Perlukan Kita kepada Ilmu Kalam
dan Filsafat Untuk Memahami Manhaj Ahlus Sunnah wal jama`ah?
Di antara bid`ah
besar yang mempurukan kaum muslimin kembali ke alam jahiliyah yang amat kelam
adalah bid`ah filsafat, ilmu kalam atau ilmu mantiq Yunani dalam memahami
Islam. Philosophia itu sendiri berasal dari bahasa Greek (Yunani Kuno),
yaitu philos dan sophia. Philos artinya cinta; atau philia
berarti persahabatan, kasih sayang, kesukaan pada, atau keterikatan pada. Sophia
berarti hikmah (wisdom), kebaikan, pengetahuan, keahlian, pengalaman
praktis, dan intelegensi. Philosophia, menurut
al-Syahrastani (w. 548 H/1153 M), berarti mahabbah al-hikmah (cinta pada
kebijaksanaan), dan orangnya (faylasuf) disebut muhibb al-hikmah (orang
yang mencintai kebijaksanaan). Untuk mencapai Kebahagiaan menurut mereka
hanya bisa diraih melalui kebijaksanaan, baik dengan mengetahui
kebenaran maupun melaksanakan kebaikan.
Filsafat yang merupakan manhaj orang-orang
Yunani dalam berfikir dan merenung untuk mendapatkan kebenaran dan kebaikan
telah menipu sebagian kaum muslimin yang lemah iman dan jahil. Padahal Islam
sama sekali tidak membutuhkan ilmu filsafat, ilmu kalam atau mantiq dalam
memahami dan menerapkannya. Logika sehat ini telah menjadi aqidah yang sangat
dalam di kalangan kaum muslimin di masa sohabat, tabi`in dan tabi`ut tabi`in.
Mengapa Islam tak membutuhkan sama sekali ilmu filsafat, ilmu kalam atau
mantiq? Jawabnya dapat kita renungkan dari poin-poin berikut ini:
1. Islam yang termaktub dalam Al Qur`an dan hadits-hadits
Rosululloh saw sama sekali tidak memerintahkan atau menganjurkan umatnya untuk
memahami Islam melalui ilmu filsafat, ilmu kalam atau logika. Bahkan banyak
sekali ayat-ayat Al Qur`an dan hadits-hadits Rosululloh saw yang membantah dan
meluluhlantahkan logika-logika di luar wahyu yang telah menjadi manhaj umumnya
manusia di saat itu (masa jahiliyah yang tersebar di seluruh bagian dunia
seperti Persia,
Romawi dan bangsa Arab).
Alloh Swt berfirman :
Maka patutkah Aku mencari hakim selain daripada Alloh,
padahal Dialah yang telah menurunkan Kitab (Al Quran) kepada kalian dengan
terperinci? orang-orang yang telah kami datangkan Kitab kepada mereka, mereka
mengetahui bahwa Al Quran itu diturunkan dari Rob kalian dengan sebenarnya.
Maka janganlah kalian sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu. Telah
sempurnalah kalimat Rob kalian (yaitu Al-Quran) sebagai kalimat yang benar dan
adil. tidak ada yang dapat merobah-robah kalimat-kalimat-Nya dan Dia lah yang
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Dan jika kamu (Ya Rosululloh) menuruti
kebanyakan orang-orang yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan
menyesatkanmu dari jalan Alloh. Mereka hanya mengikuti persangkaan belaka, dan
mereka hanyalah berdusta (terhadap Alloh). Sesungguhnya Robmu, Dia-lah yang
lebih mengetahui tentang orang yang tersesat dari jalan-Nya dan dia lebih
mengetahui tentang orang orang yang mendapat petunjuk. (Qs. Al
An`am [6]: 114-117)
Ibnu Katsir rhm (Wafat: 774 H) berkata tentang tafsir ayat
ini :
“Firman Alloh Swt (Telah sempurnalah kalimat Rob
kalian/ yaitu Al Qur`an sebagai kalimat yang benar dan adil) menurut Qotadah :
benar tentang janji-janjiNya dan adil tentang hukumNya. Artinya : Jujur dalam
berbagai beritaNya dan adil dalam berbagai perintah laranganNya. Setiap khobar
yang disampaikanNya adalah kebenaran yang tidak mengandung keraguan atau
kegamangan. Setiap perintah yang diberikanNya adalah keadilan yang tidak ada
lagi tandingan selainNya. Setiap yang dilaranganNya adalah kebatilan, karena
Dia tidak melarang sesuatu kecuali pasti mengandung mafsadah…”
Di bagian lain beliau menjelaskan :
“Alloh swt mengkhabarkan (dalam ayat ini) tentang
kondisi mayoritas manusia penghuni bumi yang berada dalam kesesatan”. (Tafsir
Ibnu Katsir : 3/1351)
2. Kaum salafus solih (para ulama yang hidup di 3 kurun
terbaik umat Islam) sama sekali tidak mengenal ilmu kalam apalagi untuk
digunakan sebagai alat memahami kebenaran atau kebaikan hakiki.
Kita telah mengetahui dengan sangat jelas bahwa Rosululloh
saw telah memuji para salafus solih dengan gelar masa terbaik, terbaik dalam
agamanya, akhlaknya, dalam seluruh sifat-sifat kemuliaan. Rosululloh saw
bersabda:
خَيْرُ
النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِى يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِى يَلُوْنَهُمْ
“Sebaik-baik manusia adalah di masaku, kemudian
manusia-manusia satu masa setelah itu, kemudian manusia-manusia satu masa lagi
setelah itu…”
(Hr. Bukhori: 6429)
Bahkan Alloh Swt memerintahkan manusia untuk mengikuti
salafus solih (terutama para sohabat Nabi saw) dengan baik dan mengukur semua
kebenaran iman dan keberagamaan mereka dengan iman dan keberagamaan para
sohabat beliau saw.
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama
(masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Ansor dan orang-orang yang mengikuti
mereka dengan baik, Alloh rido kepada mereka dan merekapun rido kepada Alloh
dan Alloh menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di
dalamnya selama-lamanya, mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.
(Qs. At Taubah [9]: 100)
Jika mereka beriman seperti apa-apa yang kalian (hai
orang-orang yang beriman bersama Rosululloh saw) telah imani, sungguh mereka
telah mendapat hidayah; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada
dalam kesesatan. Alloh akan memelihara kamu dari mereka. dan Dia-lah yang Maha
mendengar lagi Maha Mengetahui. (Qs. Al Baqoroh [2]: 137)
Alloh Swt juga telah menetapkan bahwa berpaling dari cara
berpikir dan beramal para sohabat Rosululloh saw merupakan ciri kaum munafiqin.
Apabila dikatakan kepada mereka: “Berimanlah kalian
sebagaimana orang-orang itu (yaitu para sohabat Nabi saw) beriman.” mereka
menjawab: “Kami harus beriman sebagaimana orang-orang yang bodoh itu beriman?”
Ingatlah, Sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh; tetapi mereka tidak
tahu. (Qs. Al Baqoroh [2]: 13)
Akan tetapi sepanjang sejarah kehidupan mereka, kita tidak
pernah dapati mereka mengetahui ilmu kalam atau menggunakannya dalam keilmuan
dan keberagamaan mereka. Mereka sudah sangat cukup cerdas dan mulya dengan apa
yang mereka dapatkan dalam Al Qur`an dan Sunnah Rosululloh saw. Mari kita simak
beberapa perkataan mereka yang mulia, di antaranya :
Abu Dzar rda berkata :
“Sesungguhnya Nabi saw telah meninggalkan kita.. tidak ada
seekor burungpun yang mengepakkan sayapnya di atas langit, kecuali beliau saw
sebutkan ilmu tentangnya”. (Hr. Imam Ahmad dalam Musnadnya: 5/153)
Waktu seseorang bertanya kepada Salman Al Farisi rda :
“Apakah nabi kalian mengajarkan segala sesuatu sampai
masalah beristinja?”
Beliau rda menjawab :
“Ya betul”. (Hr. Muslim: 262)
Az Zuhri rhm berkata :
مِنَ
اللهِ عَزَّ وَجَلَّ اَلرِّسَالَةُ وَعَلَى الرَّسُوْلِ اَلْبَلاَغُ وَعَلَيْنَا
اَلتَّسْلِيْمُ
“Dari Alloh adalah risalah, kewajiban Rosululloh saw
adalah menyampaikan. Sedangkan kewajiban kita adalah taslim (menerima total dan
utuh)”. (Hr. Bukhori: 46)
Ilmu kalam dilahirkan oleh logika dan mantiq orang-orang
musyrik yang sama sekali tidak beriman kepada Alloh Swt. Ilmu kalam, filsafat
atau mantiq merupakan aturan logika yang dilahirkan oleh para filosof Yunani
(plato, aristoteles dengan teori filsafatnya masing-masing). Mereka adalah
masyarakat paganisme (musyrikin) yang tidak sama sekali mengenal ajaran para
nabi dan rosul.
Pantaskah logika kaum musyrikin
kafir dijadikan manhaj atau metode berpikir dan menerapkan Islam yang benar?
Syihristani rhm berkata :
“awal syubhat yang terjadi pada makhluk adalah syubhat Iblis (semoga Alloh
melaknatnya). Sumber Iblis adalah keterlaluanyya dalam ro`yu
(pandangan-pandangan logika) untuk menentang nash dan upayanya lebih memilih
hawa untuk menentang perintah Alloh serta kesombongannya dengan bahan mentah
asal pencptaanya, yaitu api dibandingkan bahan mentah asal penciptaan Adam,
yaitu tanah”. (Al Milal wa An Nihal: 1/16)
3. Perlu diingat dengan sangat tegas bahwa saat seorang
muslim lari dari jalan Al Qur`an, as Sunnah dan pemahaman salafus solih
ternyata yang lahir setelah itu adalah kumpulan kegelisahan, kegamangan dan
kebingungan. Kebingungan orang-orang berotak cerdas. Al Juwainy adalah salah
satu contohnya. Anda mungkin tahu bahwa cendekiwan satu ini sangat dikagumi
kecerdasannya, sehingga di zamannya ia diberi predikat Imam al Haramain (imam
dua negri suci, Mekkah dan Madinah). Jiwanya gelisah dalam
perdebatan-perdebatan filsafat itu. Meskipun ia dapat dikatakan telah sampai
pada puncak kepakaran dalam banyak disiplin ilmu. Tapi tetap saja gelisah.
Kegelisahan yang akhirnya melahirkan penyesalan mendalam. Di penghujung hayatnya,
ia pernah berucap dengan tegas pada murid-muridnya : “Wahai sahabat-sahabatku,
jangan sekali-kali kalian menyibukkan diri dengan ilmu Kalam, andai saja dahulu
aku mengetahui bahwa ilmu ini hanya akan membawaku pada keadaan sekarang ini,
sungguh aku tak akan mempelajarinya.”
Sang cendekiawan ini kemudian meninggal dengan dada yang
disesaki oleh penyesalan. Salah satu ucapannya yang sempat tercatat saat itu
adalah “Sungguh aku telah tenggelam dalam laut yang mengombang-ambingkan,
kutinggalkan ilmu-ilmu kaum muslimin yang sesungguhnya, lalu aku masuk
mempelajari apa yang telah mereka larang. Dan sekarang, duhai, jika saja Allah
tidak menolongku dengan rahmatNya, maka kebinasaanlah untuk putra Al Juwainy
ini. Inilah aku, aku mati dengan meyakini agama orang-orang badui.”
Al Ghazaly –semoga Allah mengampuni kita dan beliau- adalah
contoh lain dalam masalah ini. Siapa gerangan yang tak mengenal sang hujjatul
Islam ini. Perjalanan panjang dan kesungguhannya yang kuat mengantarkan ia
menjadi seorang ulama yang dikenal sangat cerdas (meskipun cerdas saja tak
cukup). Tapi siapa yang mengira bahwa dengan karya sepopuler Ihya’ ‘Ulumuddin
ternyata ia juga terjebak dalam kegelisahan dan kebingungan. Hal itu kemudian
mendorongnya menulis sebuah buku yang mengingatkan orang untuk tidak mengikuti
jejaknya mempelajari ilmu Kalam. Buku itu berjudul Iljaam Al ‘Awaam ‘an ‘ilmil
Kalam.
Syihristani rhm berkata :
Bencana filsafat, ilmu kalam atau logika yunani ini sebenarnya dibawa ke dalam tubuh umat Islam telah dimulai sejak masa Dinasti Umayyah (40-132 H/661-750 M) tepatnya pada masa pemerintahan Khalid Bin Yazid Bin Muawiyah (wafat thn 85 H/704 M) sebagaimana dipertegas oleh Ibn An Nadim dan Al Jahizh. (lihat: al fihrist karya Ibn An nadim, Hal: 242 dan rasa’il jahiz karya al jahiz, Hal: 93). Akan tetapi titik terparah pengaruh Yunani ini terjadi pada masa kejayaan Daulah Abbasiyah pada masa al Ma’mun dimana pada tahun 830 H membangun Bayt al Hikmah (rumah kebijaksanaan), sebuah perpustakaan, akademi, sekaligus biro penerjemah, yang dalam berbagai hal merupakan lembaga pendidikan paling penting sejak berdirinya museum Iskandariyah pada paruh pertama abad ke-3 S.M.
Era Penerjemahan pada masa Dinasti
Abbasiyah berlangsung selama satu abad yang telah dimulai sejak 750 M. Karena
kebanyakan penerjemah adalah orang yang berbahasa Aramik, maka berbagai karya
Yunani pertama kali diterjemahkan ke dalam bahasa Aramik (Suriah) sebelum
akhirnya diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Salah satu penerjemah pertama dari
bahasa Yunani adalah Abu Yahya ibn al Bathriq yang dikenal karena menerjemahkan
karya-karya Galen dan Hippocrates untuk al Mansur, dan karya Ptolemius untuk
khalifah lainnya. Penerjemah awal lainnya adalah seorang Suriah Kristen,
Yuhanna (Yahya) ibn Masawayh, murid Jibril in Bakhtisyu, dan guru Hunayn ibn
Ishaq yang diriwayatkan telah menerjemahkan beberapa manuskrip untuk al Rasyid,
terutama manuskrip tentang kedokteran yang dibawa khalifah dari Ankara dan
Amorium.
Hunayn ibn Ishaq disebut-sebut sebagai
“ketua para penerjemah”, seorang sarjana terbesar dan figur terhormat pada
masanya. Hunayn adalah penganut sekte ibadi, yaitu pemeluk Kristen
Nestor dari Hirah. Dalam faktanya, Hunayn memang telah menerjemahkan naskah
berbahasa Yunani ke dalam bahasa Suriah, dan rekan-rekannya melakukan langkah
berikutnya, yaitu menerjemahkan ke dalam bahasa Arab. Hermeneutica karya
Ariestoteles, misalnya, diterjemahkan pertama kali ke dalam bahasa Suriah oleh
ayahnya, untuk selanjutnya diterjemahkannya kembali ke dalam bahasa Arab.
Seperti halnya Hunayn yang mengambil
posisi terdepan dalam kelompok penerjemah dari penganut Kristen Nestor, Tsabit
ibn Qurrah juga berada pada barisan pertama kelompok penerjemah lainnya yang
direkrut dari orang Saba, penyembah berhala dari Harran. Prestasi besar Tsabit
dilanjutkan oleh anaknya Sinan serta dua cucunya Tsabit dan Ibrahim, kemudian
anak cucunya Abu al Faraj. Seluruh orang-orang tersebut dikenal sebagai
penerjemah dan ilmuan.
Dari sini tampak jelas di hadapan kita
bahwa orang-orang yang andil dalam dunia filsafat pada mulanya adalah kaum
nasrani yang kafir serta kaum zindiq. Tak ada satu ulama pun di kalangan para
tabi`in, maupun tabi`ut tabi`in apalagi di kalangan para sohabat yang
menyebut-nyebutnya apalagi menggunakannya dalam memahami dan melaksanakan
Islam. Bahkan banyak sekali riwayat yang menyatakan bahwa para ulama di saat
itu sangat menentang penggunaan filsafat, ilmu kalam atau mantiq dalam memahami
Islam.
Ibnu Rusyd al-Hafiid (Muhamad ibn Ahmad ibn Rusyd
al-Andalusi. Wafat tahun 595 H). Dia telah mendalami dan menyibukan dirinya
dengan ilmu kalam sampai dia menjadi orang yang paling piawai dalam manhaj
filsafat dan pandangan-pandangan para tokohnya. Akan tetapi pada akhirnya dia
menolak bahkan mendebat serta membantah manhaj ini setelah jelas kesalahan dan
kerusakannya. Di antara kitab terbaiknya dalam hal itu adalah (Al-Kasyf ‘an
Manahijil Adillah fii ‘Aqoidil Millah). Dia kembali meniti manhaj
al-qur’an dan banyak mengkritisi madrasah-madrasah ilmu kalam. Dan dia
mengatakan di dalam kitabnya (tahafutut tahafut): Apakah masih dianggap
orang yang hanya pandai berbicara tentang ilahiyah?
Begitu juga Abu Abdillah Muhammad ibn Umar Ar-Rozy, dia
bersyair dalam kitabnya (Aqsamulladzat):
Akhir langkah
logika adalah kekacauan.
dan penghujung
usaha dunia adalah kesesatan.
Ruh-ruh yang
berada di jasad selalu galau…
Hasil dunia
hanyalah kepedihan dan bencana.
Kami tidak
mendapatkan faidah dari pembahasan sepanjang usia, kecuali kumpulan katanya
begini dan begitu.
Berapa banyak kami
melihat seorang rijal dan sebuah negri, maka tampaklah semuanya lenyap dan
sirna.
Berapa banyak
gunung yang menjulang kemuliaannya, saat seorang rijal telah sirna tetapi
gunung tetaplah gunung
Kemudian dia berkata: Aku telah memperhatikan manhaj kalam
dan filsafat, maka kulihat hal itu tidak dapat menyembuhkan penyakit dan tidak
dapat menghilangkan dahaga. Kemudian akupun melihat bahwa jalan yang paling
benar adalah jalan al-Qur’an. Di dalam itsbat (penetapan sifat Alloh)
aku membaca firmanNya:
Alloh yang Maha Pemurah yang bersemayam di atas ‘Arsy (Thoha:5)
Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik (Fatir:10)
Dan di dalam nafyi (peniadaan sifat bagi Alloh)
akupun membaca firmanNya:
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia (Assyuro:11)
Sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya. (Thoha:110)
Kemudian dia berkata: barangsiapa yang bereksperimen
seperti eksperimenku, niscaya dia akan tahu seperti yang aku ketahui sekarang
(kebingungan dan penyesalan).
Syekh Abu Abdillah Muhammad bin Abdul Karim As-Sihrisytani
yang wafat tahun 548 H, pun telah berkata: Tidak ada seorangpun yang mendalami
falsafat dan ilmu kalam kecuali datang kebingungan dan penyesalan, kemudian dia
bersyair:
Aku telah
mengelilingi berbagai universitas sepanjang umurku,
Akupun telah
menempuh berbagai lembaga-lembaga ilmiyah, tapi aku tidak pernah melihat
kecuali orang yang meletakan tangannya di bawah dagu karena bingung kemudian
menyesal.
Dan dikatakan pula bahwa Imam Zamakhsyari yang wafat tahun
537 H, pada akhir hayatnya bertaubat dari pemahaman mu’tazilah. Dari sebagian
syairnya yang indah tentang masalah ini adalah:
Wahai Dzat
yang melihat sayap nyamuk pada gelam malam. Dan melihat urat yang menempel pada
lehernya juga sum-sum yang ada pada tulang lebah. Anugrahkanlah padaku ampunan
yang akan menghapuskan dosa-dosaku pada zaman dahulu.
Semua ulama salafus solih sangat mencela ilmu kalam dan
banyak sekali mengingatkan besarnya bahaya akibat mempelajari dan menyebarnya
ilmu kalam. Marilah kita simak beberapa perkataan mereka:
Abu Hanifah rhm pernah ditanya : “apa pendapat anda
tentang hal-hal baru yang diperbincangkan orang tentang `ard dan jism?”
Beliau rhm menjawab : “Semua itu adalah makalah-makalah filsafat. Berpegang
teguhlah anda dengan atsar dan metode salaf. Waspadalah setiap konsep baru,
karena semua itu adalah bid`ah”. (Al Hujjah fi Bayanil Mahajjah: 8
serta Sounul Mantiq: 32).
Abdurrohman bin Mahdi rhm bercerita : Aku pernah menemui
Malik di mana saat itu ada seorang laki-laki yang bertanya kepadanya tentang Al
Qur`an. Beliau rhm berkata : “Anda pengikut `Amr bin `Ubaid? Alloh melaknat
`Amr, karena membuat-buat bid`ah ilmu kalam. Seandainya ilmu kalam itu ilmu,
niscaya seluruh sohabat Nabi saw tabi`in menggunakannya dalam ilmu-ilmu hokum
dan syari`at-syari`at mereka. Sesungguhnya ilmu kalam itu batil yang menunjukan
kebatilan”. (Dzammul Kalam : 294)
Abu Yusuf (Ya`qub bin Ibrohim al Qodhi. Wafat : 183 H)
berkata :
“Barangsiapa mencari agama dengan ilmu kalam, pasti dia
zindiq. Barangsiapa yang mencari makna-makna gorib hadits, pasti dia berdusta.
Barangsiapa yang mencari harta dengan kimia (sulap), pasti dia bangkrut”.
(Dzammul Kalam: 326)
Sehingga Al Imam Syafi’i mengatakan : ‘Hukuman terhadap
ulama ilmu kalam ialah mereka ini dipukul dengan pelepah kurma dan kemudian
dikelilingkan di berbagai kampung dan kabilah untuk dinyatakan di hadapan
mereka : Inilah balasan bagi orang yang meninggalkan Al Kitab dan As Sunnah dan
terjun dalam ilmu kalam.’ (Hr. al-Harowi dalam kitab Dzammul
Kalam: 356)
Berkata Al Imam Ahmad bin Hambal : “Ulama ilmu kalam
itu adalah para zindiq (yakni orang-orang yang menyembunyikan di hatinya
kekafiran, tetapi menampakkan
keimanan).” (Talbis Iblis: 83)
keimanan).” (Talbis Iblis: 83)
Imam al Barbahari (Muhammad Al Hasan bin Ali bin Kholf.
Wafat : 329 H) rhm berkata :
“Ketahuilah… Tidak ada kezindiqan, kekufuran,
keragu-raguan, kebid`ahan, kesesatan dan kebingungan dalam agama kecuali
disebabkan ilmu kalam, ahli kalam, perdebatan dan peseteruan”. (Syarh
as Sunnah : 38)
by: Blackberry Daily Hikmah @huwaAsSunnah
[Re-published oleh; Abi Zam - www.kisahrasulnabisahabat.blogspot.com]
[Re-published oleh; Abi Zam - www.kisahrasulnabisahabat.blogspot.com]