan Umar bin Khaththab menolak persaksian orang yang mencabuti jenggotnya. Dalam kitab At-Tamhid Imam Ibnu Abdil Barr berkata: “Haram hukumnya mencukur jenggot, sesungguhnya perbuatan tersebut hanya dilakukan oleh kaum banci.” Yaitu perbuatan tersebut termasuk menyerupai kaum wanita. Dalam riwayat disebutkan bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam adalah seorang yang lebat jenggotnya. (H.R Muslim dari Jabir) Dalam riwayat lain disebutkan: “Tebal jenggotnya” dalam riwayat lain: “Banyak jenggotnya”, maknanya sama yakni lebat jenggotnya. Oleh karena itu tidak dibolehkan memotong sedikitpun darinya berdasarkan dalil-dalil umum yang melarangnya.

(Fatawa Lajnah Daimah Jilid V/133, Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al Ilmiyah wal Ifta, Dewan Tetap Arab saudi untuk riset-riset ilmiyah dan fatwa)

- Tanya:

Bagaimana hukumnya mengejek orang yang memanjangkan jenggot atau mengangkat pakaian (celana) diatas mata kakinya?

Jawab:

Barangsiapa yang menghina orang yang memelihara jenggot atau mengangkat pakaiannya di atas mata kaki, padahal ia tahu bahwa itu adalah syariat Allah maka ia telah meng-hina syariat Allah tersebut. Namun jika dia menghinanya selaku pribadi, karena adanya faktor pendorong yang sifat-nya pribadi pula, makaia tidak dikafir-kan dengan perbuatan itu. (Syaikh Ibnu Utsaimin)

Tanya:

“Apa hukum syara’ terhadap orang yang mengejek orang yang berjenggot dengan memang-gilnya, “Hai si jenggot! Mohon untuk dijelaskan.

Jawab:

“Mengolok-olok jenggot adalah kemungkaran yang besar, kalau dia mengucapkannya dengan tujuan menghina jenggot, maka itu adalah kufur, namun jika karena panggilan julukan atau pengenal (karena dengan menyebut nama saja belum tentu tahu yang dimaksudkan, red) maka tidak masuk dalam kekufuran. Namun tidak selayaknya menjuluki atau memanggil orang dengan panggilan seperti ini. Sebab dikhawatirkan masuk dalam golongan yang difirmankan Allah dalam surat at-Taubah 65-66 :

Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab:”Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah:”Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?”. Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami mema’afkan segolongan dari kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) di sebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa. (QS. At Taubah 9 : 65-66).

(al-Lajnah ad-Daimah)

Thursday, March 29, 2012

Fatwa ulama seputar onani atau masturbasi

Kebiasaan buruk masturbasi/onani
(Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan)

Tanya :
“Saya seorang pelajar muslim (selama ini) saya terjerat oleh kabiasaan onani/masturbasi. Saya diombang-ambingkan oleh dorongan hawa nafsu sampai berlebih-lebihan melakukannya. Akibatnya saya meninggalkan shalat dalam waktu yang lama. Saat ini, saya berusaha sekuat tenaga (untuk menghentikannya). Hanya saja, saya seringkali gagal. Terkadang setelah melakukan shalat witir di malam hari, pada saat tidur saya melakukannya. Apakah shalat yang saya kerjakan itu diterima ? Haruskah saya mengqadha shalat ? Lantas, apa hukum onani ? Perlu diketahui, saya melakukan onani biasanya setelah menonton televisi atau video.”
Jawab :
Onani/Masturbasi hukumnya haram dikarenakan merupakan istimta’ (meraih kesenangan/kenikmatan) dengan cara yang tidak Allah Subhanahu wa Ta’ala halalkan. Allah tidak membolehkan istimta’ dan penyaluran kenikmatan seksual kecuali pada istri atau budak wanita. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, [6] kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. [QS Al Mu'minuun: 5 - 6]

Jadi, istimta’ apapun yang dilakukan bukan pada istri atau budak perempuan, maka tergolong bentuk kezaliman yang haram. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi petunjuk kepada para pemuda agar menikah untuk menghilangkan keliaran dan pengaruh negative syahwat. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya : “Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian telah mampu menikah, maka hendaklah dia menikah karena nikah itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Sedang barangsiapa yang belum mampu maka hendaknya dia berpuasa karena puasa itu akan menjadi tameng baginya”. [Hadits Riwayat Bukhari 4/106 dan Muslim no. 1400 dari Ibnu Mas'ud]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi kita petunjuk mematahkan (godaan) syahwat dan menjauhkan diri dari bahayanya dengan dua cara : berpuasa untuk yang tidak mampu menikah, dan menikah untuk yang mampu. Petunjuk beliau ini menunjukkan bahwa tidak ada cara ketiga yang para pemuda diperbolehkan menggunakannya untuk menghilangkan (godaan) syahwat. Dengan begitu, maka onani/masturbasi haram hukumnya sehingga tidak boleh dilakukan dalam kondisi apapun menurut jumhur ulama.

Wajib bagi anda untuk bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak mengulangi kembali perbuatan seperti itu. Begitu pula, anda harus menjauhi hal-hal yang dapat mengobarkan syahwat anda, sebagaimana yang anda sebutkan bahwa anda menonton televisi dan video serta melihat acara-acara yang membangkitkan syahwat. Wajib bagi anda menjauhi acara-acara itu. Jangan memutar video atau televisi yang menampilkan acara-acara yang membangkitkan syahwat karena semua itu termasuk sebab-sebab yang mendatangkan keburukan.

Seorang muslim seyogyanya (selalu) menutup pintu-pintu keburukan untuk dirinya dan membuka pintu-pintu kebaikan. Segala sesuatu yang mendatangkan keburukan dan fitnah pada diri anda, hendaknya anda jauhi. Di antara sarana fitnah yang terbesar adalah film dan drama seri yang menampilkan perempuan-perempuan penggoda dan adegan-adegan yang membakar syahwat. Jadi anda wajib menjauhi semua itu dan memutus jalannya kepada anda.

Adapun tentang mengulangi shalat witir atau nafilah, itu tidak wajib bagi anda. Perbuatan dosa yang anda lakukan itu tidak membatalkan witir yang telah anda kerjakan. Jika anda mengerjakan shalat witir atau nafilah atau tahajjud, kemudian setelah itu anda melakukan onani, maka onani itulah yang diharamkan –anda berdosa karena melakukannya-, sedangkan ibadah yang anda kerjakan tidaklah batal karenanya. Hal itu karena suatu ibadah jika ditunaikan dengan tata cara yang sesuai syari’at, maka tidak akan batal/gugur kecuali oleh syirik atau murtad –kita berlindung kepada Allah dari keduanya-. Adapun dosa-dosa selain keduanya, maka tidak membatalkan amal shalih yang terlah dikerjakan, namun pelakunya tetap berdosa. [Al-Muntaqa min Fatawa Fadhilah Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan IV 273-274]


Onani, kebiasaan yang tersembunyi
(Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin)

Tanya :
“Apa hukum melakukan kebiasaan tersembunyi (onani) ?”
 Jawab: 
“Melakukan kebiasaan tersembunyi (onani), yaitu mengeluarkan mani dengan tangan atau lainnya hukumnya adalah haram berdasarkan dalil Al-Qur’an dan Sunnah serta penelitian yang benar.

Dalam Al-Qur’an dinyatakan :
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, [6] kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. [7] Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. [QS Al Mu'minuun: 5 - 7]

Siapa saja mengikuti dorongan syahwatnya bukan pada istrinya atau budaknya, maka ia telah “mencari yang di balik itu”, dan berarti ia melanggar batas berdasarkan ayat di atas.

Rasulllah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Wahai sekalian para pemuda, barangsiapa di antara kamu yang mempunyai kemampuan hendaklah segera menikah, karena nikah itu lebih menundukkan mata dan lebih menjaga kehormatan diri. Dan barangsiapa yang belum mampu hendaknya berpuasa, karena puasa itu dapat membentenginya” [Hadits Riwayat Bukhari 4/106 dan Muslim no. 1400 dari Ibnu Mas'ud]

Pada hadits ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang yang tidak mampu menikah agar berpuasa. Kalau sekiranya melakukan onani itu boleh, tentu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkannya. Oleh karena beliau tidak menganjurkannya, padahal mudah dilakukan, maka secara pasti dapat diketahui bahwa melakukan onani itu tidak boleh.

Penelitian yang benar pun telah membuktikan banyak bahaya yang timbul akibat kebiasaan tersembunyi itu, sebagaimana telah dijelaskan oleh para dokter. Ada bahayanya yang kembali kepada tubuh dan kepada system reproduksi, kepada fikiran dan juga kepada sikap. Bahkan dapat menghambat pernikahan yang sesungguhnya. Sebab apabila seseorang telah dapat memenuhi kebutuhan biologisnya dengan cara seperti itu, maka boleh jadi ia tidak menghiraukan pernikahan.
[As ilah muhimmah ajaba ‘alaiha Ibnu Utsaimin, hal. 9, disalin dari buku Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram]


Kebiasan jelek beronani/masturbasi
(Syaikh Abdul Aziz bin Baz)

Tanya: 
“Ada seseorang yang berkata ; Apabila seorang lelaki perjaka melakukan onani, apakah hal itu bisa disebut zina dan apa hukumnya ?”
Jawab:
Ini yang disebut oleh sebagian orang “kebiasaan tersembunyi” dan disebut pula “jildu ‘umairah” dan ‘‘istimna” (onani). Jumhur ulama mengharamkannya, dan inilah yang benar, sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika menyebutkan orang-orang Mu’min dan sifat-sifatnya.
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, [6] kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. [7] Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. [QS Al Mu'minuun: 5 - 7]

Al-‘Adiy artinya orang yang zhalim yang melanggar aturan-aturan Allah.
Di dalam ayat di atas Allah memberitakan bahwa barangsiapa yang tidak bersetubuh dengan istrinya dan melakukan onani, maka berarti ia telah melampaui batas ; dan tidak syak lagi bahwa onani itu melanggar batasan Allah.

Maka dari itu, para ulama mengambil kesimpulan dari ayat di atas, bahwa kebiasaan tersembunyi (onani) itu haram hukumnya. Kebiasaan rahasia itu adalah mengeluarkan sperma dengan tangan di saat syahwat bergejolak.
Bahkan ada sebagian ulama yang menulis kitab tentang masalah ini, di dalamnya dikumpulkan bahaya-bahaya kebiasan buruk tersebut.

Kewajiban anda, wahai penanya, adalah mewaspadainya dan menjauhi kebiasaan buruk itu, karena sangat banyak mengandung bahaya yang sudah tidak diragukan lagi, dan juga betentangan dengan makna yang gamblang dari ayat Al-Qur’an dan menyalahi apa yang dihalalkan oleh Allah bagi hamba-hambaNya.

Maka ia wajib segera meninggalkan dan mewaspadainya. Dan bagi siapa saja yang dorongan syahwatnya terasa makin dahsyat dan merasa khawatir terhadap dirinya (perbuatan yang tercela) hendaknya segera menikah, dan jika belum mampu hendaknya berpuasa, sebagaimana arahan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (artinya) : “Wahai sekalian para pemuda, barangsiapa di antara kamu yang mempunyai kemampuan hendaklah segera menikah, karena nikah itu lebih menundukkan mata dan lebih menjaga kehormatan diri. Dan barangsiapa yang belum mampu hendakanya berpuasa, karena puasa itu dapat membentenginya” [Muttafaq ‘Alaih]

Didalam hadits ini beliau tidak mengatakan : “Barangsiapa yang belum mampu, maka lakukanlah onani, atau hendaklah ia mengeluarkan spermanya”, akan tetapi beliau mengatakan : “Dan barangsiapa yang belum mampu hendaknya berpuasa, karena puasa itu dapat membentenginya”

Pada hadits tadi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan dua hal, yaitu :
1. Segera menikah bagi yang mampu.
2. Meredam nafsu syahwat dengan melakukan puasa bagi orang yang belum mampu menikah, sebab puasa itu dapat melemahkan godaan dan bisikan syetan.

Maka hendaklah anda, wahai pemuda, beretika dengan etika agama dan bersungguh-sungguh di dalam berupaya memelihara kehormatan diri anda dengan nikah syar’i sekalipun harus dengan berhutang atau meminjam dana. Insya Allah, Dia akan memberimu kecukupan untuk melunasinya.

Menikah itu merupakan amal shalih dan orang yang menikah pasti mendapat pertolongan, sebagaimana Rasulullah tegaskan di dalam haditsnya. (yang artinya) : “Ada tiga orang yang pasti (berhak) mendapat pertolongan Allah Azza wa Jalla : Al-Mukatab (budak yang berupaya memerdekakan diri) yang hendak menunaikan tebusan darinya. Lelaki yang menikah karena ingin menjaga kesucian dan kehormatan dirinya, dan mujahid (pejuang) di jalan Allah” [Diriwayatkan oleh At-Turmudzi, Nasa’i dan Ibnu Majah]


(Dikutip dari terjemah Fatawa Syaikh Bin Baz, dimuat dalam Majalah Al-Buhuts, edisi 26 hal 129-130, disalin dari Kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram)

Tuesday, March 27, 2012

Anak dr "MBA" (Married by Accident) - Fatwa MUI

Anak hasil zina tidak dinasabkan kepada lelaki yang menzinai ibu anak tersebut meskipun kita mengetahui bahwa secara hukum kauni qadari anak zina tersebut adalah anaknya.

Dalam arti, Allah Subhanahu wa Ta’ala menakdirkan terciptanya anak zina tersebut sebagai hasil percampuran air mani laki-laki itu dengan wanita yang dizinainya. Akan tetapi secara hukum syar’i, anak itu bukan anaknya karena tercipta dengan sebab yang tidak dibenarkan oleh syariat, yaitu perzinaan. Permasalahan ini masuk dalam keumuman sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ

“Anak yang lahir untuk pemilik kasur (artinya, anak yang dilahirkan oleh istri seseorang atau budak wanitanya adalah miliknya), dan seorang pezina tidak punya hak pada anak hasil perzinaannya.” (Muttafaq ‘alaih dari Abu Hurairah dan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha)

Dengan demikian, jika seorang lelaki menghamili seorang wanita dengan perzinaan kemudian dia bermaksud menikahinya dengan alasan untuk menutup aib dan menyelamatkan nasab anak tersebut, maka hal itu haram atasnya dan pernikahannya tidak sah. Karena anak tersebut bukan anaknya menurut hukum syar’i. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama sebagaimana dalam Al-Mughni (6/184-185) dan Syarah Bulughul Maram karya Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu pada Bab ‘Iddah wal ihdad wal istibra`. Dan ini yang difatwakan oleh Al-Lajnah Ad-Da`imah dalam Fatawa mereka (20/387-389).

Berdasarkan hal ini, seluruh hukum nasab antara keduanya pun tidak berlaku. Di antaranya:

a. Keduanya tidak saling mewarisi.

b. Lelaki tersebut tidak wajib memberi nafkah kepadanya.

c. Lelaki tersebut bukan mahram bagi anak itu (jika dia wanita) kecuali apabila lelaki tersebut menikah dengan ibu anak itu dan telah melakukan hubungan (sah) suami-istri, yang tentunya hal ini setelah keduanya bertaubat dan setelah anak itu lahir, maka anak ini menjadi rabibah-nya (anak tiri) dlm syariat sehingga menjadi mahram.

d. Lelaki tersebut tidak bisa menjadi wali anak itu dalam pernikahan (jika dia wanita).

Namun bukan berarti laki-laki tersebut boleh menikahi putri zinanya. Yang benar dalam masalah ini, dia tidak boleh menikahinya, sebagaimana pendapat jumhur yang dipilih oleh Syaikhul Islam dan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin. Karena anak itu adalah putrinya secara hukum kauni qadari berasal dari air maninya, sehingga merupakan darah dagingnya sendiri. Dalil yang paling kuat dalam hal ini adalah bahwasanya seorang laki-laki tidak boleh menikahi anak susuannya yang disusui oleh istrinya dengan air susu yang diproduksi dengan sebab digauli olehnya sehingga hamil dan melahirkan. Kalau anak susuan seseorang saja haram atasnya, tentu seorang anak zina yang berasal dari air maninya dan merupakan darah dagingnya sendiri lebih pantas untuk dinyatakan haram atasnya. (Lihat Majmu’ Fatawa, 32/134-137, 138-140, Asy-Syarhul Mumti’, 5/170)

Para ulama menyatakan bahwa seorang anak zina dinasabkan kepada ibu yang melahirkannya, dan keduanya saling mewarisi. Jadi nasab anak tersebut dari jalur ayah tidak ada. Yang ada hanyalah nasab dari jalur ibunya. Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah bahwasanya suami istri yang melakukan li’an3 di hadapan hakim karena suaminya menuduh bahwa anak yang dikandung istrinya adalah hasil perzinaan sedangkan istrinya tidak mengaku lalu keduanya dipisahkan oleh hakim, maka anak yang dikandung wanita itu dinasabkan kepada ibunya dan terputus nasabnya dari jalur ayah. Sebagaimana dalam hadits Sahl bin Sa’d As-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu yang muttafaq ‘alaih.

Jika kedua orang yang berzina tersebut menikah dalam keadaan wanitanya hamil maka pernikahan itu tidak sah

Hanya saja, kalau pernikahan itu dilangsungkan dengan anggapan bahwa hal itu boleh dan sah sebagaimana mazhab sebagian ulama yang berpendapat: “Boleh bagi seorang lelaki yang menghamili seorang wanita dengan perzinaan untuk menyelamatkan nasab anak itu dengan cara menikahinya dalam keadaan hamil, dengan syarat keduanya telah bertaubat dari perzinaan dan diketahui dengan pasti/yakin bahwa yang menghamilinya adalah laki-laki itu”, maka pernikahan itu dikategorikan sebagai nikah syubhat.

Artinya, pernikahan itu berlangsung dengan anggapan bahwa hal itu boleh menurut syariat, padahal sebenarnya tidak boleh. Berarti pernikahan itu tidak mengubah status anak hasil perzinaan tersebut sebagai anak zina, dia tetap dinasabkan kepada ibunya dan tidak sah dinasabkan kepada lelaki tersebut.

Adapun anak-anak yang dihasilkan setelah nikah syubhat, status mereka sah sebagai anak-anak keduanya. Akan tetapi wajib atas keduanya untuk berpisah ketika mengetahui hakikat sebenarnya bahwa pernikahan itu tidak sah, sampai keduanya menikah kembali dengan akad nikah yang benar dan sah, tanpa harus melakukan istibra` ar-rahim. Ini adalah jawaban Syaikhuna Al-Faqih Abdurrahman Al-‘Adni hafizhahullah wa syafahu.

Dengan demikian, diketahuilah bahwa hubungan antara anak zina tersebut dengan anak-anak yang lahir dengan nikah syubhat tersebut adalah saudara seibu tidak seayah, yang berarti mereka adalah mahramnya. Namun tidak bisa menjadi wali pernikahannya menurut pendapat jumhur, yang menyatakan bahwa wali pernikahan seorang wanita adalah setiap lelaki yang merupakan ‘ashabah wanita itu, seperti ayahnya, kakeknya dari jalur ayah, putranya, anak laki-laki putranya, saudara laki-lakinya yang sekandung atau seayah, pamannya dari jalur ayah dan ‘ashabah lainnya.


FATWA

MAJELIS ULAMA INDONESIA

Nomor: 11 Tahun 2012

Tentang

KEDUDUKAN ANAK HASIL ZINA DAN PERLAKUAN TERHADAPNYA

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), setelah :

MENIMBANG:

a. bahwa dalam Islam, anak terlahir dalam kondisi suci dan tidak membawa dosa turunan, sekalipun ia terlahir sebagai hasil zina;

b. bahwa dalam realitas di masyarakat, anak hasil zina seringkali terlantar karena laki-laki yang menyebabkan kelahirannya tidak bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, serta seringkali anak dianggap sebagai anak haram dan terdiskriminasi karena dalam akte kelahiran hanya dinisbatkan kepada ibu;

c. bahwa terhadap masalah tersebut, Mahkamah Konsitusi dengan pertimbangan memberikan perlindungan kepada anak dan memberikan hukuman atas laki-laki yang menyebabkan kelahirannya untuk bertanggung jawab, menetapkan putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang pada intinya mengatur kedudukan anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya;

d. bahwa terhadap putusan tersebut, muncul pertanyaan dari masyarakat mengenai kedudukan anak hasil zina, terutama terkait dengan hubungan nasab, waris, dan wali nikah dari anak hasil zina dengan laki-laki yang menyebabkan kelahirannya menurut hukum Islam;

e. bahwa oleh karena itu dipandang perlu menetapkan fatwa tentang kedudukan anak hasil zina dan perlakuan terhadapnya guna dijadikan pedoman.

MENGINGAT:

1. Firman Allah SWT:

a. Firman Allah yang mengatur nasab, antara lain :

وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ مِنَ الْمَاءِ بَشَرًا فَجَعَلَهُ نَسَبًا وَصِهْرًا وَكَانَ رَبُّكَ قَدِيرًا

“Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air lalu dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah danadalah Tuhanmu Maha Kuasa. (QS. Al-Furqan : 54).

b. Firman Allah yang melarang perbuatan zina dan seluruh hal yang mendekatkan ke zina, antara lain:

وَلاَ تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلاً

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk “ (QS. Al-Isra : 32).

وَالَّذِينَ لاَ يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهاً آخَرَ وَلاَ يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلاَ يَزْنُونَ وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَاماً يُضَاعَفْ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَاناً

Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosanya, yakni akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina” (QS. Al-Furqan: 68 – 69)

c. Firman Allah yang menjelaskan tentang pentingnya kejelasan nasab dan asal usul kekerabatan, antara lain:

وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءكُمْ أَبْنَاءكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُم بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللَّهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ ادْعُوهُمْ ِلأَبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِندَ اللَّهِ فَإِن لَّمْ تَعْلَمُوا آبَاءهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ

“Dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).

Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. (QS. Al-Ahzab: 4 – 5).

وَحَلائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلابِكُمْ

“.... (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu) “ (QS. Al-Nisa: 23).

d. Firman Allah yang menegaskan bahwa seseorang itu tidak memikul dosa orang lain, demikian juga anak hasil zina tidak memikul dosa pezina, sebagaimana firman-Nya:

وَلاَ تَكْسِبُ كُلُّ نَفْسٍ إِلاَّ عَلَيْهَا وَلاَ تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى ثُمَّ إِلَى رَبِّكُم مَّرْجِعُكُمْ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ

Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain526. Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan. (QS. Al-An’am : 164)

وَلاَ تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى ثُمَّ إِلَى رَبِّكُم مَّرْجِعُكُمْ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ إِنَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ

“Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kembalimu lalu Dia memberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui apa yang tersimpan dalam (dada)mu. (QS. Al-Zumar: 7)

2. Hadis Rasulullah SAW, antara lain:

a. hadis yang menerangkan bahwa anak itu dinasabkan kepada pemilik kasur/suami dari perempuan yang melahirkan (firasy), sementara pezina harus diberi hukuman, antara lain:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ اخْتَصَمَ سَعْدُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ وَعَبْدُ بْنُ زَمْعَةَ فِي غُلَامٍ فَقَالَ سَعْدٌ هَذَا يَا رَسُولَ اللَّهِ ابْنُ أَخِي عُتْبَةَ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ عَهِدَ إِلَيَّ أَنَّهُ ابْنُهُ انْظُرْ إِلَى شَبَهِهِ وَقَالَ عَبْدُ بْنُ زَمْعَةَ هَذَا أَخِي يَا رَسُولَ اللَّهِ وُلِدَ عَلَى فِرَاشِ أَبِي مِنْ وَلِيدَتِهِ فَنَظَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى شَبَهِهِ فَرَأَى شَبَهًا بَيِّنًا بِعُتْبَةَ فَقَالَ هُوَ لَكَ يَا عَبْدُ بْنَ زَمْعَةَ الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ وَاحْتَجِبِي مِنْهُ يَا سَوْدَةُ بِنْتَ زَمْعَةَ قَالَتْ فَلَمْ يَرَ سَوْدَةَ قَطُّ. رواه البخارى ومسلم

Dari ‘Aisyah ra bahwasanya ia berkata: Sa’d ibn Abi Waqqash dan Abd ibn Zam’ah berebut terhadap seorang anak lantas Sa’d berkata: Wahai Rasulallah, anak ini adalah anak saudara saya ‘Utbah ibn Abi Waqqash dia sampaikan ke saya bahwasanya ia adalah anaknya, lihatlah kemiripannya. ‘Abd ibn Zum’ah juga berkata: “Anak ini saudaraku wahai Rasulullah, ia terlahir dari pemilik kasur (firasy) ayahku dari ibunya. Lantas Rasulullah saw melihat rupa anak tersebut dan beliau melihat keserupaan yang jelas dengan ‘Utbah, lalu Rasul bersabda: “Anak ini saudaramu wahai ‘Abd ibn Zum’ah. Anak itu adalah bagi pemilik kasur/suami dari perempuan yang melahirkan (firasy) dan bagi pezina adalah (dihukum) batu, dan berhijablah darinya wahai Saudah Binti Zam’ah. Aisyah berkata: ia tidak pernah melihat Saudah sama sekali. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

عن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده قال: قام رجل فقال: يا رسول الله، إن فلانًا ابني، عَاهَرْتُ بأمه في الجاهلية، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: لا دعوة في الإسلام، ذهب أمر الجاهلية، الولد للفراش، وللعاهر الحجر. رواه أبو داود

“Dari ‘Amr ibn Syu’aib ra dari ayahnya dari kakeknya ia berkata: seseorang berkata: Ya rasulallah, sesungguhnya si fulan itu anak saya, saya menzinai ibunya ketika masih masa jahiliyyah, rasulullah saw pun bersabda: “tidak ada pengakuan anak dalam Islam, telah lewat urusan di masa jahiliyyah. Anak itu adalah bagi pemilik kasur/suami dari perempuan yang melahirkan (firasy) dan bagi pezina adalah batu (dihukum)” (HR. Abu Dawud)

b. hadis yang menerangkan bahwa anak hazil zina dinasabkan kepada ibunya, antara lain:

قال النبي صلى الله عليه وسلم في ولد الزنا " لأهل أمه من كانوا" . رواه أبو داود

Nabi saw bersabda tentang anak hasil zina: “Bagi keluarga ibunya ...” (HR. Abu Dawud)

c. hadis yang menerangkan tidak adanya hubungan kewarisan antara anak hasil zina dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya, antara lain:

عن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: " أيما رجل عاهر بحرة أو أمة فالولد ولد زنا ، لا يرث ولا يورث " رواه الترمذى - سنن الترمذى 1717

“Dari ‘Amr ibn Syu’aib ra dari ayahnya dari kakeknya bahwa rasulullah saw bersabda: Setiap orang yang menzinai perempuan baik merdeka maupun budak, maka anaknya adalah anak hasil zina, tidak mewarisi dan tidak mewariskan“. (HR. Al-Turmudzi)

d. hadis yang menerangkan larangan berzina, antara lain:

عن ‏أبي مرزوق رَضِيَ اللَّهُ عَنْه قال ‏غزونا مع ‏‏رويفع بن ثابت الأنصاري ‏ ‏قرية من قرى ‏‏المغرب ‏يقال لها ‏ ‏جربة ‏ ‏فقام فينا خطيبا فقال أيها الناس إني لا أقول فيكم إلا ما سمعت رسول الله ‏ ‏صلى الله عليه وسلم ‏ ‏يقول قام فينا يوم ‏ ‏حنين ‏ ‏فقال ‏ ‏لا يحل لامرئ يؤمن بالله واليوم الآخر أن يسقي ماءه زرع غيره . أخرجه الإمام أحمد و أبو داود

Dari Abi Marzuq ra ia berkata: Kami bersama Ruwaifi’ ibn Tsabit berperang di Jarbah, sebuah desa di daerah Maghrib, lantas ia berpidato: “Wahai manusia, saya sampaikan apa yang saya dengar dari rasulullah saw pada saat perang Hunain seraya berliau bersabda: “Tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya menyirampan air (mani)nya ke tanaman orang lain (berzina)’ (HR Ahmad dan Abu Dawud)

e. hadis yang menerangkan bahwa anak terlahir di dunia itu dalam keadaan fitrah, tanpa dosa, antara lain:

عن ‏أبي هريرة ‏رضي الله عنه قال ‏‏قال النبي ‏صلى الله عليه وسلم ‏كل مولود يولد على الفطرة فأبواه يهودانه أو ينصرانه أو يمجسانه . رواه البخارى ومسلم

Dari Abi Hurairah ra ia berkata: Nabi saw bersabda: “Setiap anak terlahir dalam kondisi fitrah, kedua orang tuanyalah yang menjadikannya seorang yahudi, nasrani, atau majusi. (HR al-Bukhari dan Muslim)

3. Ijma’ Ulama, sebagaimana disampaikan oleh Imam Ibn Abdil Barr dalam “al-Tamhid” (8/183) apabila ada seseorang berzina dengan perempuan yang memiliki suami, kemudian melahirkan anak, maka anak tidak dinasabkan kepada lelaki yang menzinainya, melainkan kepada suami dari ibunya tersebut, dengan ketentuan ia tidak menafikan anak tersebut.

وأجمعت الأمة على ذلك نقلاً عن نبيها صلى الله عليه وسلم، وجعل رسول الله صلى الله عليه وسلم كل ولد يولد على فراش لرجل لاحقًا به على كل حال، إلا أن ينفيه بلعان على حكم اللعان

Umat telah ijma’ (bersepakat) tentang hal itu dengan dasar hadis nabi saw, dan rasul saw menetapkan setiap anak yang terlahir dari ibu, dan ada suaminya, dinasabkan kepada ayahnya (suami ibunya), kecuali ia menafikan anak tersebut dengan li’an, maka hukumnya hukum li’an.

Juga disampaikan oleh Imam Ibnu Qudamah dalam Kitab al-Mughni (9/123) sebagai berikut:

وأجمعوا على أنه إذا ولد على فراش رجل فادعاه آخر أنه لا يلحقه

Para Ulama bersepakat (ijma’) atas anak yang lahir dari ibu, dan ada suaminya, kemudian orang lain mengaku (menjadi ayahnya), maka tidak dinasabkan kepadanya.

4. Atsar Shahabat, Khalifah ‘Umar ibn al-Khattab ra berwasiat untuk senantiasa memperlakukan anak hasil zina dengan baik, sebagaimana ditulis oleh Imam al-Shan’ani dalam “al-Mushannaf” Bab ‘Itq walad al-zina” hadits nomor 13871.

5. Qaidah Sadd al-Dzari’ah, dengan menutup peluang sekecil apapun terjadinya zina serta akibat hukumnya.

6. Qaidah ushuliyyah :

الأ صل في النهي يقتضي فساد المنهي عنه

“Pada dasarnya, di dalam larangan tentang sesuatu menuntut adanya rusaknya perbuatan yang terlarang tersebut”

لا اجتهاد في مورد النص

“Tidak ada ijtihad di hadapan nash”

7. Qaidah fiqhiyyah :

لِلْوَسَائِلَ حُكْمُ الْمَقَاصِدِ

“Hukum sarana adalah mengikuti hukum capaian yang akan dituju"

الضَّرَرُ يُدْفَعُ بِقَدْرِ الْإِمْكَانِ

“Segala mudharat (bahaya) harus dihindarkan sedapat mungkin”.

الضَّرَرُ لاَ يُزَالُ بِالضَّرَرِ

“Bahaya itu tidak boleh dihilangkan dengan mendatangkan bahaya yang lain.”

دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ

“Menghindarkan mafsadat didahulukan atas mendatangkan maslahat.

يُتَحَمَّلُ الضَّرَرُ الْخَاصُّ لِدَفْعِ الضَّرَرِ الْعَامِّ

“Dharar yang bersifat khusus harus ditanggung untuk menghindarkan dharar yang bersifat umum (lebih luas).”

إِذَا تَعَارَضَتْ مَفْسَدَتَانِ أَوْ ضَرَرَانِ رُوْعِيَ أَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا بِارْتِكَابِ أَخَفِّهِمَا

"Apabila terdapat dua kerusakan atau bahaya yang saling bertentangan, maka kerusakan atau bahaya yang lebih besar dihindari dengan jalan melakukan perbuatan yang resiko bahayanya lebih kecil."

تَصَرُّفُ اْلإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصَلَحَةِ

“Kebijakan imam (pemerintah) terhadap rakyatnya didasarkan pada kemaslahatan.”

MEMPERHATIKAN :

1. Pendapat Jumhur Madzhab Fikih Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah yang menyatakan bahwa prinsip penetapan nasab adalah karena adanya hubungan pernikahan yang sah. Selain karena pernikahan yang sah, maka tidak ada akibat hukum hubungan nasab, dan dengan demikian anak zina dinasabkan kepada ibunya, tidak dinasabkan pada lelaki yang menzinai, sebagaimana termaktub dalam beberapa kutipan berikut:

a. Ibn Hajar al-‘Asqalani:

نقل عن الشافعي أنه قال: لقوله “الولد للفراش” معنيان: أحدهما
هو له مالم ينفه، فإذا نفاه بما شُرع له كاللعان انتفى عنه، والثاني: إذا تنازع رب الفراش والعاهر فالولد لرب الفراش” ثم قال: “وقوله: “وللعاهر الحجر”، أي: للزاني الخيبة والحرمان، والعَهَر بفتحتين: الزنا، وقيل: يختص بالليل، ومعنى الخيبة هنا: حرمان الولد الذي يدعيه، وجرت عادة العرب أن تقول لمن خاب: له الحجر وبفيه الحجر والتراب، ونحو ذلك، وقيل: المراد بالحجر هنا أنه يرجم. قال النووي: وهو ضعيف، لأن الرجم مختصّ بالمحصن، ولأنه لا يلزم من رجمه نفي الولد، والخبر إنما سيق لنفي الولد، وقال السبكي: والأول أشبه بمساق الحديث، لتعم الخيبة كل زان

Diriwayatkan dari Imam Syafe’i dua pengertian tentang makna dari hadist “ Anak itu menjadi hak pemillik kasur/suami “ .

Pertama : Anak menjadi hak pemilik kasur/suami selama ia tidak menafikan/mengingkarinya. Apabila pemilik kasur/suami menafikan anak tersebut (tidak mengakuinya) dengan prosedur yang diakui keabsahannya dalam syariah, seperti melakukan Li’an, maka anak tersebut dinyatakan bukan sebagai anaknya.

Kedua : Apabila bersengketa (terkait kepemilikan anak) antara pemilik kasur/suami dengan laki-laki yang menzinai istri/budak wanitanya, maka anak tersebut menjadi hak pemilik kasur/suami.

Adapun maksud dari “ Bagi Pezina adalah Batu “ bahwa laki-laki pezina itu keterhalangan dan keputus-asaan. Maksud dari kata Al-‘AHAR dengan menggunakan dua fathah (pada huruf ‘ain dan ha’) adalah zina. Ada yang berpendapat bahwa kata tersebut digunakan untuk perzinaan yang dilakukan pada malam hari.

Oleh karenanya, makna dari keptus-asaan disini adalah bahwa laki-laki pezina tersebut tidak mendapatkan hak nasab atas anak yang dilahirkan dari perzinaannya. Pemilihan kata keputus-asaan di sini sesuai dengan tradisi bangsa arab yang menyatakan “Baginya ada batu” atau : Di mulutnya ada batu” buat orang yang telah berputus asa dari harapan.

Ada yang berpendapat bahwa pengertian dari batu di sini adalah hukuman rajam. Imam Nawawi menyatakan bahwa pendapat tersebut adalah lemah, karena hukuman rajam hanya diperuntukkan buat pezina yang mukhsan (sudah menikah). Di sisi yang lain, hadist ini tidak dimaksudkan untuk menjelaskan hokum rajam, tapi dimaksudkan untuk sekedar menafikan hak anak atas pezina tersebut. Oleh karena itu Imam Subki menyatakan bahwa pendapat yang pertama itu lebih sesuai dengan redaksi hadist tersebut, karena dapat menyatakan secara umum bahwa keputus-asaan (dari mendapatkan hak anak) mencakup seluruh kelompok pezina (mukhsan atau bukan mukhsan).

b. Pendapat Imam al-Sayyid al-Bakry dalam kitab “I’anatu al-Thalibin” juz 2 halaman 128 sebagai berikut:

ولد الزنا لا ينسب لأب وإنما ينسب لأمه

Anak zina itu tidak dinasabkan kepada ayah, ia hanya dinasabkan kepada ibunya.

c. Pendapat Imam Ibn Hazm dalam Kitab al-Muhalla juz 10 halaman 323 sebagai berikut :

والولد يلحق بالمرأة إذا زنت و حملت به ولا يلحق بالرجل

Anak itu dinasabkan kepada ibunya jika ibunya berzina dan kemudian mengandungnya, dan tidak dinasabkan kepada lelaki.

2. Pendapat Imam Ibnu Nujaim dalam kitab “al-Bahr al-Raiq Syarh Kanz ad-Daqaiq”:

وَيَرِثُ وَلَدُ الزِّنَا وَاللِّعَانِ مِنْ جِهَةِ الأمِّ فَقَطْ ؛ لأنَّ نَسَبَهُ مِنْ جِهَةِ الأبِ مُنْقَطِعٌ فَلا يَرِثُ بِهِ وَمِنْ جِهَةِ الأمِّ ثَابِتٌ فَيَرِثُ بِهِ أُمَّهُ وَأُخْتَه مِنْ الأمِّ بِالْفَرْضِ لا غَيْرُ وَكَذَا تَرِثُهُ أُمُّهُ وَأُخْتُهُ مِنْ أُمِّهِ فَرْضًا لا غَيْرُ

Anak hasil zina atau li’an hanya mendapatkan hak waris dari pihak ibu saja, karena nasabnya dari pihak bapak telah terputus, maka ia tidak mendapatkan hak waris dari pihak bapak, sementara kejelasan nasabnya hanya melalui pihak ibu, maka ia memiliki hak waris dari pihak ibu, saudara perempuan seibu dengan fardh saja (bagian tertentu), demikian pula dengan ibu dan saudara perempuannya yang seibu, ia mendapatkan bagian fardh (tertentu), tidak dengan jalan lain.

3. Pendapat Imam Ibn ‘Abidin dalam Kitab “Radd al-Muhtar ‘ala al-Durr al-Mukhtar” (Hasyiyah Ibn ‘Abidin) sebagai berikut :

ويرث ولد الزنا واللعان بجهة الأم فقط لما قد مناه فى العصبات أنه لا أب لهما

Anak hasil zina atau li’an hanya mendapatkan hak waris dari pihak ibu saja, sebagaimana telah kami jelaskan di bab yang menjelaskan tentang Ashabah, karena anak hasil zina tidaklah memiliki bapak.

4. Pendapat Ibnu Taymiyah dalam kitab “al-Fatawa al-Kubra” :

وَاخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ فِي اسْتِلْحَاقِ وَلَدِ الزِّنَا إذَا لَمْ يَكُنْ فِرَاشًا ؟ عَلَى قَوْلَيْنِ .كَمَا ثَبَتَ عَنْ النَّبِيِّ { صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ أَلْحَقَ ابْنَ وَلِيدَةِ زَمْعَةَ بْنِ الْأَسْوَدِ بْنِ زَمْعَةَ بْنِ الْأَسْوَدِ ، وَكَانَ قَدْ أَحْبَلَهَا عُتْبَةُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ ، فَاخْتَصَمَ فِيهِ سَعْدٌ وَعَبْدُ بْنُ زَمْعَةَ ، فَقَالَ سَعْدٌ : ابْنُ أَخِي .عَهِدَ إلَيَّ أَنَّ ابْنَ وَلِيدَةِ زَمْعَةَ هَذَا ابْنِي . فَقَالَ عَبْدٌ : أَخِي وَابْنُ وَلِيدَةِ أَبِي ؛ وُلِدَ عَلَى فِرَاشِ أَبِي . فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : هُوَ لَك يَا عَبْدُ بْنُ زَمْعَةَ الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ ، وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ ؛ احْتَجِبِي مِنْهُ يَا سَوْدَةُ } لَمَّا رَأَى مِنْ شَبَهِهِ الْبَيِّنِ بِعُتْبَةَ ، فَجَعَلَهُ أَخَاهَا فِي الْمِيرَاثِ دُونَ الْحُرْمَةِ

Para ulama berbeda pendapat terkait istilkhaq (penisbatan) anak hasil zina apabila si wanita tidak memiki pemilik kasur/suami atau sayyid (bagi budak wanita). Diriwatkan dalam hadist bahwa Rasulullah SAW menisbatkan anak budak wanita Zam’ah ibn Aswad kepadanya (Zam’ah), padahal yang menghamili budak wanita tersebut adalah Uthbah ibn Abi Waqqosh. Sementara itu, Sa’ad menyatakan : anak dari budak wanita tersebut adalah anak saudaraku (Uthbah), dan aku (kata sa’ad) ditugaskan untuk merawatnya seperti anakku sendiri”. Abd ibn Zam’ah membantah dengan berkata : “anak itu adalah saudaraku dan anak dari budak wanita ayahku, ia dilahirkan di atas ranjang ayahku”. Rasulullah SAW bersabda: “anak itu menjadi milikmu wahai Abd ibn Zam’ah, anak itu menjadi hak pemilik kasur dan bagi pezina adalah batu”, kemudian Rasulullah bersabda : “Berhijablah engkau wahai Saudah (Saudah binti Zam’ah – Istri Rasulullah SAW)”, karena beliau melihat kemiripan anak tersebut dengan Utbah, maka beliau menjadikan anak tersebut saudara Saudah binti Zam’ah dalam hal hak waris, dan tidak menjadikannya sebagai mahram.

5. Pendapat Dr. Wahbah al-Zuhaili dengan judul “Ahkam al-Aulad al-Natijin ‘an al-Zina” yang disampaikan pada Daurah ke-20 Majma’ Fiqh Islami di Makkah pada 25 – 29 Desember 2010 yang pada intinya menerangkan bahwa, jika ada seseorang laki-laki berzina dengan perempuan yang memiliki suami dan kemudian melahirkan anak, terdapat ijma ulama, sebagaimana disampaikan oleh Imam Ibn Abdil Barr dalam “al-Tamhid” (8/183) yang menegaskan bahwa anak tersebut tidak dinasabkan kepada lelaki yang menzinainya, melainkan kepada suami dari ibunya tersebut, dengan ketentuan ia tidak menafikan anak tersebut melalui li’an. Sementara, jika ia berzina dengan perempuan yang tidak sedang terikat pernikahan dan melahirkan seorang anak, maka menurut jumhur ulama madzhab delapan, anak tersebut hanya dinasabkan ke ibunya sekalipun ada pengakuan dari laki-laki yang menzinainya. Hal ini karena penasaban anak kepada lelaki yang pezina akan mendorong terbukanya pintu zina, padahal kita diperintahkan untuk menutup pintu yang mengantarkan pada keharaman (sadd al-dzari’ah) dalam rangka menjaga kesucian nasab dari perlikau munkarat.

6. Pendapat, saran, dan masukan yang berkembang dalam Sidang Komisi Fatwa pada Rapat-Rapat Komisi Fatwa pada tanggal 3, 8, dan 10 Maret 2011.

Dengan bertawakkal kepada Allah SWT

MEMUTUSKAN

MENETAPKAN: FATWA TENTANG ANAK HASIL ZINA DAN PERLAKUAN TERHADAPNYA

Pertama: Ketentuan Umum

Di dalam fatwa ini yang dimaksud dengan :

  1. Anak hasil zina adalah anak yang lahir sebagai akibat dari hubungan badan di luar pernikahan yang sah menurut ketentuan agama, dan merupakan jarimah(tindak pidana kejahatan).
  2. Hadd adalah jenis hukuman atas tindak pidana yang bentuk dan kadarnya telah ditetapkan oleh nash
  3. Ta’zir adalah jenis hukuman atas tindak pidana yang bentuk dan kadarnya diserahkan kepada ulil amri (pihak yang berwenang menetapkan hukuman).
  4. Wasiat wajibah adalah kebijakan ulil amri (penguasa) yang mengharuskan laki-laki yang mengakibatkan lahirnya anak zina untuk berwasiat memberikan harta kepada anak hasil zina sepeninggalnya.

Kedua: Ketentuan Hukum

1. Anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, wali nikah, waris, dan nafaqah dengan lelaki yang menyebabkan kelahirannya.

2. Anak hasil zina hanya mempunyai hubungan nasab, waris, dan nafaqah dengan ibunya dan keluarga ibunya.

3. Anak hasil zina tidak menanggung dosa perzinaan yang dilakukan oleh orang yang mengakibatkan kelahirannya

4. Pezina dikenakan hukuman hadd oleh pihak yang berwenang,untuk kepentingan menjaga keturunan yang sah (hifzh al-nasl).

5. Pemerintah berwenang menjatuhkan hukuman ta’zir lelaki pezina yang mengakibatkan lahirnya anak dengan mewajibkannya untuk:

a. mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut;

b. memberikan harta setelah ia meninggal melalui wasiat wajibah.

6. Hukuman sebagaimana dimaksud nomor 5 bertujuan melindungi anak, bukan untuk mensahkan hubungan nasab antara anak tersebut dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya.

Ketiga: Rekomendasi

1. DPR-RI dan Pemerintah diminta untuk segera menyusun peraturan perundang-undangan yang mengatur:

a. hukuman berat terhadap pelaku perzinaan yang dapat berfungsi sebagai zawajir dan mawani’ (membuat pelaku menjadi jera dan orang yang belum melakukan menjadi takut untuk melakukannya);

b. memasukkan zina sebagai delik umum, bukan delik aduan karena zina merupakan kejahatan yang menodai martabat luhur manusia.

2. Pemerintah wajib mencegah terjadinya perzinaan disertai dengan penegakan hukum yang keras dan tegas.

3. Pemerintah wajib melindungi anak hasil zina dan mencegah terjadinya penelantaran, terutama dengan memberikan hukuman kepada laki-laki yang menyebabkan kelahirannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

4. Pemerintah diminta untuk memberikan kemudahan layanan akte kelahiran kepada anak hasil zina, tetapi tidak menasabkannya kepada lelaki yang menngakibatkan kelahirannya.

5. Pemerintah wajib mengedukasi masyarakat untuk tidak mendiskriminasi anak hasil zina dengan memperlakukannya sebagaimana anak yang lain. Penetapan nasab anak hasil zina kepada ibu dimaksudkan untuk melindungi nasab anak dan ketentuan keagamaan lain yang terkait, bukan sebagai bentuk diskriminasi.

Keempat: Ketentuan Penutup

  1. Fatwa ini berlaku pada tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di ke mudian hari ternyata dibutuhkan perbaikan, akan diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
  2. Agar setiap muslim dan pihak-pihak yang memerlukan dapat mengetahuinya, menghimbau semua pihak untuk menyebarluaskan fatwa ini.

Ditetapkan di: Jakarta

Pada tanggal:

18 Rabi’ul Akhir1433 H

10 M a r e t 2012 M

MAJELIS ULAMA INDONESIA

KOMISI FATWA

Ketua

PROF. DR. H. HASANUDDIN AF, MA

Sekretaris

DR. HM. ASRORUN NI’AM SHOLEH, MA