Pages

Tuesday, July 30, 2013

Panduan I'tikaf Ramadhan


I’tikaf secara bahasa berarti menetap pada sesuatu. Sedangkan secara syar’i, i’tikaf berarti menetap di masjid dengan tata cara yang khusus disertai dengan niat.[1]


Dalil Disyari’atkannya I’tikaf

Ibnul Mundzir mengatakan, “Para ulama sepakat bahwa i’tikaf itu sunnah, bukan wajib kecuali jika seseorang mewajibkan bagi dirinya bernadzar untuk melaksanakan i’tikaf.”[2]

Dari Abu Hurairah, ia berkata,

كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ عَشْرَةَ أَيَّامٍ ، فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِى قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan selama sepuluh hari. Namun pada tahun wafatnya, Beliau beri’tikaf selama dua puluh hari”.[3]

Waktu i’tikaf yang lebih afdhol adalah di akhir-akhir ramadhan (10 hari terakhir bulan Ramadhan) sebagaimana hadits ‘Aisyah, ia berkata,

أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadhan hingga wafatnya kemudian isteri-isteri beliau pun beri’tikaf setelah kepergian beliau.”[4]

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dengan tujuan untuk mendapatkan malam lailatul qadar, untuk menghilangkan dari segala kesibukan dunia, sehingga mudah bermunajat dengan Rabbnya, banyak berdo’a dan banyak berdzikir ketika itu.[5]


I’tikaf Harus Dilakukan di Masjid

Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,

وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

“(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”(QS. Al Baqarah: 187). Demikian juga dikarenakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu juga istri-istri beliau melakukannya di masjid, dan tidak pernah di rumah sama sekali. Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Para ulama sepakat bahwa disyaratkan melakukan i’tikaf di masjid.”[6] 
Termasuk wanita, ia boleh melakukan i’tikaf sebagaimana laki-laki, tidak sah jika dilakukan selain di masjid.[7] 


I’tikaf Boleh Dilakukan di Masjid Mana Saja

Menurut mayoritas ulama, i’tikaf disyari’atkan di semua masjid karena keumuman firman Allah di atas (yang artinya) “Sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”. [8]

Imam Bukhari membawakan Bab dalam kitab Shahihnya, “I’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramdhan dan i’tikaf di seluruh masjid.” Ibnu Hajar menyatakan, “Ayat tersebut (surat Al Baqarah ayat 187) menyebutkan disyaratkannya masjid, tanpa dikhususkan masjid tertentu”[9].[10]

Para ulama selanjutnya berselisih pendapat masjid apakah yang dimaksudkan. Apakah masjid biasa di mana dijalankan shalat jama’ah lima waktu[11] ataukah masjid jaami’ yang diadakan juga shalat jum’at di sana?

Imam Malik mengatakan bahwa i’tikaf boleh dilakukan di masjid mana saja (asal ditegakkan shalat lima waktu di sana, pen) karena keumuman firman Allah Ta’ala,

وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

“sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”(QS. Al Baqarah: 187). Ini juga menjadi pendapat Imam Asy Syafi’i. Namun Imam Asy Syafi’i rahimahullah menambahkan syarat, yaitu masjid tersebut diadakan juga shalat Jum’at.[12] Tujuannya di sini adalah agar ketika pelaksanaan shalat Jum’at, orang yang beri’tikaf tidak perlu keluar dari masjid.

Kenapa disyaratkan di masjid yang ditegakkan shalat jama’ah? Ibnu Qudamah katakan, “Shalat jama’ah itu wajib (bagi laki-laki). Jika seorang laki-laki yang hendak melaksanakan i’tikaf tidak berdiam di masjid yang tidak ditegakkan shalat jama’ah, maka bisa terjadi dua dampak negatif: (1) meninggalkan shalat jama’ah yang hukumnya wajib, dan (2) terus menerus keluar dari tempat i’tikaf padahal seperti ini bisa saja dihindari. Jika semacam ini yang terjadi, maka ini sama saja tidak i’tikaf. Padahal maksud i’tikaf adalah untuk menetap dalam rangka melaksanakan ibadah pada Allah.”[13]


Wanita Boleh Beri’tikaf

Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan istri beliau untuk beri’tikaf. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ ، وَإِذَا صَلَّى الْغَدَاةَ دَخَلَ مَكَانَهُ الَّذِى اعْتَكَفَ فِيهِ – قَالَ – فَاسْتَأْذَنَتْهُ عَائِشَةُ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan. Apabila selesai dari shalat shubuh, beliau masuk ke tempat khusus i’tikaf beliau. Dia (Yahya bin Sa’id) berkata: Kemudian ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha meminta izin untuk bisa beri’tikaf bersama beliau, maka beliau mengizinkannya.”[14]

Dari ‘Aisyah, ia berkata,

أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadhan hingga wafatnya kemudian isteri-isteri beliau pun beri’tikaf setelah kepergian beliau.”[15]

Namun wanita boleh beri’tikaf di masjid asalkan memenuhi 2 syarat: (1) Meminta izin suami dan (2) Tidak menimbulkan fitnah (godaan bagi laki-laki) sehingga wanita yang i’tikaf harus benar-benar menutup aurat dengan sempurna dan juga tidak memakai wewangian.[16]


Lama Waktu Berdiam di Masjid

Para ulama sepakat bahwa i’tikaf tidak ada batasan waktu maksimalnya. Namun mereka berselisih pendapat berapa waktu minimal untuk dikatakan sudah beri’tikaf. [17]

Bagi ulama yang mensyaratkan i’tikaf harus disertai dengan puasa, maka waktu minimalnya adalah sehari. Ulama lainnya mengatakan dibolehkan kurang dari sehari, namun tetap disyaratkan puasa. Imam Malik mensyaratkan minimal sepuluh hari. Imam Malik juga memiliki pendapat lainnya, minimal satu atau dua hari. Sedangkan bagi ulama yang tidak mensyaratkan puasa, maka waktu minimal dikatakan telah beri’tikaf adalah selama ia sudah berdiam di masjid dan di sini tanpa dipersyaratkan harus duduk.[18]

Yang tepat dalam masalah ini, i’tikaf tidak dipersyaratkan untuk puasa, hanya disunnahkan[19]. Menurut mayoritas ulama, i’tikaf tidak ada batasan waktu minimalnya, artinya boleh cuma sesaat di malam atau di siang hari.[20] Al Mardawi rahimahullah mengatakan, “Waktu minimal dikatakan i’tikaf pada i’tikaf yang sunnah atau i’tikaf yang mutlak[21] adalah selama disebut berdiam di masjid (walaupun hanya sesaat).”[22]


Yang Membatalkan I’tikaf

Keluar masjid tanpa alasan syar’i dan tanpa ada kebutuhan yang mubah yang mendesak.
Jima’ (bersetubuh) dengan istri berdasarkan Surat Al Baqarah ayat 187. Ibnul Mundzir telah menukil adanya ijma’ (kesepakatan ulama) bahwa yang dimaksud mubasyaroh dalam surat Al Baqarah ayat 187 adalah jima’ (hubungan intim) [23].


Yang Dibolehkan Ketika I’tikaf

- Keluar masjid disebabkan ada hajat yang mesti ditunaikan seperti keluar untuk makan, minum, dan hajat lain yang tidak bisa dilakukan di dalam masjid.
- Melakukan hal-hal mubah seperti mengantarkan orang yang mengunjunginya sampai pintu masjid atau - bercakap-cakap dengan orang lain.
- Istri mengunjungi suami yang beri’tikaf dan berdua-duaan dengannya.
- Mandi dan berwudhu di masjid.
- Membawa kasur untuk tidur di masjid.


Mulai Masuk dan Keluar Masjid

Jika ingin beri’tikaf selama 10 hari terakhir bulan Ramadhan, maka seorang yang beri’tikaf mulai memasuki masjid setelah shalat Shubuh pada hari ke-21 dan keluar setelah shalat shubuh pada hari ‘Idul Fithri menuju lapangan. 
Hal ini sebagaimana terdapat dalam hadits ‘Aisyah, ia berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ ، وَإِذَا صَلَّى الْغَدَاةَ دَخَلَ مَكَانَهُ الَّذِى اعْتَكَفَ فِيهِ – قَالَ – فَاسْتَأْذَنَتْهُ عَائِشَةُ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan. Apabila selesai dari shalat shubuh, beliau masuk ke tempat khusus i’tikaf beliau. Dia (Yahya bin Sa’id) berkata: Kemudian ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha meminta izin untuk bisa beri’tikaf bersama beliau, maka beliau mengizinkannya.”[24]

Namun para ulama madzhab menganjurkan untuk memasuki masjid menjelang matahari tenggelam pada hari ke-20 Ramadhan. Mereka mengatakan bahwa yang namanya 10 hari yang dimaksudkan adalah jumlah bilangan malam sehingga seharusnya dimulai dari awal malam.


Adab I’tikaf

Hendaknya ketika beri’tikaf, seseorang menyibukkan diri dengan melakukan ketaatan seperti berdo’a, dzikir, bershalawat pada Nabi, mengkaji Al Qur’an dan mengkaji hadits. Dan dimakruhkan menyibukkan diri dengan perkataan dan perbuatan yang tidak bermanfaat.[25]

Keterangan:
[1] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/1699. 
[2] Al Mughni, 4/456. 
[3] HR. Bukhari no. 2044. 
[4] HR. Bukhari no. 2026 dan Muslim no. 1172. 
[5] Latho-if Al Ma’arif, hal. 338 
[6] Fathul Bari, 4/271. 
[7] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/13775. 
[8] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/151. 
[9] Fathul Bari, 4/271. 
[10] Adapun hadits marfu’ dari Hudzaifah yang mengatakan, ”Tidak ada i’tikaf kecuali pada tiga masjid yaitu masjidil harom, masjid nabawi dan masjidil aqsho”; perlu diketahui, hadits ini masih diperselisihkan statusnya, apakah marfu’ (sabda Nabi) atau mauquf (perkataan sahabat). (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/151). Jika melihat perkataan Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah, beliau lebih memilih bahwa hadits tersebut hanyalah perkataan Hudzaifah ibnul Yaman. Lihat Fathul Bari, 4/272. 
[11] Walaupun namanya beraneka ragam di tempat kita, baik dengan sebutan masjid, musholla, langgar, maka itu dinamakan masjid menurut istilah para ulama selama diadakan shalat jama’ah lima waktu di sana untuk kaum muslimin. Ini berarti jika itu musholla rumahan yang bukan tempat ditegakkan shalat lima waktu bagi kaum muslimin lainnya, maka ini tidak masuk dalam istilah masjid. Sedangkan dinamakan masjid Jaami’ jika ditegakkan shalat Jum’at di sana. Lihat penjelasan tentang masjid di Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/13754. 
[12] Lihat Al Mughni, 4/462. 
[13] Al Mugni, 4/461. 
[14] HR. Bukhari no. 2041. 
[15] HR. Bukhari no. 2026 dan Muslim no. 1172. 
[16] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/151-152. 
[17] Lihat Fathul Bari, 4/272. 
[18] Idem. 
[19] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/153. 
[20] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/154. 
[21] I’tikaf mutlak, maksudnya adalah i’tikaf tanpa disebutkan syarat berapa lama. 
[22] Al Inshof, 6/17. 
[23] Fathul Bari, 4/272. 
[24] HR. Bukhari no. 2041. 
[25] Lihat pembahasan I’tikaf di Shahih Fiqh Sunnah, 2/150-158.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal, www.muslim.or.id

Monday, July 22, 2013

Nasehat Untuk Komunitas "HIJABERS" !

Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuuhu,
Belakangan ini marak munculnya sebuah komunitas yg menamakan dirinya "Hijabers". Mulanya kita berpikir, "mungkin inilah saat kebangkitan syariat Islam di negara kita". Dimana wanita mulai berbenah diri, menutup aurat dengan hijab yang otomatis akan berdampak pada perbaikan akhlaq dirinya dan juga masyarakat.

Tetapi sangat teramat disayangkan, ternyata lagi-lagi ini hanya merupakan syubhat syaitan yang disambut dengan baik oleh kalangan wanita. Mereka menisbatkan diri pd suatu kemuliaan (Hijab) tapi pada prakteknya bahkan komunitas ini "Menistakan Kemuliaan Hijab" itu sendiri.

Bisa jadi hal ini terjadi karena kurangnya pengetahuan mereka tentang hakikat dari Hijab itu sendiri.

Hijab Itu ‘Iffah (Kemuliaan), Hijab Itu Kesucian, Hijab Itu Pelindung, Hijab Itu Iman, Hijab Itu Haya’ (Rasa Malu), Hijab Itu Ungkapan Cinta Mahram kepada Saudari/Istrinya, Hijab Itu Adalah Ketaatan Kepada Allah dan Rasul-Nya.

Hakikat Hijab tersebut mendorong pada beberapa konsekuensi yang harus ditaati pada aspek penerapannya, yaitu berupa persyaratan teknis yang mengikat. Persyaratan Hijab itu adalah sebagai berikut:

1. Wajib menutup seluruh anggota tubuh wanita - disunnahkan wajah dan telapak tangan, 
2. Hijab itu sendiri pada dasarnya bukan perhiasan,
3. Tebal dan tidak tipis atau trasparan,
4. Longgar dan tidak sempit / ketat / membentuk lekuk badan, 
5. Tidak menyerupai pakaian wanita-wanita kafir (misal: blazer, dll),
6. Tidak menyerupai pakaian laki-laki (misal: kemeja, celana panjang, dll), 
7. Tidak bermaksud memamerkannya kepada orang-orang.
8. Tidak keluar rumah menggunakan wewangian

Inilah yang dilakukan oleh para istri Rasul dan wanita-wanita mukmin. Dan inilah yang diperintahkan oleh syariat agama Islam yang telah sempurna.

Dari Shofiyah binti Syaibah berkata: “Ketika kami bersama Aisyah radhiyallahu anha, beliau berkata: “Saya teringat akan wanita-wanita Quraisy dan keutamaan mereka.” Aisyah berkata: “Sesungguhnya wanita-wanita Quraisy memiliki keutamaan, dan demi Allah, saya tidak melihat wanita yang lebih percaya kepada kitab Allah dan lebih meyakini ayat-ayat-Nya melebihi wanita-wanita Anshor. Ketika turun kepada mereka ayat: “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya.” (Q.S. An-Nur: 31) Maka para suami segera mendatangi istri-istri mereka dan membacakan apa yang diturunkan Allah kepada mereka. Mereka membacakan ayat itu kepada istri, anak wanita, saudara wanita dan kaum kerabatnya. Dan tidak seorangpun di antara wanita itu kecuali segera berdiri mengambil kain gorden (tirai) dan menutupi kepala dan wajahnya, karena percaya dan iman kepada apa yang diturunkan Allah dalam kitab-Nya. Sehingga mereka (berjalan) di belakang Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam dengan kain penutup seakan-akan di atas kepalanya terdapat burung gagak.”

Allah menafikan keimanan orang yang berpaling dari ketaatan kepada-Nya dan kepada rasul-Nya:“Dan mereka berkata: “Kami telah beriman kepada Allah dan rasul, dan kami menaati (keduanya).” Kemudian sebagian dari mereka berpaling sesudah itu, sekali-kali mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman. Dan apabila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya, agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka, tiba-tiba sebagian dari mereka menolak untuk datang.” (Q.S. An-Nur: 47-48)

Wahai "Komunitas Hijabers", apakah pantas kalian memakai kata "HIJAB" dan menisbatkan diri padanya apabila malah sebagian bahkan hampir semua syarat Hijab kalian langgar?!!

Wassalamualaikum warahmatullah wabarakatuuhu,

oleh: Abi Zam, 13 Ramadhan 1434 H/ 2013 M

Wednesday, July 17, 2013

Panduan Sholat Idul Fitri dan Idul Adha


Idul Fitri bisa memiliki banyak makna bagi tiap-tiap orang. Ada yang memaknai Idul Fitri sebagai hari yang menyenangkan karena tersedianya banyak makanan enak, baju baru, banyaknya hadiah, dan lainnya. Ada lagi yang memaknai Idul Fitri sebagai saat yang paling tepat untuk pulang kampung dan berkumpul bersama handai tolan. Sebagian lagi rela melakukan perjalanan yang cukup jauh untuk mengunjungi tempat-tempat wisata, dan berbagai aktivitas lain yang bisa kita saksikan. Namun barangkali hanya sedikit yang mau untuk memaknai Idul Fitri sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam “memaknainya”.  

Berikut ini sedikit penjelasan tentang bimbingan syariat dalam beridul Fitri.


Definisi Id (Hari Raya)

Ibnu A’rabi mengatakan: “Id1 dinamakan demikian karena setiap tahun terulang dengan kebahagiaan yang baru.” (Al-Lisan hal. 5)
Ibnu Taimiyyah berkata: “Id adalah sebutan untuk sesuatu yang selalu terulang berupa perkumpulan yang bersifat massal, baik tahunan, mingguan atau bulanan.” (dinukil dari Fathul Majid hal. 289 tahqiq Al-Furayyan)

Id dalam Islam adalah Idul Fitri, Idul Adha dan Hari Jum’at.

عَنْ أَنَسٍ قَالَ: قَدِمَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِيْنَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُوْنَ فِيْهِمَا، فَقَالَ: مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ؟ قَالُوا: كُنَّا نَلْعَبُ فِيْهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ اللهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا، يَوْمَ اْلأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ

Dari Anas bin Malik ia berkata: Rasulullah datang ke Madinah dalam keadaan orang-orang Madinah mempunyai 2 hari (raya) yang mereka bermain-main padanya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Apa (yang kalian lakukan) dengan 2 hari itu?” Mereka menjawab: “Kami bermain-main padanya waktu kami masih jahiliyyah.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah telah menggantikannya untuk kalian dengan yang lebih baik dari keduanya, yaitu Idul Adha dan Idul Fitri.” (Shahih, HR. Abu Dawud no. 1004, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani)



Hukum Shalat Id

Ibnu Rajab berkata: “Para ulama berbeda pendapat tentang hukum Shalat Id menjadi 3 pendapat:

Pertama: Shalat Id merupakan amalan Sunnah (ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) yang dianjurkan, seandainya orang-orang meninggalkannya maka tidak berdosa. Ini adalah pendapat Al-Imam Ats-Tsauri dan salah satu riwayat dari Al-Imam Ahmad.

Kedua: Bahwa itu adalah fardhu kifayah, sehingga jika penduduk suatu negeri sepakat untuk tidak melakukannya berarti mereka semua berdosa dan mesti diperangi karena meninggalkannya. Ini yang tampak dari madzhab Al-Imam Ahmad dan pendapat sekelompok orang dari madzhab Hanafi dan Syafi’i.

Ketiga: Wajib ‘ain (atas setiap orang) seperti halnya Shalat Jum’at. Ini pendapat Abu Hanifah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad.

Al-Imam Asy-Syafi’I mengatakan dalam Mukhtashar Al-Muzani: “Barangsiapa memiliki kewajiban untuk mengerjakan Shalat Jum’at, wajib baginya untuk menghadiri shalat 2 hari raya. Dan ini tegas bahwa hal itu wajib ‘ain.” (Diringkas dari Fathul Bari Ibnu Rajab, 6/75-76)
Yang terkuat dari pendapat yang ada –wallahu a’lam– adalah pendapat ketiga dengan dalil berikut:

عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ: أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِي الْفِطْرِ وَاْلأَضْحَى الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ وَذَوَاتِ الْخُدُوْرِ، فَأَمَّا الْحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلاَةَ وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِيْنَ. قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِحْدَانَا لاَ يَكُوْنُ لَهَا جِلْبَابٌ؟ قَالَ: لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا

Dari Ummu ‘Athiyyah ia mengatakan: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk mengajak keluar (kaum wanita) pada (hari raya) Idul Fitri dan Idul Adha yaitu gadis-gadis, wanita yang haid, dan wanita-wanita yang dipingit. Adapun yang haid maka dia menjauhi tempat shalat dan ikut menyaksikan kebaikan dan dakwah muslimin. Aku berkata: “Wahai Rasulullah, salah seorang dari kami tidak memiliki jilbab?” Nabi menjawab: “Hendaknya saudaranya meminjamkan jilbabnya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim, ini lafadz Muslim Kitabul ‘Idain Bab Dzikru Ibahati Khurujinnisa)
Perhatikanlah perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk pergi menuju tempat shalat, sampai-sampai yang tidak punya jilbabpun tidak mendapatkan udzur. Bahkan tetap harus keluar dengan dipinjami jilbab oleh yang lain.

Shiddiq Hasan Khan berkata: “Perintah untuk keluar berarti perintah untuk shalat bagi yang tidak punya udzur… Karena keluarnya (ke tempat shalat) merupakan sarana untuk shalat dan wajibnya sarana tersebut berkonsekuensi wajibnya yang diberi sarana (yakni shalat). Di antara dalil yang menunjukkan wajibnya Shalat Id adalah bahwa Shalat Id menggugurkan Shalat Jum’at bila keduanya bertepatan dalam satu hari. Dan sesuatu yang tidak wajib tidak mungkin menggugurkan suatu kewajiban.” (Ar-Raudhatun Nadiyyah, 1/380 dengan At-Ta’liqat Ar-Radhiyyah. Lihat pula lebih rinci dalam Majmu’ Fatawa, 24/179-186, As-Sailul Jarrar, 1/315, Tamamul Minnah, hal. 344)


Wajibkah Shalat Id Bagi Musafir?

Sebuah pertanyaan telah diajukan kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, yang intinya: Apakah untuk Shalat Id disyaratkan pelakunya seorang yang mukim (tidak sedang bepergian)?

Beliau kemudian menjawab yang intinya: “Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Ada yang mengatakan, disyaratkan mukim. Ada yang mengatakan, tidak disyaratkan mukim.”
Lalu beliau mengatakan: “Yang benar tanpa keraguan, adalah pendapat yang pertama. Yaitu Shalat Id tidak disyariatkan bagi musafir, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak melakukan safar dan melakukan 3 kali umrah selain umrah haji, beliau juga berhaji wada’ dan ribuan manusia menyertai beliau, serta beliau berperang lebih dari 20 peperangan, namun tidak seorangpun menukilkan bahwa dalam safarnya beliau melakukan Shalat Jum’at dan Shalat Id…”
(Majmu’ Fatawa, 24/177-178)

Mandi Sebelum Melakukan Shalat Id

عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يَغْتَسِلُ يَوْمَ الْفِطْرِ قَبْلَ أَنْ يَغْدُوَ إِلَى الْمُصَلَّى

“Dari Malik dari Nafi’, ia berkata bahwa Abdullah bin Umar dahulu mandi pada hari Idul Fitri sebelum pergi ke mushalla (lapangan).” (Shahih, HR. Malik dalam Al-Muwaththa` dan Al-Imam Asy-Syafi’i dari jalannya dalam Al-Umm)
Dalam atsar lain dari Zadzan, seseorang bertanya kepada ‘Ali radhiallahu ‘anhu tentang mandi, maka ‘Ali berkata: “Mandilah setiap hari jika kamu mau.” Ia menjawab: “Tidak, mandi yang itu benar-benar mandi.” Ali radhiallahu ‘anhu berkata: “Hari Jum’at, hari Arafah, hari Idul Adha, dan hari Idul Fitri.” (HR. Al-Baihaqi, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa`, 1-176-177)

Memakai Wewangian

عَنْ مُوْسَى بْنِ عُقْبَةَ عَنْ نَافِعٍ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ يَغْتَسِلُ وَيَتَطَيَّبُ يَوْمَ الْفِطْرِ

“Dari Musa bin ‘Uqbah, dari Nafi’ bahwa Ibnu ‘Umar mandi dan memakai wewangian di hari Idul fitri.” (Riwayat Al-Firyabi dan Abdurrazzaq)
Al-Baghawi berkata: “Disunnahkan untuk mandi di hari Id. Diriwayatkan dari Ali bahwa beliau mandi di hari Id, demikian pula yang sejenis itu dari Ibnu Umar dan Salamah bin Akwa’ dan agar memakai pakaian yang paling bagus yang dia dapati serta agar memakai wewangian.” (Syarhus Sunnah, 4/303)


Memakai Pakaian yang Bagus

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ: أَخَذَ عُمَرُ جُبَّةً مِنْ إِسْتَبْرَقٍ تُبَاعُ فِي السُّوْقِ فَأَخَذَهَا فَأَتَى بِهَا رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ ابْتَعْ هَذِهِ تَجَمَّلْ بِهَا لِلْعِيْدِ وَالْوُفُوْدِ. فَقَالَ لَهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّمَا هَذِهِ لِبَاسُ مَنْ لاَ خَلاَقَ لَهُ

Dari Abdullah bin Umar bahwa Umar mengambil sebuah jubah dari sutera yang dijual di pasar maka dia bawa kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Umar radhiallahu ‘anhu berkata: “Wahai Rasulullah, belilah ini dan berhiaslah dengan pakaian ini untuk hari raya dan menyambut utusan-utusan.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata: “Ini adalah pakaian orang yang tidak akan dapat bagian (di akhirat)….” (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitabul Jum’ah Bab Fil ‘Idain wat Tajammul fihi dan Muslim Kitab Libas Waz Zinah)

Ibnu Rajab berkata: “Hadits ini menunjukkan disyariatkannya berhias untuk hari raya dan bahwa ini perkara yang biasa di antara mereka.” (Fathul Bari)


Makan Sebelum Berangkat Shalat Id

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ تَمَرَاتٍ. وَقَالَ مُرَجَّأُ بْنُ رَجَاءٍ: حَدَّثَنِي عُبَيْدُ اللهِ قَالَ: حَدَّثَنِي أَنَسٌ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيَأْكُلُهُنَّ وِتْرًا

Dari Anas bin Malik ia berkata: Adalah Rasulullah tidak keluar di hari fitri sebelum beliau makan beberapa kurma. Murajja‘ bin Raja‘ berkata: Abdullah berkata kepadaku, ia mengatakan bahwa Anas berkata kepadanya: “Nabi memakannya dalam jumlah ganjil.” (Shahih, HR Al-Bukhari Kitab Al-’Idain Bab Al-Akl Yaumal ‘Idain Qablal Khuruj)

Ibnu Rajab berkata: “Mayoritas ulama menganggap sunnah untuk makan pada Idul Fitri sebelum keluar menuju tempat Shalat Id, di antara mereka ‘Ali dan Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma.”

Di antara hikmah dalam aturan syariat ini, yang disebutkan oleh para ulama adalah:
a. Menyelisihi Ahlul kitab, yang tidak mau makan pada hari raya mereka sampai mereka pulang.
b. Untuk menampakkan perbedaan dengan Ramadhan.
c. Karena sunnahnya Shalat Idul Fitri lebih siang (dibanding Idul Adha) sehingga makan sebelum shalat lebih menenangkan jiwa. Berbeda dengan Shalat Idul Adha, yang sunnah adalah segera dilaksanakan. (lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/89) 


Bertakbir Ketika Keluar Menuju Tempat Shalat

كَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ فَيُكَبِّرُ حَتَّى يَأْتِيَ الْمُصَلَّى وَحَتَّى يَقْضِيَ الصَّلاَةَ، فَإِذَا قَضَى الصَّلاَةَ؛ قَطَعَ التَّكْبِيْرَ

“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar di Hari Raya Idul Fitri lalu beliau bertakbir sampai datang ke tempat shalat dan sampai selesai shalat. Apabila telah selesai shalat beliau memutus takbir.” (Shahih, Mursal Az-Zuhri, diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dengan syawahidnya dalam Ash-Shahihah no. 171)

Asy-Syaikh Al-Albani berkata: “Dalam hadits ini ada dalil disyariatkannya apa yang diamalkan kaum muslimin yaitu bertakbir dengan keras selama perjalanan menuju tempat shalat walaupun banyak di antara mereka mulai menggampangkan sunnah (ajaran) ini, sehingga hampir-hampir menjadi sekedar berita (apa yang dulu terjadi). Hal itu karena lemahnya mental keagamaan mereka dan karena rasa malu untuk menampilkan sunnah serta terang-terangan dengannya. Dan dalam kesempatan ini, amat baik untuk kita ingatkan bahwa mengeraskan takbir di sini tidak disyariatkan padanya berpadu dalam satu suara sebagaimana dilakukan sebagian manusia2…” (Ash-Shahihah: 1 bagian 1 hal. 331)


Lafadz Takbir

Tentang hal ini tidak terdapat riwayat yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam –wallahu a’lam–. Yang ada adalah dari shahabat, dan itu ada beberapa lafadz.
Asy-Syaikh Al-Albani berkata: Telah shahih mengucapkan 2 kali takbir dari shahabat Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu:

أَنَّهُ كَانَ يُكَبِرُ أَيَّامَ التَّشْرِيْقِ: اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهٌ وَاللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ

Bahwa beliau bertakbir di hari-hari tasyriq:

اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهٌ وَاللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ

(HR. Ibnu Abi Syaibah, 2/2/2 dan sanadnya shahih)
Namun Ibnu Abi Syaibah menyebutkan juga di tempat yang lain dengan sanad yang sama dengan takbir tiga kali. Demikian pula diriwayatkan Al-Baihaqi (3/315) dan Yahya bin Sa’id dari Al-Hakam dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, dengan tiga kali takbir. Dalam salah satu riwayat Ibnu ‘Abbas disebutkan:

اللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا اللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا اللهُ أَكْبَرُ وَأَجَلَّ اللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ

(Lihat Irwa`ul Ghalil, 3/125)


Tempat Shalat Id

Banyak ulama menyebutkan bahwa petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalat dua hari raya adalah beliau selalu melakukannya di mushalla. Mushalla yang dimaksud adalah tempat shalat berupa tanah lapang dan bukan masjid, sebagaimana dijelaskan sebagian riwayat hadits berikut ini.

عَنِ الْبَرَاءِ قَالَ: خَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ أَضْحًى إِلَى الْبَقِيْعِ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ وَقَالَ: إِنَّ أَوَّلَ نُسُكِنَا فِي يَوْمِنَا هَذَا أَنْ نَبْدَأَ بِالصَّلاَةِ ثُمَّ نَرْجِعَ فَنَنْحَرَ فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدْ وَافَقَ سُنَّتَنَا

Dari Al-Bara’ Ibnu ‘Azib ia berkata: “Nabi pergi pada hari Idul Adha ke Baqi’ lalu shalat 2 rakaat lalu menghadap kami dengan wajahnya dan mengatakan: ‘Sesungguhnya awal ibadah kita di hari ini adalah dimulai dengan shalat. Lalu kita pulang kemudian menyembelih kurban. Barangsiapa yang sesuai dengan itu berarti telah sesuai dengan sunnah…” (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitab Al-’Idain Bab Istiqbalul Imam An-Nas Fi Khuthbatil ‘Id)

Ibnu Rajab berkata: “Dalam hadits ini dijelaskan bahwa keluarnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan shalatnya adalah di Baqi’, namun bukan yang dimaksud adalah Nabi shalat di kuburan Baqi’. Tapi yang dimaksud adalah bahwa beliau shalat di tempat lapang yang bersambung dengan kuburan Baqi’ dan nama Baqi’ itu meliputi seluruh daerah tersebut. Juga Ibnu Zabalah telah menyebutkan dengan sanadnya bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat Id di luar Madinah sampai di lima tempat, sehingga pada akhirnya shalatnya tetap di tempat yang dikenal (untuk pelaksanaan Id, -pent.). Lalu orang-orang sepeninggal beliau shalat di tempat itu.” (Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/144)

عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَاْلأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى فَأَوَّلُ شَيْءٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلاَةُ ثُمَّ يَنْصَرِفُ فَيَقُوْمُ مُقَابِلَ النَّاسِ وَالنَّاسُ جُلُوْسٌ عَلَى صُفُوْفِهِمْ فَيَعِظُهُمْ وَيُوْصِيْهِمْ وَيَأْمُرُهُمْ فَإِنْ كَانَ يُرِيْدُ أَنْ يَقْطَعَ بَعْثًا قَطَعَهُ أَوْ يَأْمُرَ بِشَيْءٍ أَمَرَ بِهِ ثُمَّ يَنْصَرِفُ

“Dari Abu Sa’id Al-Khudri ia mengatakan: Bahwa Rasulullah dahulu keluar di hari Idul Fitri dan Idhul Adha ke mushalla, yang pertama kali beliau lakukan adalah shalat, lalu berpaling dan kemudian berdiri di hadapan manusia sedang mereka duduk di shaf-shaf mereka. Kemudian beliau menasehati dan memberi wasiat kepada mereka serta memberi perintah kepada mereka. Bila beliau ingin mengutus suatu utusan maka beliau utus, atau ingin memerintahkan sesuatu maka beliau perintahkan, lalu beliau pergi.” (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitab Al-’Idain Bab Al-Khuruj Ilal Mushalla bi Ghairil Mimbar dan Muslim)

Ibnu Hajar menjelaskan: “Al-Mushalla yang dimaksud dalam hadits adalah tempat yang telah dikenal, jarak antara tempat tersebut dengan masjid Nabawi sejauh 1.000 hasta.” 

Ibnul Qayyim berkata: “Yaitu tempat jamaah haji meletakkan barang bawaan mereka.”

Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata: “Nampaknya tempat itu dahulu di sebelah timur masjid Nabawi, dekat dengan kuburan Baqi’…” (dinukil dari Shalatul ‘Idain fil Mushalla Hiya Sunnah karya Asy-Syaikh Al-Albani, hal. 16)



Waktu Pelaksanaan Shalat

يَزِيْدُ بْنُ خُمَيْرٍ الرَّحَبِيُّ قَالَ: خَرَجَ عَبْدُ اللهِ بْنُ بُسْرٍ صَاحِبُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَعَ النَّاسِ فِي يَوْمِ عِيْدِ فِطْرٍ أَوْ أَضْحَى فَأَنْكَرَ إِبْطَاءَ اْلإِمَامِ. فَقَالَ: إِنَّا كُنَّا قَدْ فَرَغْنَا سَاعَتَنَا هَذِهِ وَذَلِكَ حِيْنَ التَّسْبِيْحِ

“Yazid bin Khumair Ar-Rahabi berkata: Abdullah bin Busr, salah seorang shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi bersama orang-orang di Hari Idul Fitri atau Idhul Adha, maka ia mengingkari lambatnya imam. Iapun berkata: ‘Kami dahulu telah selesai pada saat seperti ini.’ Dan itu ketika tasbih.” (Shahih, HR. Al-Bukhari secara mua’llaq, Kitabul ‘Idain Bab At-Tabkir Ilal ‘Id, 2/456, Abu Dawud Kitabush Shalat Bab Waqtul Khuruj Ilal ‘Id: 1135, Ibnu Majah Kitab Iqamatush- shalah was Sunan fiha Bab Fi Waqti Shalatil ’Idain. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud)

Yang dimaksud dengan kata “ketika tasbih” adalah ketika waktu shalat sunnah. Dan itu adalah ketika telah berlalunya waktu yang dibenci shalat padanya. Dalam riwayat yang shahih riwayat Ath-Thabrani yaitu ketika Shalat Sunnah Dhuha.

Ibnu Baththal berkata: “Para ahli fiqih bersepakat bahwa Shalat Id tidak boleh dilakukan sebelum terbitnya matahari atau ketika terbitnya. Shalat Id hanyalah diperbolehkan ketika diperbolehkannya shalat sunnah.” Demikian dijelaskan Ibnu Hajar. (Al-Fath, 2/457)

Namun sebenarnya ada yang berpendapat bahwa awal waktunya adalah bila terbit matahari, walaupun waktu dibencinya shalat belum lewat. Ini pendapat Imam Malik. Adapun pendapat yang lalu, adalah pendapat Abu Hanifah, Ahmad dan salah satu pendapat pengikut Syafi’i. (lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/104)

Namun yang kuat adalah pendapat yang pertama, karena menurut Ibnu Rajab: “Sesungguhnya telah diriwayatkan dari Ibnu Umar, Rafi’ bin Khadij dan sekelompok tabi’in bahwa mereka tidak keluar menuju Shalat Id kecuali bila matahari telah terbit. Bahkan sebagian mereka Shalat Dhuha di masjid sebelum keluar menuju Id. Ini menunjukkan bahwa Shalat Id dahulu dilakukan setelah lewatnya waktu larangan shalat.” (lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/105)


Apakah Waktu Idul Fitri lebih Didahulukan daripada Idul Adha?

Ada dua pendapat:
Pertama, bahwa keduanya dilakukan dalam waktu yang sama.

Kedua, disunnahkan untuk diakhirkan waktu Shalat Idul Fitri dan disegerakan waktu Idul Adha. Itu adalah pendapat Abu Hanifah, Asy-Syafi’i dan Ahmad. Ini yang dikuatkan Ibnu Qayyim, dan beliau mengatakan: “Dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melambatkan Shalat Idul Fitri serta menyegerakan Idul Adha. Dan Ibnu ‘Umar dengan semangatnya untuk mengikuti sunnah tidak keluar sehingga telah terbit matahari dan bertakbir dari rumahnya menuju mushalla.” (Zadul Ma’ad, 1/427, Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/105)

Hikmahnya, dengan melambatkan Shalat Idul Fitri maka semakin meluas waktu yang disunahkan untuk mengeluarkan zakat fitrah; dan dengan menyegerakan Shalat Idul Adha maka semakin luas waktu untuk menyembelih dan tidak memberatkan manusia untuk menahan dari makan sehingga memakan hasil qurban mereka. (lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/105-106)


Tanpa Adzan dan Iqamah

عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ قَالَ: صَلَّيْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِيْدَيْنِ غَيْرَ مَرَّةٍ وَلاَ مَرَّتَيْنِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلاَ إِقَامَةٍ

Dari Jabir bin Samurah ia berkata: “Aku shalat bersama Rasulullah 2 Hari Raya (yakni Idul Fitri dan Idul Adha), bukan hanya 1 atau 2 kali, tanpa adzan dan tanpa iqamah.” (Shahih, HR. Muslim)


عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ وَعَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ اْلأَنْصَارِيِّ قَالاَ: لَمْ يَكُنْ يُؤَذَّنُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَلاَ يَوْمَ اْلأَضْحَى ثُمَّ سَأَلْتُهُ بَعْدَ حِيْنٍ عَنْ ذَلِكَ فَأَخْبَرَنِي قَالَ: أَخْبَرَنِي جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللهِ اْلأَنْصَارِيُّ أَنْ لاَ أَذَانَ لِلصَّلاَةِ يَوْمَ الْفِطْرِ حِيْنَ يَخْرُجُ اْلإِمَامُ وَلاَ بَعْدَ مَا يَخْرُجُ وَلاَ إِقَامَةَ وَلا نِدَاءَ وَلاَ شَيْءَ، لاَ نِدَاءَ يَوْمَئِذٍ وَلاَ إِقَامَةَ

Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma dan Jabir bin Abdillah Al-Anshari keduanya berkata: “Tidak ada adzan pada hari Fitri dan Adha.” Kemudian aku bertanya kepada Ibnu Abbas tentang itu, maka ia mengabarkan kepadaku bahwa Jabir bin Abdillah Al-Anshari mengatakan: “Tidak ada adzan dan iqamah di hari Fitri ketika keluarnya imam, tidak pula setelah keluarnya. Tidak ada iqamah, tidak ada panggilan dan tidak ada apapun, tidak pula iqamah.” (Shahih, HR. Muslim)

Ibnu Rajab berkata: “Tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama dalam hal ini dan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar dan ‘Umar radhiallahu ‘anhuma melakukan Shalat Id tanpa adzan dan iqamah.” Al-Imam Malik berkata: “Itu adalah sunnah yang tiada diperselisihkan menurut kami, dan para ulama sepakat bahwa adzan dan iqamah dalam shalat 2 Hari Raya adalah bid’ah.” (Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/94)


Bagaimana dengan panggilan yang lain semacam: Ash-shalatu Jami’ah?

Al-Imam Asy-Syafi’i dan pengikutnya menganggap hal itu sunnah. Mereka berdalil dengan: 

Pertama: riwayat mursal dari seorang tabi’in yaitu Az-Zuhri.  
Kedua: mengqiyaskannya dengan Shalat Kusuf (gerhana).

Namun pendapat yang kuat bahwa hal itu juga tidak disyariatkan. Adapun riwayat dari Az-Zuhri merupakan riwayat mursal yang tentunya tergolong dha’if (lemah). Sedangkan pengqiyasan dengan Shalat Kusuf tidaklah tepat, dan keduanya memiliki perbedaan. Di antaranya bahwa pada Shalat Kusuf orang-orang masih berpencar sehingga perlu seruan semacam itu, sementara Shalat Id tidak. Bahkan orang-orang sudah menuju tempat shalat dan berkumpul padanya. (Fathul Bari, karya Ibnu Rajab, 6/95)
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullahu berkata: “Qiyas di sini tidak sah, karena adanya nash yang shahih yang menunjukkan bahwa di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk Shalat Id tidak ada adzan dan iqamah atau suatu apapun. Dan dari sini diketahui bahwa panggilan untuk Shalat Id adalah bid’ah, dengan lafadz apapun.” (Ta’liq terhadap Fathul Bari, 2/452)

Ibnu Qayyim berkata: Apabila Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai ke tempat shalat maka mulailah beliau shalat tanpa adzan dan iqamah dan tanpa ucapan “Ash-shalatu Jami’ah”, dan Sunnah Nabi adalah tidak dilakukan sesuatupun dari (panggilan-panggilan) itu. (Zadul Ma’ad, 1/427) 


Kaifiyah (Tata Cara) Shalat Id

Shalat Id dilakukan dua rakaat, pada prinsipnya sama dengan shalat-shalat yang lain. Namun ada sedikit perbedaan yaitu dengan ditambahnya takbir pada rakaat yang pertama 7 kali, dan pada rakaat yang kedua tambah 5 kali takbir selain takbiratul intiqal.
Adapun takbir tambahan pada rakaat pertama dan kedua itu tanpa takbir ruku’, sebagaimana dijelaskan oleh ‘Aisyah dalam riwayatnya:

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَبَّرَ فِي الْفِطْرِ وَاْلأَضْحَى سَبْعًا وَخَمْسًا سِوَى تَكْبِيْرَتَيْ الرُّكُوْعِ

“Dari Aisyah, ia berkata: Rasulullah bertakbir para (shalat) Fitri dan Adha 7 kali dan 5 kali selain 2 takbir ruku’.” (HR. Abu Dawud dalam Kitabush Shalat Bab At-Takbir fil ’Idain. ‘Aunul Ma’bud, 4/10, Ibnu Majah no. 1280, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Abani dalam Shahih Sunan Abu Dawud no. 1149)

Pertanyaan: Apakah pada 5 takbir pada rakaat yang kedua dengan takbiratul intiqal (takbir perpindahan dari sujud menuju berdiri)?
Ibnu Abdil Bar menukilkan kesepakatan para ulama bahwa lima takbir tersebut selain takbiratul intiqal. (Al-Istidzkar, 7/52 dinukil dari Tanwirul ‘Ainain)

Pertanyaan: Tentang 7 takbir pertama, apakah termasuk takbiratul ihram atau tidak?
Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat:
Pertama: Pendapat Al-Imam Malik, Al-Imam Ahmad, Abu Tsaur dan diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma bahwa 7 takbir itu termasuk takbiratul ihram. (lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/178, Aunul Ma’bud, 4/6, Istidzkar, 2/396 cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah)
Kedua: Pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i, bahwa 7 takbir itu tidak termasuk takbiratul ihram. (Al-Umm, 3/234 cet. Dar Qutaibah dan referensi sebelumnya)
 
Nampaknya yang lebih kuat adalah pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i. Hal itu karena ada riwayat yang mendukungnya, yaitu:

عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ جِدِّهِ: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَبَّرَ فِي الْعِيْدَيْنِ اثْنَتَيْ عَشْرَةَ تَكْبِيْرَةً، سَبْعًا فِي اْلأُوْلَى وَخَمْسًا فِي اْلآخِرَةِ سِوَى تَكْبِيْرَتَيِ الصَّلاَةِ

“Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir pada 2 hari raya 12 takbir, 7 pada rakaat yang pertama dan 5 pada rakaat yang terakhir, selain 2 takbir shalat.”(Ini lafadz Ath-Thahawi)
Adapun lafadz Ad-Daruquthni:

سِوَى تَكْبِيْرَةِ اْلإِحْرَامِ

“Selain takbiratul ihram.” (HR. Ath-Thahawi dalam Ma’ani Al-Atsar, 4/343 no. 6744 cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah, Ad-Daruquthni, 2/47-48 no. 20)

Dalam sanad hadits ini ada seorang perawi yang diperselisihkan bernama Abdullah bin Abdurrahman At-Tha‘ifi. Akan tetapi hadits ini dishahihkan oleh Al-Imam Ahmad, ‘Ali Ibnul Madini dan Al-Imam Al-Bukhari sebagaimana dinukilkan oleh At-Tirmidzi. (lihat At-Talkhis, 2/84, tahqiq As-Sayyid Abdullah Hasyim Al-Yamani, At-Ta’liqul Mughni, 2/18 dan Tanwirul ‘Ainain, hal. 158)
Adapun bacaan surat pada 2 rakaat tersebut, semua surat yang ada boleh dan sah untuk dibaca. Akan tetapi dahulu Nabi membaca pada rakaat yang pertama “Sabbihisma” (Surat Al-A’la) dan pada rakaat yang kedua “Hal ataaka” (Surat Al-Ghasyiah). Pernah pula pada rakaat yang pertama Surat Qaf dam kedua Surat Al-Qamar (keduanya riwayat Muslim, lihat Zadul Ma’ad, 1/427-428)


Apakah Mengangkat Tangan di Setiap Takbir Tambahan?

Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Jumhur ulama berpendapat mengangkat tangan.
Sementara salah satu dari pendapat Al-Imam Malik tidak mengangkat tangan, kecuali takbiratul ihram. Ini dikuatkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Tamamul Minnah (hal. 349). Lihat juga Al-Irwa‘ (3/113). Tidak ada riwayat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih dalam hal ini.


Kapan Membaca Doa Istiftah?

Al-Imam Asy-Syafi’i dan jumhur ulama berpendapat setelah takbiratul ihram dan sebelum takbir tambahan. (Al-Umm, 3/234 dan Al-Majmu’, 5/26. Lihat pula Tanwirul ‘Ainain hal. 149)


Khutbah Id

Dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendahulukan shalat sebelum khutbah.

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: شَهِدْتُ الْعِيْدَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ فَكُلُّهُمْ كَانُوا يُصَلُّوْنَ قَبْلَ الْخُطْبَةِ

“Dari Ibnu ‘Abbas ia berkata: Aku mengikuti Shalat Id bersama Rasulullah, Abu Bakr, ‘Umar dan ‘Utsman maka mereka semua shalat dahulu sebelum khutbah.” (Shahih, HR Al-Bukhari Kitab ‘Idain Bab Al-Khutbah Ba’dal Id)

Dalam berkhutbah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri dan menghadap manusia tanpa memakai mimbar, mengingatkan mereka untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bahkan juga beliau mengingatkan kaum wanita secara khusus untuk banyak melakukan shadaqah, karena ternyata kebanyakan penduduk neraka adalah kaum wanita.
Jamaah Id dipersilahkan memilih duduk mendengarkan atau tidak, berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ السَّائِبِ قَالَ: شَهِدْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِيْدَ فَلَمَّا قَضَى الصَّلاَةَ قَالَ: إِنَّا نَخْطُبُ فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَجْلِسَ لِلْخُطْبَةِ فَلْيَجْلِسْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَذْهَبَ فَلْيَذْهَبْ

Dari ‘Abdullah bin Saib ia berkata: Aku menyaksikan bersama Rasulullah Shalat Id, maka ketika beliau selesai shalat, beliau berkata: “Kami berkhutbah, barangsiapa yang ingin duduk untuk mendengarkan khutbah duduklah dan barangsiapa yang ingin pergi maka silahkan.” (Shahih, HR. Abu Dawud dan An-Nasa`i. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud, no. 1155)

Namun alangkah baiknya untuk mendengarkannya bila itu berisi nasehat-nasehat untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan berpegang teguh dengan agama dan Sunnah serta menjauhi bid’ah. Berbeda keadaannya bila mimbar Id berubah menjadi ajang kampanye politik atau mencaci maki pemerintah muslim yang tiada menambah di masyarakat kecuali kekacauan. Wallahu a’lam.


Wanita yang Haid

Wanita yang sedang haid tetap mengikuti acara Shalat Id, walaupun tidak boleh melakukan shalat, bahkan haram dan tidak sah. Ia diperintahkan untuk menjauh dari tempat shalat sebagaimana hadits yang lalu dalam pembahasan hukum Shalat Id.


Sutrah Bagi Imam

Sutrah adalah benda, bisa berupa tembok, tiang, tongkat atau yang lain yang diletakkan di depan orang shalat sebagai pembatas shalatnya, panjangnya kurang lebih 1 hasta. Telah terdapat larangan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melewati orang yang shalat. Dengan sutrah ini, seseorang boleh melewati orang yang shalat dari belakang sutrah dan tidak boleh antara seorang yang shalat dengan sutrah. Sutrah ini disyariatkan untuk imam dan orang yang shalat sendirian atau munfarid. Adapun makmum tidak perlu dan boleh lewat di depan makmum. Ini adalah Sunnah yang mayoritas orang meninggalkannya. Oleh karenanya, marilah kita menghidupkan sunnah ini, termasuk dalam Shalat Id.

عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا خَرَجَ يَوْمَ الْعِيْدِ أَمَرَ بِالْحَرْبَةِ فَتُوْضَعُ بَيْنَ يَدَيْهِ فَيُصَلِّي إِلَيْهَا وَالنَّاسُ وَرَاءَهُ وَكَانَ يَفْعَلُ ذَلِكَ فِي السَّفَرِ فَمِنْ ثَمَّ اتَّخَذَهَا اْلأُمَرَاءُ

“Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu apabila keluar pada hari Id, beliau memerintahkan untuk membawa tombak kecil, lalu ditancapkan di depannya, lalu beliau shalat ke hadapannya, sedang orang-orang di belakangnya. Beliau melakukan hal itu di safarnya dan dari situlah para pimpinan melakukannya juga.” (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitabush Shalat Bab Sutratul Imam Sutrah liman Khalfah dan Kitabul ‘Idain Bab Ash-Shalat Ilal harbah Yaumul Id. Al-Fath, 2/463 dan Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/136)


Bila Masbuq (Tertinggal) Shalat Id, Apa yang Dilakukan?

Al-Imam Al-Bukhari membuat bab dalam Shahih-nya berjudul: “Bila tertinggal shalat Id maka shalat 2 rakaat, demikian pula wanita dan orang-orang yang di rumah dan desa-desa berdasarkan sabda Nabi: ‘Ini adalah Id kita pemeluk Islam’.”
Adalah ‘Atha` (tabi’in) bila ketinggalan Shalat Id beliau shalat dua rakaat.

Bagaimana dengan takbirnya? Menurut Al-Hasan, An-Nakha’i, Malik, Al-Laits, Asy-Syafi’i dan Ahmad dalam satu riwayat, shalat dengan takbir seperti takbir imam. (Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/169)

Pulang dari Shalat Id Melalui Rute Lain saat Berangkat

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ يَوْمُ عِيْدٍ خَالَفَ الطَّرِيْقَ

Dari Jabir, ia berkata: ”Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila di hari Id, beliau mengambil jalan yang berbeda. (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitab Al-’Idain Bab Man Khalafa Thariq Idza Raja’a…, Fathul Bari karya Ibnu Hajar, 2/472986, karya Ibnu Rajab, 6/163 no. 986)

Ibnu Rajab berkata: “Banyak ulama menganggap sunnah bagi imam atau selainnya, bila pergi melalui suatu jalan menuju Shalat Id maka pulang dari jalan yang lainnya. Dan itu adalah pendapat Al-Imam Malik, Ats-Tsauri, Asy-Syafi’i dan Ahmad… Dan seandainya pulang dari jalan itu, maka tidak dimakruhkan.” Para ulama menyebutkan beberapa hikmahnya, di antaranya agar lebih banyak bertemu sesama muslimin untuk memberi salam dan menumbuhkan rasa cinta. (Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/166-167. Lihat pula Zadul Ma’ad, 1/433)


Bila Id Bertepatan dengan Hari Jum’at

عَنْ إِيَاسِ بْنِ أَبِي رَمْلَةَ الشَّامِيِّ قَالَ: شَهِدْتُ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ وَهُوَ يَسْأَلُ زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ قَالَ: أَشَهِدْتَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِيْدَيْنِ اجْتَمَعَا فِي يَوْمٍ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: فَكَيْفَ صَنَعَ؟ قَالَ: صَلَّى الْعِيْدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِي الْجُمُعَةِ، فَقَالَ: مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّيَ فَلْيُصَلِّ

Dari Iyas bin Abi Ramlah Asy-Syami, ia berkata: Aku menyaksikan Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dia sedang bertanya kepada Zaid bin Arqam: “Apakah kamu menyaksikan bersama Rasulullah, dua Id berkumpul dalam satu hari?” Ia menjawab: “Iya.” Mu’awiyah berkata: “Bagaimana yang beliau lakukan?” Ia menjawab: “Beliau Shalat Id lalu memberikan keringanan pada Shalat Jumat dan mengatakan: ‘Barangsiapa yang ingin mengerjakan Shalat Jumat maka shalatlah’.”

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: قَدْ اجْتَمَعَ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا عِيْدَانِ، فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنْ الْجُمُعَةِ وَإِنَّا مُجَمِّعُوْنَ

Dari Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau berkata: “Telah berkumpul pada hari kalian ini 2 Id, maka barangsiapa yang berkehendak, (Shalat Id) telah mencukupinya dari Jum’at dan sesungguhnya kami tetap melaksanakan Jum’at.” (Keduanya diriwayatkan Abu Dawud dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud no. 1070 dan 1073)

Ibnu Taimiyyah berkata: “Pendapat yang ke-3 dan itulah yang benar, bahwa yang ikut Shalat Id maka gugur darinya kewajiban Shalat Jum’at. Akan tetapi bagi imam agar tetap melaksanakan Shalat Jum’at, supaya orang yang ingin mengikuti Shalat Jum’at dan orang yang tidak ikut Shalat Id bisa mengikutinya. Inilah yang diriwayatkan dari Nabi dan para shahabatnya.” (Majmu’ Fatawa, 23/211)

Lalu beliau mengatakan juga bahwa yang tidak Shalat Jum’at maka tetap Shalat Dzuhur.
Ada sebagian ulama yang berpendapat tidak Shalat Dzuhur pula, di antaranya ‘Atha`. Tapi ini pendapat yang lemah dan dibantah oleh para ulama. (Lihat At-Tamhid, 10/270-271)


Ucapan Selamat Saat Hari Raya

Ibnu Hajar mengatakan: “Kami meriwayatkan dalam Al-Muhamiliyyat dengan sanad yang hasan dari Jubair bin Nufair bahwa ia berkata: ‘Para shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila bertemu di hari Id, sebagian mereka mengatakan kepada sebagian yang lain:

تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكَ

“Semoga Allah menerima (amal) dari kami dan dari kamu.” (Lihat pula masalah ini dalam Ahkamul ‘Idain karya Ali Hasan hal. 61, Majmu’ Fatawa, 24/253, Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/167-168)
Wallahu a’lam.

1 ‘Id artinya kembali.
2 Karena Nabi tidak memberi contoh demikian dalam ibadah ini. Lain halnya –wallahu a’lam– bila kebersamaan itu tanpa disengaja.

Tuesday, July 16, 2013

Tanya Jawab Seputar Zakat Fitrah

1. Tanya : Siapa saja yang diwajibkan atasnya untuk mengeluarkan zakat fitrah ?

Jawab : Mengeluarkan zakat fitrah diwajibkan kepada setiap muslim , baik laki-laki ataupun wanita, baik itu yang masih kecil atau telah dewasa, baik bagi yang berpuasa atau yang tidak berpuasa. Sebagaimana seorang yang bersafar atau bepergian yang dia tidak diwajibkan berpuasa, maka mengeluarkan zakat fitrah tetap wajib baginya . Adapun golongan yang mengeluarkan zakat fitrah darinya hukumnya mustahab(disukai), maka para ulama kita telah menjelaskannya yaitu : disukai untuk mengeluarkan zakat fitrah dari janin yang masih diperut ibunya, dan tidak diwajibkan yang demikian.

Seorang yang tidak mengeluarkan zakat fitrah haram hukumnya. Karena dia telah keluar dari apa yang telah Rosulullah wajibkan atasnya, sebagaimana hadits Ibnu Umar : “Bahwasanya Rosulullah mewajibkan zakat fitrah”. Dan sebagai sesuatu hal yang diketahui bahwasanya meninggalkan suatu hal yang diwajibkan haram hukumnya dan termasuk perbuatan dosa dan maksiat. (Syaikh Utsaimin)

2. Tanya : Apakah diperbolehkan memberikan zakat fitrah kepada orang non muslim ?

Jawab : Tidak diperbolehkan memberikan zakat fitrah kecuali kepada orang-orang yang faqir dari kalangan kaum muslimin saja. (Syaikh Utsaimin)

Dan zakat dari harta-harta ynag wajib dikeluarkan padanya zakat tidak boleh dipergunakan untuk pembangunan masjid-masjid, pondok-pondok, perbaikan jalan dll. Tapi hanya diberikan kepada 8 golongan yang disebutkan Allah dalam Q.S.At Taubah : 60

3. Tanya : Saya bermukim di daerah ini untuk bekerja. Apakah boleh bagiku untuk mengeluarkan zakat fitrah di daerah ini ataukah zakat fitrah itu harus dikeluarkan di daerah tempat tinggal asalku ?

Jawab : Disyari’atkan mengeluarkan zakat fitrah di tempat/daerah yang ketika selesainya bulan Ramadhan engkau berada di daerah tersebut.

Hal ini karena zakat fitrah dikeluarkan bersamaan dengan selesainya bulan Ramadhan di suatu daerah. Maka ketika seorang muslim singgah/tinggal di sebuah daerah dan dia mendapati waktu berakhirnya bulan Ramadhan di daerah itu, maka dia mengeluarkan zakat fitrah untuk dirinya di daerah tersebut bagi orang-orang yang fakir.Dan jika seseorang mewakilkan kepada orang lain untuk mengeluarkan zakat fitrah untuk dirinya di daerah asalnya, maka yang demikian diperbolehkan baginya. Akan tetapi ini berbeda dengan keadaan pertama.

Dan jika engkau berada di suatu daerah yang tidak ada kaum muslimin di daerah itu, atau di daerah itu ada kaum muslimin, akan tetapi mereka tidak berhak mendapatkan zakat fitrah karena mereka termasuk orang-orang kaya, maka engkau mengeluarkan zakat fitrah di daerah yang paling dekat dengan daerah itu yang ada orang-orang fakir dari kalangan kaum muslimin di dalamnya.(Syaikh Shalih Fauzan)

4. Tanya : Apakah pembantu rumah tangga wajib mengeluarkan zakat fitrah ?
Jawab : Pembantu rumah tangga wajib mengeluarkan zakat fitrah. Hukum asalnya yang wajib mengeluarkannya adalah pembantu tersebut. Tapi jika majikan yang mengeluarkan zakat fitrah untuk pembantu tersebut maka diperbolehkan . (Syaikh Utsaimin)


5. Tanya : Bolehkah mewakilkan pemberian zakat fitrah kepada teman untuk diberikan kepada orang yang faqir?
 Jawab : Diperbolehkan yang demikian di waktu zakat fitrah dikeluarkan. (Syaikh Utsaimin)


6. Tanya : Apakah diperbolehkan memberikan/mengeluarkan zakat fitrah sebelum hari raya ‘iedul fitr ?

Jawab : Diperbolehkan mengeluarkan zakat fitrah sehari atau dua hari sebelum hari raya ‘iedul fitr. Yang paling afdlal/utama adalah mengeluarkan zakat fitrah pada hari raya ‘iedul fitr sebelum dilaksanakannya shalat ‘ied. Dan tidak diperbolehkan untuk menunda /mengakhirkan pengeluaran zakat fitrah hingga setelah selesainya shalat ‘ied. Hal ini berdasarkan perkataan Ibnu Umar : “Rasulullah memerintahkan agar zakat fitrah ditunaikan/dikeluarkan sebelum keluarnya manusia untuk melaksanakan shalat ‘ied”.

Dan berdasarkan hadits Ibnu Abbas , dari Nabi bahwa beliau bersabda (yang artinya) : “Barang siapa yang menunaikan zakat fitrah sebelum shalai ‘ied maka itu merupakan zakat yang diterima. Dan barang siapa yang menunaikannya setelah shalat ‘ied maka itu adalah shadaqah dari shadaqah-sahadaqah yang ada (tidak dianggap sebagai zakat fitrah)”. (Syaikh Utsaimin)

7. Tanya : Bagaimana hukumnya mengeluarkan beras untuk menunaikan zakat fitrah ?
Jawab : Tidak diragukan lagi tentang hukum bolehnya mengeluarkan beras untuk zakat fitrah. Bahkan bisa kita katakan : bahwa pada zaman kita ini, mengeluarkan beras untuk zakat fitrah itu lebih utama dibandingkan mengeluarkan selain beras dari jenis makanan pokok yang ada.

Hal ini karena beras adalah makanan pokok yang paling banyak dikonsumsi oleh manusia pada zaman ini. Yang menunjukkan bahwa zakat fitrah dikeluarkan dalam bentuk makanan yang paling banyak dikonsumsi oleh manusia adalah hadits Abu Sa’id Al Khudri yang terdapat dalam Shahih Bukhary. Abu Sa’id Al Khudri berkata : “Dahulu kami mengeluarkan zakat fitrah pada hari ‘iedul fitri (sebelum shalat ‘ied) pada masa Nabi berupa satu sho’ dari makanan pokok. Dan adalah makanan pokok kami pada waktu itu berupa gandum, anggur kering, al aqt (makanan dari susu yang diaduk kemudian dikeringkan) , dan kurma.”

Pengkhususan jenis-jenis makanan ini tidak dimaksudkan bahwa zakat fitrah harus dikeluarkan dalam bentuk gandum,anggur kering, al-aqt, ataupun kurma. Akan tetapi karena keberadaan makanan-makanan itulah yang menjadi makanan pokok pada waktu itu.(Syaikh Utsaimin)

Ket : 1 Sho’ beratnya sekitar 2,040 kg gandum.Bila dilebihkan dari ukuran 1 sho’ dengan niat shadaqoh maka boleh hukumnya.

8. Tanya : Apakah diperbolehkan mengeluarkan zakat fitrah dalam bentuk uang tunai ?
Jawab : Zakat fitrah tidak sah jika dikeluarkan dalam bentuk uang tunai. Karena Nabi mewajibkannya dalam bentuk makanan pokok, baik berupa buah kurma, gandum (atau makanan pokok yang lainnya).

Dan Abu Sa’id Al khudri telah berkata : ”Dahulu kami mengeluarkan zakat fitrah pada hari ‘ied (sebelum sholat ‘ied) pada masa nabi berupa satu sho’dari makanan pokok. Dan adalah makanan pokok kami pada waktu itu berupa buah kurma, biji gandum, anggur yang kering, dan al aqt (makanan dari susu yang diaduk kemudian dikeringkan).”

Maka tidak diperbolehkan mengeluarkan zakat fitrah kecuali dengan apa-apa yang diwajibkan oleh Nabi. Dan berdasarkan hadits Nabi dari jalan Ibnu Abbas bahwa beliau (Rosululloh) mewajibkan dikeluarkannya zakat fitrah dalam rangka mensucikan/membersihkan orang yang berpuasa dari perbuatan keji dan sia-sia, dan dalam rangka memberi makan orang-orang miskin. Dan pelaksanaan ibadah tidak boleh melampaui batas-batas syar’i, meskipun hal itu dianggap baik.

Maka ketika nabi mewajibkan zakat fitrah dalam bentuk makanan dalam rangka memberi makan orang -orang miskin, hal ini karena uang tunai tidak bisa langsung dimakan. Uang tunai masih harus dipergunakan untuk memenuhi berbagai kebutuhan baik itu makanan, minuman, pakaian dan selainnya. Kemudian juga jika zakat fitrah dikeluarkan dalam bentuk uang tunai maka akan mudah disembunyikan dan dikorupsi. Hal ini karena kebiasaan orang meletakkan uang di sakunya.

Maka jika seseorang menemukan seorang yang fakir kemudian memberikan zakat fitrah padanya dalam bentuk uang, maka tidak akan terang dan jelas kadarnya bagi keluarga miskin tersebut. Dan jika zakat fitrah dikeluarkan dalam bentuk uang , terkadang seorang salah dalam memperkirakan jumlah uang yang harus dia keluarkan. Terkadang dia mengeluarkan dalam jumlah yang lebih sedikit dari yang seharusnya. Hal yang demikian belum membuat dia terbebas/lepas dari tanggungannya untuk mengeluarkan zakat sesuai kadarnya.

Dan sesungguhnya Rosululloh telah mewajibkan penunaian zakat fitrah dalam bentuk berbagai jenis makanan pokok yang ada, yang bermacam-macam/ berbeda-beda jenisnya dan kadar harganya. Berbeda dengan uang tunai. Kalau sekiranya uang tunai bisa digunakan untuk menunaikan zakat fitrah, maka harus digunakan satu jenis mata uang, atau apa-apa yang sebanding.

Adapun perkataan bahwa uang tunai itu lebih bermanfaat bagi si miskin maka jawabannya adalah: bila si miskin menginginkan uang, maka dia bisa menjual zakat fitrah yang diterimanya tersebut. Adapun muzakky (orang yang mengeluarkan zakat) tetap wajib berzakat fitrah dalam bentuk makanan pokok. (Syaikh Utsaimin)

(Diterjemahkan oleh Al Akh Abu Sulaiman dari Fataawa wa Rasaail Ibnu Utsaimin, dan Majmu‘ Fataawa Syaikh Shalih Fauzan. Muraja’ah Al Ustadz Abu ‘Isa Nurwahid) Sumber : Buletin Da’wah Al-Atsary, Semarang. Edisi 18 / 1427 H)

Saturday, July 13, 2013

Tanya Jawab Seputar Ibadah Ramadhan

Berlebihan dalam Makan dan Tidur di Bulan Ramadhan

Tanya : Kebanyakan manusia di bulan Ramadhan berlebih-lebihan dalam makan dan tidur sehingga mereka bermalas-malasan dan lemas. Sebagaimana mereka begadang di malam hari dan tidur di siang hari. Apa nasehat AsySyaikh untuk mereka?

Jawab : Saya berpendapat bahwa pada hakekatnya ini menyia-nyiakan waktu dan harta. Jika manusia tidak memiliki keinginan kecuali memperbanyak jenis makanan, berlebihan dalam tidur siang hari dan waktu sahur serta melakukan perkara-perkara yang tidak bermanfaat di malam hari maka tidak diragukan lagi ini merupakan penyia-nyiaan kesempatan yang sangat berharga. Bisa jadi kesempatan ini tidak akan didapatkan lagi oleh mereka di masa hidupnya.

Seorang yang cerdik (cerdas) adalah orang yang menjalani bulan Ramadhan untuk hal-hal yang sepantasnya, yaitu dia tidur di awal malam lalu menegakkan shalat tarawih. Dan shalat tarawih tidak memberatkan. Demikian juga tidak berlebihan dalam makan dan minum. Selayaknya bagi orang yang memiliki kemampuan untuk bersemangat dalam memberikan ifthar (buka) kepada orang yang berpuasa, baik itu di masjid ataupun di temapt lain. Sebab orang yang memberikan buka puasa kepada orang yang berpuasa, baginya pahala seperti orang yang berpuasa. Apalagi jika kepada saudara-saudaranya kaum muslimin yang berpuasa. Maka sepantasnya bagi orang-orang yang Allah berikan kemudahan/kelebihan harta untuk betul-betul menggunakan kesempatan ini sehingga dia mendapatkan pahala yang sangat banyak.

Sumber : 48 Soal Jawab tentang Puasa bersama Syaikh Utsaimin-rahimahullah, Penulis : Syaikh Salim bin Muhammad Al-Juhani, Penerbit : Maktabah Al-Ghuroba’ Solo. 


Hukum Puasa Orang yang Sembuh dari Sakitnya

Tanya : Apabila seorang sembuh dari sakitnya yang mana dulu dokter menyatakan bahwa dia tidak mungkin bisa disembuhkan. Dan kesembuhannya ialah setelah berlalu beberapa hari dari bulan Ramadhan (maksudnya ketinggalan puasa beberapa hari karena sakit-red). Apakah ia diperintah (dituntut) untuk mengganti puasa hari yang lalu ketika dia sakit?

Jawab : Jika seseorang berbuka di bulan Ramadhan atau sebagian bulan Ramadhan dikarenakan sakit yang tidak diahrapkan lagi kesembuhannya, mungkin karena kebiasaan atau adanya pernyataan dari dokter yang dipercaya, maka yang wajib atasnya adalah memberi makan setiap harinya satu orang miskin (fidyah, red.AbiZam). Jika ia sudah melakukan ini, lalu Allah takdirkan setelah itu dia sembuh dari sakitnya, maka tak wajib baginya untuk berpuasa karena telah memberi makan orang miskin tersebut, yang demikian itu karena tanggung jawabnya sudah lepas dengan dia memberi makan tersebut sebagai ganti dari puasa.

Apabila tanggung jawabnya telah lepas, maka tak ada kewajiban setelah itu. Dan yang semisal dengan ini apa yang disebutkan oleh para ulama ahlul fiqh tentang seorang yang tak mampu untuk menunaikan kewajiban haji yang mana kelemahannya itu tidak bisa diharapkan untuk hilang (sembuh). Kemudian digantikan oleh orang yang berhaji untuknya lalu setelah itu dia sembuh, maka tidak wajib baginya untuk melakukan kewajiban haji untuk kedua kalinya.
[Sumber : 48 Soal Jawab tentang Puasa bersama Syaikh Utsaimin-rahimahullah, Penulis : Syaikh Salim bin Muhammad Al-Juhani, Penerbit : Maktabah Al-Ghuroba’ Solo]


Hukum Onani di Bulan Ramadhan

Tanya : Apa hukum seorang pemuda yang melakukan onani di bulan Ramadhan dalam keadaan dia tidak mengetahui bahwa perbuatan ini merupakan pembatal puasa dan ketika syahwat bergejolak, sahkah puasanya?

Jawab : Hukumnya ialah tidak apa-apa baginya. Artinya puasanya tetap sah. Karena sebagaimana yang telah kita ketahui sebelumnya bahwa seseorang itu tidaklah batal puasanya kecuali dari tiga syarat :

a. Dia dalam keadaan tahu kalau ini termasuk pembatal puasa
b. Dia ingat dan tidak dalam keadaan lupa
c. Memiliki kemauan (bukan dipaksa-red)


Akan tetapi saya katakan bahwa wajib baginya bersabar untuk tidak melakukan onani karena ia adalah HARAM. Berdasarkan firman Allah :

“Orang-orang yang beriman ialah orang yang menjaga kemaluannya. Kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki. Maka sesungguhnya dalam hal ini tidak tercela. Barangsiapa yang mencari di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas” (QS. Al-Mukminun : 5-7)

Dan juga Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

“Wahai para pemuda, barangsiapa diantara kalian yang mampu untuk menikah maka menikahlah, karena menikah itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Dan barangsiapa yang belum mampu, maka hendaklah ia berpuasa” (HR. Bukhari No. 1905, Muslim 3379)
Jika saja onani itu dibolehkan, niscaya Rasulullah akan membimbing kepada hal yang demikian, karena hal ini sangat mudah bagi para mukallaf dan seorang itu mendapatkan kesenangan. Berbeda dengan berpuasa, padanya terdapat kesusahan. Maka tatkala Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam mengarahkan bagi orang yang tidak mampu menikah, untuk berpuasa.Ini menunjukkan bahwa onani itu suatu yang tidak boleh untuk dilakukan oleh seseorang.

[Sumber : 48 Soal Jawab tentang Puasa bersama Syaikh Utsaimin-rahimahullah, Penulis : Syaikh Salim bin Muhammad Al-Juhani, Penerbit : Maktabah Al-Ghuroba’ Solo.]


Hukum Donor Darah dalam Bulan Ramadhan

Tanya : Apakah mengambil sedikit darah (donor) dengan tujuan sebagai penghalalan atau bersedekah kepada seseorang di siang hari bulan Ramadhan dapat membatalkan puasa atau tidak ?

Jawab : Jika seseorang mengambil sedikit darahnya yang tidak memberikan efek kepada badannya seperti membuat dia lemah, maka ini tidak membatalkan puasanya baik diambil sebagai penghalalan, atau donor untuk seorang yang sakit, atau bersedekah kepada seseorang yang membutuhkan.

Adapun jika darahnya diambil dengan jumlah yang banyak, yang menjadikan badan lemas, maka dia berbuka dengannya (donor itu telah menjadi sebab sehingga dia berbuka/tidak berpuasa lagi-red). Dikiaskan seperti berbekam yang telah datang riwayatnya dari sunnah bahwa berbekam adalah termasuk salah satu dari pembatal-pembatal puasa.

Dengan demikian, maka tidak boleh bagi seseorang untuk menyedekahkan darahnya yang sagat banyak dalam keadaan dia sedang berpuasa wajib, seperti puasa pada bulan Ramadhan. Kecuali jika di sana ada keperluan yang darurat (mendesak), maka dalam keadaan seperti ini boleh baginya untuk menyedekahkan darahnya untuk menolak/mencegah darurat tadi. Dengan demikian dia berbuka dengan makan dan minum. Lalu dia harus mengganti puasanya yang dia tinggalkan/berbuka.

[48 Soal Jawab tentang Puasa bersama Syaikh Utsaimin-rahimahullah, Penulis : Syaikh Salim bin Muhammad Al-Juhani, Penerbit : Maktabah Al-Ghuroba’ Solo]


Shalat Tarawih di Belakang Imam yang Melebihi 11 Rakaat 

Tanya : Jika ada seorang shalat tarawih di belakang imam yang melebihi 11 rakaat, haruskah ia mengikuti shalatnya imam ataukah ia berpaling dari imam setelah ia menyempurnakan 11 rakaat di belakangnya ??

Jawab : Sunnahnya dia tetap mengikuti imam walaupun lebih dari 11 rakaat. Karena jika dia berpaling sebelum selesainya imam dari shalatnya, dia tak mendapatkan pahala qiyamul lailnya. 

Dan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Barangsiapa yang shalat bersama imam sampai imam itu selesai dari shalatnya maka ditulis untuknya pahala shalat lailnya” (HR. Abu Dawud No. 1375, Tirmidzi No. 706 dan dishahihkan oleh AsySyaikh Albani)

Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam menyatakan demikian dalam rangka mendorong kita untuk menjaga agar kita tetap shalat dibelakangnya hingga imam itu selesai. 

Dan juga para shahabat, mereka mengikuti imam. Mereka pada shalat yang di situ imam menambah rakaat dari yang disyariatkan, sebagaimana yang terjadi bersama Amirul Mukminin Utsman bin Affan, ketika beliau menyempurnakan shalat empat rakaat. Dimana pada waktu haji bersama Nabi, kemudian Abu Bakr, ‘Umar, dan Utsman bin Affan pada awal pemerintahannya sampai bertahan delapan tahun, mereka shalat dua rakaat. Kemudian setelah itu mereka (para sahabat) etap mengikuti beliau (Utsman bin Affan) dibelakangnya shalat empat rakaat. Jika demikian petunjuk para shahabat, yang mana mereka adalah orang-orang yang paling bersemangat dalam mengikuti imam, maka bagaimana keadaan sebagian manusia yang mana mereka ketika melihat imam shalat melebihi rakaat yang ditentukan oleh Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam lalu mereka berpaling di tengah-tengah shalat, sebagaimana yang kita saksikan di Masjidil Haram mereka pergi meninggalkan imam dengan alasan bahwa yang disyariatkan adalah 11 rakaat.

[Sumber : 48 Soal Jawab tentang Puasa bersama Syaikh Utsaimin-rahimahullah, Penulis : Syaikh Salim bin Muhammad Al-Juhani, Penerbit : Maktabah Al-Ghuroba’ Solo]


Memerintahkan Anak yang belum Baligh Berpuasa

Tanya : Apakah anak kecil yang belum mencapai usia 15 tahun diperintahkan untuk berpuasa sebagaimana dalam shalat??

Jawab : Ya, anak-anak kecil yang belum mencapai usia baligh diperintahkan untuk berpuasa jika mereka mampu. Sebagaimana hal ini dilakukan oleh para shahabat terhadap anak-anak mereka.

Sungguh para ulama telah mengatakan dengan tegas bahwa seorang pemimpin itu memerintahkan orang yang dibawah kepemimpinannya dari anak-anak kecil untuk berpuasa agar mereka terlatih dan terbiasa serta akan menjadi tabiat (kebiasaan-red) untuk melaksanakan prinsip (dasar) dari agama Islam pada hati-hati mereka.

Akan tetapi jika hal ini memberatkan atau bermudharat kepada mereka, tidak diharuskan bagi mereka untuk melaksanakannya. Dan saya ingin memeberi peringatan terhadap apa yang dilakukan oleh para bapak dan ibu, dimana mereka melarang anak-anak mereka untuk berpuasa. Mereka mengannggap bahwa pelarangan terhadap anak-anak mereka untuk berpuasa merupakan kasih sayang buat mereka dan merasa kasihan. Padahal, hakikatnya mengasihi para anak itu ialah dengan memerintahkan mereka untuk mengerjakan syariat-syariat Islam dan membiasakannya. Karena ini tidak diragukan lagi adalah sebaik-baik mendidik mereka dan sempurna dia dalam mengatur orang yang di bawah pimpinannya (tanggung jawabnya). 
Telah bersabda Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam: 
“Sesungguhnya seseorang itu akan menjadi pemimpin terhadap keluarganya dan akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang dipimpinnya” (HR. Bukhari No. 2409, Muslim No. 1829)

Sepantasnya bagi para pemimpin yaitu orang-orang yang Allah jadikan di sebagai pemimpin terhadap keluarganya dan anak-anak kecil untuk bertakwa (takut) kepada Allah dalam urusan mereka dan hendaklah para pemimpin itu memerintahkan mereka dengan syariat Islam.
[Sumber : 48 Soal Jawab tentang Puasa bersama Syaikh Utsaimin-rahimahullah, Penulis : Syaikh Salim bin Muhammad Al-Juhani, Penerbit : Maktabah Al-Ghuroba’ Solo]


Cara Membayar Fidyah 

Pertanyaan : 
- Apakah membayar fidyah (orang tua yang sudah renta) harus dibayarnya setiap hari selama bulan ramadhan? kapan waktunya?
- Apakah boleh membayar fidyah di akhir bulan ramadhan/sesudah bulan ramadhan dengan sekaligus?
- Dan bolehkah membayar fidyah dalam bentuk uang? mohon dijelaskan dengan dalilnya ya!
Jazakumullahu khairan


Jawaban :
a. Membayar fidyah ada dua cara :
Cara Pertama, dibayar secara satu per satu atau bertahap/dicicil. Dengan syarat dia harus sudah melalui / melewati hari yang ia tidak berpuasa padanya. Gambarannya :

- Dia memberi makan kepada satu orang miskin untuk tiap hari yang ia tinggalkan. Misalnya : Dia tidak berpuasa pada hari ke-3, maka pada maghrib hari ketiga tersebut dia memberi makan satu orang miskin. Berikutnya hari ke-4 dia juga tidak berpuasa, maka pada maghrib hari ke-4 tersebut dia memberi makan satu orang miskin. … dst.

- Atau bisa juga dikumpulkan beberapa hari yang ia tinggalkan. Misalnya dia tidak berpuasa hari ke-10 sampai ke-29. Pada hari ke-15 dia bayar fidyah untuk hari ke-10 sampai ke-15. Kemudian pada hari ke-25 dia bayar fidyah untuk hari ke-16 hingga hari ke-25. Lalu pada hari ke-29 ia bayar fidyah untuk hari ke-26 hingga ke-29.

Cara Kedua, dibayar sekaligus. Yaitu setelah ia melalui semua hari yang ia tidak berpuasa padanya, maka ia mengundang orang miskin sesuai jumlah hari yang ia tinggalkan. Misalnya seseorang tidak berpuasa sebulan penuh. Maka dia memberi makan 30 orang miskin.

Sahabat Anas bin Malik radhiyallah ‘anhu ketika beliau sudah lanjut usia dan tidak mampu lagi berpuasa, maka beliau memberi makan 30 orang miskin. (diriwayatkan oleh Abu Ya’la dalam Musnad-nya no. 4194. Sebagaimana pula diriwayatkan bahwa shahabat Anas bin Malik radhiyallah ‘anhu juga pernah membayar fidyah untuk tiap hari yang beliau tinggalkan. (lihat Fathul Bari VII/180).

* Membayar Fidyah boleh dilakukan ketika masih dalam bulan Ramadhan, boleh juga dilakukan di luar Ramadhan. Ketika di luar Ramadhan, boleh dicicil boleh juga sekaligus.

b. Adapun membayar fidyah dalam bentuk uang, maka hukumnya tidak boleh. Karena dalam nash dalil disebutkan dengan lafazh “memberi makan”. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. (Al-Baqarah : 184)

Seorang ‘ulama ahli fiqh international, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah, ketika ditanya dengan pertanyaan serupa beliau menjawab sebagai berikut :

“Wajib atas kita untuk mengetahui salah satu kaidah penting, yaitu bahwa apa yang Allah sebutkan dengan lafazh “Al-Ith’am” atau “Ath-Tha’am” (memberikan makan) maka harus benar-benar ditunaikan dalam bentuk makanan. …. Jadi jika disebutkan dalam dalil dengan lafazh “Al-Ith’am” atau “Ath-Tha’am” (memberikan makan) maka tidak bisa diwakili/diganti dengan dirham (uang). Oleh karena itu orang yang sudah lanjut usia yang berkewajiban memberi makan sebagai ganti dari puasa (yang ia tinggalkan), maka tidak bisa diganti dalam bentuk uang. Walaupun dia membayar dalam bentuk uang senilai dengan harga makanan sebanyak sepuluh kali, maka itu tidak bisa menggugurkan kewajibannya. Karena itu merupakan perbuatan melanggar ketentuan yang ditetapkan oleh dalil.” (Majmu’ Fatawa wa Rasa`il Ibni ‘Utsaimin XVII/84).

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan :

1. Fidyah untuk orang yang tidak mampu berpuasa boleh dibayarkan setiap hari selama bulan Ramadhan. Waktunya adalah ketika berbuka pada hari yang bersangkutan.
2. Fidyah boleh juga dibayarkan dicicil beberapa hari sekaligus.
3. fidyah boleh juga dibayarkan sekaligus selama satu bulan.
4. Syarat terpenting untuk bisa membayar fidyah adalah sudah terlalui/terlewatinya hari yang ia tidak berpuasa padanya.
5. Sahabat Rasulullah, Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu pernah membayar fidyah dengan satu per satu, pernah juga sekaligus.
6. Bahwa membayar fidyah harus dalam bentuk makanan. Tidak boleh digantikan dalam bentuk uang.
7. Kaidah penting : apa yang Allah sebutkan dengan lafazh “Al-Ith’am” atau “Ath-Tha’am” (memberikan makan) maka harus benar-benar ditunaikan dalam bentuk makanan.
www.kisahrasulnabisahabat.blogspot.com
www.abizam.blogspot.com 
www.kitabhadits9imam.blogspot.com