Idul
 Fitri bisa memiliki banyak makna bagi tiap-tiap orang. Ada yang 
memaknai Idul Fitri sebagai hari yang menyenangkan karena tersedianya 
banyak makanan enak, baju baru, banyaknya hadiah, dan lainnya. Ada lagi 
yang memaknai Idul Fitri sebagai saat yang paling tepat untuk pulang 
kampung dan berkumpul bersama handai tolan. Sebagian lagi rela melakukan
 perjalanan yang cukup jauh untuk mengunjungi tempat-tempat wisata, dan 
berbagai aktivitas lain yang bisa kita saksikan. 
Namun barangkali 
hanya sedikit yang mau untuk memaknai Idul Fitri sebagaimana Rasulullah 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam “memaknainya”.   
Berikut ini sedikit penjelasan tentang bimbingan syariat dalam beridul Fitri. 
Definisi Id (Hari Raya)
Ibnu A’rabi mengatakan: “Id1 dinamakan demikian karena setiap tahun terulang dengan kebahagiaan yang baru.” (Al-Lisan hal. 5)
Ibnu Taimiyyah berkata: “Id
 adalah sebutan untuk sesuatu yang selalu terulang berupa perkumpulan 
yang bersifat massal, baik tahunan, mingguan atau bulanan.” (dinukil dari Fathul Majid hal. 289 tahqiq Al-Furayyan)
Id dalam Islam adalah Idul Fitri, Idul Adha dan Hari Jum’at. 
عَنْ
 أَنَسٍ قَالَ: قَدِمَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ 
الْمَدِيْنَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُوْنَ فِيْهِمَا، فَقَالَ: مَا 
هَذَانِ الْيَوْمَانِ؟ قَالُوا: كُنَّا نَلْعَبُ فِيْهِمَا فِي 
الْجَاهِلِيَّةِ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
 إِنَّ اللهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا، يَوْمَ 
اْلأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ 
Dari
 Anas bin Malik ia berkata: Rasulullah datang ke Madinah dalam keadaan 
orang-orang Madinah mempunyai 2 hari (raya) yang mereka bermain-main 
padanya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Apa (yang 
kalian lakukan) dengan 2 hari itu?” Mereka menjawab: “Kami bermain-main 
padanya waktu kami masih jahiliyyah.” Maka Rasulullah Shallallahu 
‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah telah menggantikannya 
untuk kalian dengan yang lebih baik dari keduanya, yaitu Idul Adha dan 
Idul Fitri.” (Shahih, HR. Abu Dawud no. 1004, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani) 
Hukum Shalat Id
Ibnu Rajab berkata: “Para ulama berbeda pendapat tentang hukum Shalat Id menjadi 3 pendapat:
 
Pertama: Shalat Id merupakan amalan Sunnah
 (ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) yang dianjurkan, 
seandainya orang-orang meninggalkannya maka tidak berdosa. Ini adalah 
pendapat Al-Imam Ats-Tsauri dan salah satu riwayat dari Al-Imam Ahmad.
Kedua: Bahwa itu adalah fardhu kifayah,
 sehingga jika penduduk suatu negeri sepakat untuk tidak melakukannya 
berarti mereka semua berdosa dan mesti diperangi karena meninggalkannya.
 Ini yang tampak dari madzhab Al-Imam Ahmad dan pendapat sekelompok 
orang dari madzhab Hanafi dan Syafi’i.
Ketiga: Wajib ‘ain (atas setiap orang) seperti halnya Shalat Jum’at. Ini pendapat Abu Hanifah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad.
Al-Imam Asy-Syafi’I mengatakan dalam Mukhtashar Al-Muzani: “Barangsiapa
 memiliki kewajiban untuk mengerjakan Shalat Jum’at, wajib baginya untuk
 menghadiri shalat 2 hari raya. Dan ini tegas bahwa hal itu wajib ‘ain.”
 (Diringkas dari Fathul Bari Ibnu Rajab, 6/75-76)
Yang terkuat dari pendapat yang ada –wallahu a’lam– adalah pendapat ketiga dengan dalil berikut: 
عَنْ
 أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ: أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
 وَسَلَّمَ أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِي الْفِطْرِ وَاْلأَضْحَى الْعَوَاتِقَ 
وَالْحُيَّضَ وَذَوَاتِ الْخُدُوْرِ، فَأَمَّا الْحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ 
الصَّلاَةَ وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِيْنَ. قُلْتُ: 
يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِحْدَانَا لاَ يَكُوْنُ لَهَا جِلْبَابٌ؟ قَالَ: 
لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا 
Dari
 Ummu ‘Athiyyah ia mengatakan: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam 
memerintahkan kami untuk mengajak keluar (kaum wanita) pada (hari raya) 
Idul Fitri dan Idul Adha yaitu gadis-gadis, wanita yang haid, dan 
wanita-wanita yang dipingit. Adapun yang haid maka dia menjauhi tempat 
shalat dan ikut menyaksikan kebaikan dan dakwah muslimin. Aku berkata: 
“Wahai Rasulullah, salah seorang dari kami tidak memiliki jilbab?” Nabi 
menjawab: “Hendaknya saudaranya meminjamkan jilbabnya.” (Shahih, HR. 
Al-Bukhari dan Muslim, ini lafadz Muslim Kitabul ‘Idain Bab Dzikru 
Ibahati Khurujinnisa)
Perhatikanlah
 perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk pergi menuju tempat 
shalat, sampai-sampai yang tidak punya jilbabpun tidak mendapatkan 
udzur. Bahkan tetap harus keluar dengan dipinjami jilbab oleh yang lain.
Shiddiq Hasan Khan berkata: “Perintah
 untuk keluar berarti perintah untuk shalat bagi yang tidak punya udzur…
 Karena keluarnya (ke tempat shalat) merupakan sarana untuk shalat dan 
wajibnya sarana tersebut berkonsekuensi wajibnya yang diberi sarana 
(yakni shalat). Di antara dalil yang menunjukkan wajibnya Shalat Id 
adalah bahwa Shalat Id menggugurkan Shalat Jum’at bila keduanya 
bertepatan dalam satu hari. Dan sesuatu yang tidak wajib tidak mungkin 
menggugurkan suatu kewajiban.” (Ar-Raudhatun
 Nadiyyah, 1/380 dengan At-Ta’liqat Ar-Radhiyyah. Lihat pula lebih rinci
 dalam Majmu’ Fatawa, 24/179-186, As-Sailul Jarrar, 1/315, Tamamul 
Minnah, hal. 344) 
Wajibkah Shalat Id Bagi Musafir?
Sebuah pertanyaan telah diajukan kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, yang intinya: Apakah untuk Shalat Id disyaratkan pelakunya seorang yang mukim (tidak sedang bepergian)?
Beliau kemudian menjawab yang intinya: “Ulama
 berbeda pendapat dalam masalah ini. Ada yang mengatakan, disyaratkan 
mukim. Ada yang mengatakan, tidak disyaratkan mukim.”
 Lalu beliau 
mengatakan: “Yang benar tanpa keraguan, adalah pendapat yang pertama. 
Yaitu Shalat Id tidak disyariatkan bagi musafir, karena Rasulullah 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak melakukan safar dan melakukan 3 
kali umrah selain umrah haji, beliau juga berhaji wada’ dan ribuan 
manusia menyertai beliau, serta beliau berperang lebih dari 20 
peperangan, namun tidak seorangpun menukilkan bahwa dalam safarnya 
beliau melakukan Shalat Jum’at dan Shalat Id…” (Majmu’ Fatawa, 24/177-178) 
Mandi Sebelum Melakukan Shalat Id 
عَنْ
 مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يَغْتَسِلُ 
يَوْمَ الْفِطْرِ قَبْلَ أَنْ يَغْدُوَ إِلَى الْمُصَلَّى 
“Dari
 Malik dari Nafi’, ia berkata bahwa Abdullah bin Umar dahulu mandi pada 
hari Idul Fitri sebelum pergi ke mushalla (lapangan).” (Shahih, HR. Malik dalam Al-Muwaththa` dan Al-Imam Asy-Syafi’i dari jalannya dalam Al-Umm)
Dalam atsar lain dari
 Zadzan, seseorang bertanya kepada ‘Ali radhiallahu ‘anhu tentang mandi,
 maka ‘Ali berkata: “Mandilah setiap hari jika kamu mau.” Ia menjawab: 
“Tidak, mandi yang itu benar-benar mandi.” Ali radhiallahu ‘anhu 
berkata: “Hari Jum’at, hari Arafah, hari Idul Adha, dan hari Idul 
Fitri.” (HR. Al-Baihaqi, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa`, 1-176-177) 
Memakai Wewangian 
عَنْ مُوْسَى بْنِ عُقْبَةَ عَنْ نَافِعٍ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ يَغْتَسِلُ وَيَتَطَيَّبُ يَوْمَ الْفِطْرِ 
“Dari Musa bin ‘Uqbah, dari Nafi’ bahwa Ibnu ‘Umar mandi dan memakai wewangian di hari Idul fitri.” (Riwayat Al-Firyabi dan Abdurrazzaq)
Al-Baghawi berkata: “Disunnahkan
 untuk mandi di hari Id. Diriwayatkan dari Ali bahwa beliau mandi di 
hari Id, demikian pula yang sejenis itu dari Ibnu Umar dan Salamah bin 
Akwa’ dan agar memakai pakaian yang paling bagus yang dia dapati serta 
agar memakai wewangian.” (Syarhus Sunnah, 4/303) 
Memakai Pakaian yang Bagus 
عَنْ
 عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ: أَخَذَ عُمَرُ جُبَّةً مِنْ إِسْتَبْرَقٍ
 تُبَاعُ فِي السُّوْقِ فَأَخَذَهَا فَأَتَى بِهَا رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى 
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ ابْتَعْ هَذِهِ 
تَجَمَّلْ بِهَا لِلْعِيْدِ وَالْوُفُوْدِ. فَقَالَ لَهُ رَسُوْلُ اللهِ 
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّمَا هَذِهِ لِبَاسُ مَنْ لاَ 
خَلاَقَ لَهُ 
Dari Abdullah bin 
Umar bahwa Umar mengambil sebuah jubah dari sutera yang dijual di pasar 
maka dia bawa kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Umar
 radhiallahu ‘anhu berkata: “Wahai Rasulullah, belilah ini dan 
berhiaslah dengan pakaian ini untuk hari raya dan menyambut 
utusan-utusan.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata: 
“Ini adalah pakaian orang yang tidak akan dapat bagian (di akhirat)….” (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitabul Jum’ah Bab Fil ‘Idain wat Tajammul fihi dan Muslim Kitab Libas Waz Zinah)
Ibnu Rajab berkata: “Hadits ini menunjukkan disyariatkannya berhias untuk hari raya dan bahwa ini perkara yang biasa di antara mereka.” (Fathul Bari) 
Makan Sebelum Berangkat Shalat Id 
عَنْ
 أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ 
وَسَلَّمَ لاَ يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ تَمَرَاتٍ. 
وَقَالَ مُرَجَّأُ بْنُ رَجَاءٍ: حَدَّثَنِي عُبَيْدُ اللهِ قَالَ: 
حَدَّثَنِي أَنَسٌ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ 
وَيَأْكُلُهُنَّ وِتْرًا 
Dari 
Anas bin Malik ia berkata: Adalah Rasulullah tidak keluar di hari fitri 
sebelum beliau makan beberapa kurma. Murajja‘ bin Raja‘ berkata: 
Abdullah berkata kepadaku, ia mengatakan bahwa Anas berkata kepadanya: 
“Nabi memakannya dalam jumlah ganjil.” (Shahih, HR Al-Bukhari Kitab Al-’Idain Bab Al-Akl Yaumal ‘Idain Qablal Khuruj)
Ibnu
 Rajab berkata: “Mayoritas ulama menganggap sunnah untuk makan pada Idul
 Fitri sebelum keluar menuju tempat Shalat Id, di antara mereka ‘Ali dan
 Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma.”
Di antara hikmah dalam aturan syariat ini, yang disebutkan oleh para ulama adalah:
a. Menyelisihi Ahlul kitab, yang tidak mau makan pada hari raya mereka sampai mereka pulang.
b. Untuk menampakkan perbedaan dengan Ramadhan.
c. Karena sunnahnya Shalat Idul Fitri lebih siang (dibanding Idul Adha) sehingga makan sebelum shalat lebih menenangkan jiwa. Berbeda dengan Shalat Idul Adha, yang sunnah adalah segera dilaksanakan. (lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/89) 
Bertakbir Ketika Keluar Menuju Tempat Shalat 
كَانَ
 صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ فَيُكَبِّرُ 
حَتَّى يَأْتِيَ الْمُصَلَّى وَحَتَّى يَقْضِيَ الصَّلاَةَ، فَإِذَا قَضَى 
الصَّلاَةَ؛ قَطَعَ التَّكْبِيْرَ 
“Adalah
 Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar di Hari Raya Idul Fitri
 lalu beliau bertakbir sampai datang ke tempat shalat dan sampai selesai
 shalat. Apabila telah selesai shalat beliau memutus takbir.” (Shahih,
 Mursal Az-Zuhri, diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dan dishahihkan oleh 
Asy-Syaikh Al-Albani dengan syawahidnya dalam Ash-Shahihah no. 171) 
Asy-Syaikh Al-Albani berkata:
 “Dalam hadits ini ada dalil disyariatkannya apa yang diamalkan kaum 
muslimin yaitu bertakbir dengan keras selama perjalanan menuju tempat 
shalat walaupun banyak di antara mereka mulai menggampangkan sunnah 
(ajaran) ini, sehingga hampir-hampir menjadi sekedar berita (apa yang 
dulu terjadi). Hal itu karena lemahnya mental keagamaan mereka dan 
karena rasa malu untuk menampilkan sunnah serta terang-terangan 
dengannya. Dan dalam kesempatan ini, amat baik untuk kita ingatkan bahwa
 mengeraskan takbir di sini tidak disyariatkan padanya berpadu dalam 
satu suara sebagaimana dilakukan sebagian manusia2…” (Ash-Shahihah: 1 bagian 1 hal. 331) 
Lafadz Takbir
Tentang
 hal ini tidak terdapat riwayat yang shahih dari Nabi Shallallahu 
‘alaihi wa sallam –wallahu a’lam–. Yang ada adalah dari shahabat, dan 
itu ada beberapa lafadz.
Asy-Syaikh Al-Albani berkata: Telah shahih mengucapkan 2 kali takbir dari shahabat Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu: 
أَنَّهُ
 كَانَ يُكَبِرُ أَيَّامَ التَّشْرِيْقِ: اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ 
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهٌ وَاللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ 
الْحَمْدُ 
Bahwa beliau bertakbir di hari-hari tasyriq: 
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهٌ وَاللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ 
(HR. Ibnu Abi Syaibah, 2/2/2 dan sanadnya shahih)
Namun
 Ibnu Abi Syaibah menyebutkan juga di tempat yang lain dengan sanad yang
 sama dengan takbir tiga kali. Demikian pula diriwayatkan Al-Baihaqi 
(3/315) dan Yahya bin Sa’id dari Al-Hakam dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas,
 dengan tiga kali takbir. Dalam salah satu riwayat Ibnu ‘Abbas 
disebutkan: 
اللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا اللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا اللهُ أَكْبَرُ وَأَجَلَّ اللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ 
(Lihat Irwa`ul Ghalil, 3/125) 
Tempat Shalat Id
Banyak
 ulama menyebutkan bahwa petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam 
dalam shalat dua hari raya adalah beliau selalu melakukannya di 
mushalla. Mushalla yang dimaksud adalah tempat shalat berupa tanah lapang dan bukan masjid, sebagaimana dijelaskan sebagian riwayat hadits berikut ini. 
عَنِ
 الْبَرَاءِ قَالَ: خَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ 
يَوْمَ أَضْحًى إِلَى الْبَقِيْعِ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ أَقْبَلَ 
عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ وَقَالَ: إِنَّ أَوَّلَ نُسُكِنَا فِي يَوْمِنَا 
هَذَا أَنْ نَبْدَأَ بِالصَّلاَةِ ثُمَّ نَرْجِعَ فَنَنْحَرَ فَمَنْ فَعَلَ
 ذَلِكَ فَقَدْ وَافَقَ سُنَّتَنَا 
Dari
 Al-Bara’ Ibnu ‘Azib ia berkata: “Nabi pergi pada hari Idul Adha ke 
Baqi’ lalu shalat 2 rakaat lalu menghadap kami dengan wajahnya dan 
mengatakan: ‘Sesungguhnya awal ibadah kita di hari ini adalah dimulai 
dengan shalat. Lalu kita pulang kemudian menyembelih kurban. Barangsiapa
 yang sesuai dengan itu berarti telah sesuai dengan sunnah…” (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitab Al-’Idain Bab Istiqbalul Imam An-Nas Fi Khuthbatil ‘Id)
Ibnu Rajab berkata:
 “Dalam hadits ini dijelaskan bahwa keluarnya Nabi Shallallahu ‘alaihi 
wa sallam dan shalatnya adalah di Baqi’, namun bukan yang dimaksud 
adalah Nabi shalat di kuburan Baqi’. Tapi yang dimaksud adalah bahwa 
beliau shalat di tempat lapang yang bersambung dengan kuburan Baqi’ dan 
nama Baqi’ itu meliputi seluruh daerah tersebut. Juga Ibnu Zabalah telah
 menyebutkan dengan sanadnya bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam 
shalat Id di luar Madinah sampai di lima tempat, sehingga pada akhirnya 
shalatnya tetap di tempat yang dikenal (untuk pelaksanaan Id, -pent.). 
Lalu orang-orang sepeninggal beliau shalat di tempat itu.” (Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/144) 
عَنْ
 أَبِي سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ 
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَاْلأَضْحَى إِلَى 
الْمُصَلَّى فَأَوَّلُ شَيْءٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلاَةُ ثُمَّ يَنْصَرِفُ 
فَيَقُوْمُ مُقَابِلَ النَّاسِ وَالنَّاسُ جُلُوْسٌ عَلَى صُفُوْفِهِمْ 
فَيَعِظُهُمْ وَيُوْصِيْهِمْ وَيَأْمُرُهُمْ فَإِنْ كَانَ يُرِيْدُ أَنْ 
يَقْطَعَ بَعْثًا قَطَعَهُ أَوْ يَأْمُرَ بِشَيْءٍ أَمَرَ بِهِ ثُمَّ 
يَنْصَرِفُ 
“Dari Abu Sa’id 
Al-Khudri ia mengatakan: Bahwa Rasulullah dahulu keluar di hari Idul 
Fitri dan Idhul Adha ke mushalla, yang pertama kali beliau lakukan 
adalah shalat, lalu berpaling dan kemudian berdiri di hadapan manusia 
sedang mereka duduk di shaf-shaf mereka. Kemudian beliau menasehati dan 
memberi wasiat kepada mereka serta memberi perintah kepada mereka. Bila 
beliau ingin mengutus suatu utusan maka beliau utus, atau ingin 
memerintahkan sesuatu maka beliau perintahkan, lalu beliau pergi.” (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitab Al-’Idain Bab Al-Khuruj Ilal Mushalla bi Ghairil Mimbar dan Muslim)
Ibnu Hajar menjelaskan: “Al-Mushalla
 yang dimaksud dalam hadits adalah tempat yang telah dikenal, jarak 
antara tempat tersebut dengan masjid Nabawi sejauh 1.000 hasta.” 
Ibnul Qayyim berkata: “Yaitu tempat jamaah haji meletakkan barang bawaan mereka.”
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata: “Nampaknya tempat itu dahulu di sebelah timur masjid Nabawi, dekat dengan kuburan Baqi’…” (dinukil dari Shalatul ‘Idain fil Mushalla Hiya Sunnah karya Asy-Syaikh Al-Albani, hal. 16) 
Waktu Pelaksanaan Shalat 
يَزِيْدُ
 بْنُ خُمَيْرٍ الرَّحَبِيُّ قَالَ: خَرَجَ عَبْدُ اللهِ بْنُ بُسْرٍ 
صَاحِبُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَعَ النَّاسِ فِي
 يَوْمِ عِيْدِ فِطْرٍ أَوْ أَضْحَى فَأَنْكَرَ إِبْطَاءَ اْلإِمَامِ. 
فَقَالَ: إِنَّا كُنَّا قَدْ فَرَغْنَا سَاعَتَنَا هَذِهِ وَذَلِكَ حِيْنَ 
التَّسْبِيْحِ 
“Yazid bin Khumair
 Ar-Rahabi berkata: Abdullah bin Busr, salah seorang shahabat Nabi 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi bersama orang-orang di Hari Idul 
Fitri atau Idhul Adha, maka ia mengingkari lambatnya imam. Iapun 
berkata: ‘Kami dahulu telah selesai pada saat seperti ini.’ Dan itu 
ketika tasbih.” (Shahih, HR. Al-Bukhari 
secara mua’llaq, Kitabul ‘Idain Bab At-Tabkir Ilal ‘Id, 2/456, Abu Dawud
 Kitabush Shalat Bab Waqtul Khuruj Ilal ‘Id: 1135, Ibnu Majah Kitab 
Iqamatush- shalah was Sunan fiha Bab Fi Waqti Shalatil ’Idain. 
Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud) 
Yang
 dimaksud dengan kata “ketika tasbih” adalah ketika waktu shalat sunnah.
 Dan itu adalah ketika telah berlalunya waktu yang dibenci shalat 
padanya. Dalam riwayat yang shahih riwayat Ath-Thabrani yaitu ketika Shalat Sunnah Dhuha.
Ibnu Baththal berkata: “Para
 ahli fiqih bersepakat bahwa Shalat Id tidak boleh dilakukan sebelum 
terbitnya matahari atau ketika terbitnya. Shalat Id hanyalah 
diperbolehkan ketika diperbolehkannya shalat sunnah.” Demikian 
dijelaskan Ibnu Hajar. (Al-Fath, 2/457)
Namun
 sebenarnya ada yang berpendapat bahwa awal waktunya adalah bila terbit 
matahari, walaupun waktu dibencinya shalat belum lewat. Ini pendapat 
Imam Malik. Adapun pendapat yang lalu, adalah pendapat Abu Hanifah, 
Ahmad dan salah satu pendapat pengikut Syafi’i. (lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/104)
Namun yang kuat adalah pendapat yang pertama, karena menurut Ibnu Rajab: “Sesungguhnya
 telah diriwayatkan dari Ibnu Umar, Rafi’ bin Khadij dan sekelompok 
tabi’in bahwa mereka tidak keluar menuju Shalat Id kecuali bila matahari
 telah terbit. Bahkan sebagian mereka Shalat Dhuha di masjid sebelum 
keluar menuju Id. Ini menunjukkan bahwa Shalat Id dahulu dilakukan 
setelah lewatnya waktu larangan shalat.” (lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/105) 
Apakah Waktu Idul Fitri lebih Didahulukan daripada Idul Adha?
Ada dua pendapat:
Pertama, bahwa keduanya dilakukan dalam waktu yang sama.
Kedua, disunnahkan untuk diakhirkan waktu Shalat Idul Fitri dan disegerakan waktu Idul Adha. Itu adalah pendapat Abu Hanifah, Asy-Syafi’i dan Ahmad. Ini yang dikuatkan Ibnu Qayyim, dan beliau mengatakan: “Dahulu
 Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melambatkan Shalat Idul Fitri serta 
menyegerakan Idul Adha. Dan Ibnu ‘Umar dengan semangatnya untuk 
mengikuti sunnah tidak keluar sehingga telah terbit matahari dan 
bertakbir dari rumahnya menuju mushalla.” (Zadul Ma’ad, 1/427, Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/105)
Hikmahnya,
 dengan melambatkan Shalat Idul Fitri maka semakin meluas waktu yang 
disunahkan untuk mengeluarkan zakat fitrah; dan dengan menyegerakan 
Shalat Idul Adha maka semakin luas waktu untuk menyembelih dan tidak 
memberatkan manusia untuk menahan dari makan sehingga memakan hasil 
qurban mereka. (lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/105-106) 
Tanpa Adzan dan Iqamah 
عَنْ
 جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ قَالَ: صَلَّيْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ
 عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِيْدَيْنِ غَيْرَ مَرَّةٍ وَلاَ مَرَّتَيْنِ 
بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلاَ إِقَامَةٍ 
Dari
 Jabir bin Samurah ia berkata: “Aku shalat bersama Rasulullah 2 Hari 
Raya (yakni Idul Fitri dan Idul Adha), bukan hanya 1 atau 2 kali, tanpa 
adzan dan tanpa iqamah.” (Shahih, HR. Muslim) 
عَنِ
 ابْنِ عَبَّاسٍ وَعَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ اْلأَنْصَارِيِّ قَالاَ:
 لَمْ يَكُنْ يُؤَذَّنُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَلاَ يَوْمَ اْلأَضْحَى ثُمَّ 
سَأَلْتُهُ بَعْدَ حِيْنٍ عَنْ ذَلِكَ فَأَخْبَرَنِي قَالَ: أَخْبَرَنِي 
جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللهِ اْلأَنْصَارِيُّ أَنْ لاَ أَذَانَ لِلصَّلاَةِ 
يَوْمَ الْفِطْرِ حِيْنَ يَخْرُجُ اْلإِمَامُ وَلاَ بَعْدَ مَا يَخْرُجُ 
وَلاَ إِقَامَةَ وَلا نِدَاءَ وَلاَ شَيْءَ، لاَ نِدَاءَ يَوْمَئِذٍ وَلاَ 
إِقَامَةَ 
Dari Ibnu Abbas 
radhiallahu ‘anhuma dan Jabir bin Abdillah Al-Anshari keduanya berkata: 
“Tidak ada adzan pada hari Fitri dan Adha.” Kemudian aku bertanya kepada
 Ibnu Abbas tentang itu, maka ia mengabarkan kepadaku bahwa Jabir bin 
Abdillah Al-Anshari mengatakan: “Tidak ada adzan dan iqamah di hari 
Fitri ketika keluarnya imam, tidak pula setelah keluarnya. Tidak ada 
iqamah, tidak ada panggilan dan tidak ada apapun, tidak pula iqamah.” (Shahih, HR. Muslim)
Ibnu Rajab berkata: “Tidak
 ada perbedaan pendapat di antara ulama dalam hal ini dan bahwa Nabi 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar dan ‘Umar radhiallahu ‘anhuma 
melakukan Shalat Id tanpa adzan dan iqamah.” Al-Imam Malik berkata: “Itu
 adalah sunnah yang tiada diperselisihkan menurut kami, dan para ulama 
sepakat bahwa adzan dan iqamah dalam shalat 2 Hari Raya adalah bid’ah.” (Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/94)
Bagaimana dengan panggilan yang lain semacam: Ash-shalatu Jami’ah?
Al-Imam Asy-Syafi’i dan pengikutnya menganggap hal itu sunnah. Mereka berdalil dengan: 
Pertama: riwayat mursal dari seorang tabi’in yaitu Az-Zuhri.  
Kedua: mengqiyaskannya dengan Shalat Kusuf (gerhana).
Namun pendapat yang kuat bahwa hal itu juga tidak disyariatkan.
 Adapun riwayat dari Az-Zuhri merupakan riwayat mursal yang tentunya 
tergolong dha’if (lemah). Sedangkan pengqiyasan dengan Shalat Kusuf 
tidaklah tepat, dan keduanya memiliki perbedaan. Di antaranya bahwa pada
 Shalat Kusuf orang-orang masih berpencar sehingga perlu seruan semacam 
itu, sementara Shalat Id tidak. Bahkan orang-orang sudah menuju tempat 
shalat dan berkumpul padanya. (Fathul Bari, karya Ibnu Rajab, 6/95)
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullahu berkata: “Qiyas
 di sini tidak sah, karena adanya nash yang shahih yang menunjukkan 
bahwa di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk Shalat Id tidak 
ada adzan dan iqamah atau suatu apapun. Dan dari sini diketahui bahwa 
panggilan untuk Shalat Id adalah bid’ah, dengan lafadz apapun.” (Ta’liq terhadap Fathul Bari, 2/452)
Ibnu Qayyim berkata: Apabila
 Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai ke tempat shalat maka 
mulailah beliau shalat tanpa adzan dan iqamah dan tanpa ucapan 
“Ash-shalatu Jami’ah”, dan Sunnah Nabi adalah tidak dilakukan sesuatupun
 dari (panggilan-panggilan) itu. (Zadul Ma’ad, 1/427) 
Kaifiyah (Tata Cara) Shalat Id 
Shalat
 Id dilakukan dua rakaat, pada prinsipnya sama dengan shalat-shalat yang
 lain. Namun ada sedikit perbedaan yaitu dengan ditambahnya takbir pada 
rakaat yang pertama 7 kali, dan pada rakaat yang kedua tambah 5 kali 
takbir selain takbiratul intiqal.
Adapun
 takbir tambahan pada rakaat pertama dan kedua itu tanpa takbir ruku’, 
sebagaimana dijelaskan oleh ‘Aisyah dalam riwayatnya: 
عَنْ
 عَائِشَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَبَّرَ 
فِي الْفِطْرِ وَاْلأَضْحَى سَبْعًا وَخَمْسًا سِوَى تَكْبِيْرَتَيْ 
الرُّكُوْعِ 
“Dari Aisyah, ia berkata: Rasulullah bertakbir para (shalat) Fitri dan Adha 7 kali dan 5 kali selain 2 takbir ruku’.” (HR.
 Abu Dawud dalam Kitabush Shalat Bab At-Takbir fil ’Idain. ‘Aunul 
Ma’bud, 4/10, Ibnu Majah no. 1280, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Abani 
dalam Shahih Sunan Abu Dawud no. 1149)
Pertanyaan: Apakah pada 5 takbir pada rakaat yang kedua dengan takbiratul intiqal (takbir perpindahan dari sujud menuju berdiri)?
Ibnu Abdil Bar menukilkan kesepakatan para ulama bahwa lima takbir tersebut selain takbiratul intiqal. (Al-Istidzkar, 7/52 dinukil dari Tanwirul ‘Ainain) 
Pertanyaan: Tentang 7 takbir pertama, apakah termasuk takbiratul ihram atau tidak?
Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat:
Pertama: Pendapat
 Al-Imam Malik, Al-Imam Ahmad, Abu Tsaur dan diriwayatkan dari Ibnu 
‘Abbas radhiallahu ‘anhuma bahwa 7 takbir itu termasuk takbiratul ihram.
 (lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/178, Aunul Ma’bud, 4/6, Istidzkar, 2/396 cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah)
Kedua: Pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i, bahwa 7 takbir itu tidak termasuk takbiratul ihram. (Al-Umm, 3/234 cet. Dar Qutaibah dan referensi sebelumnya)
 
Nampaknya yang lebih kuat adalah pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i. Hal itu karena ada riwayat yang mendukungnya, yaitu: 
عَنْ
 عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ جِدِّهِ: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ 
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَبَّرَ فِي الْعِيْدَيْنِ اثْنَتَيْ 
عَشْرَةَ تَكْبِيْرَةً، سَبْعًا فِي اْلأُوْلَى وَخَمْسًا فِي اْلآخِرَةِ 
سِوَى تَكْبِيْرَتَيِ الصَّلاَةِ 
“Dari
 ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Rasulullah 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir pada 2 hari raya 12 takbir, 7 
pada rakaat yang pertama dan 5 pada rakaat yang terakhir, selain 2 
takbir shalat.”(Ini lafadz Ath-Thahawi)
Adapun lafadz Ad-Daruquthni: 
سِوَى تَكْبِيْرَةِ اْلإِحْرَامِ 
“Selain takbiratul ihram.” (HR. Ath-Thahawi dalam Ma’ani Al-Atsar, 4/343 no. 6744 cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah, Ad-Daruquthni, 2/47-48 no. 20)
Dalam
 sanad hadits ini ada seorang perawi yang diperselisihkan bernama 
Abdullah bin Abdurrahman At-Tha‘ifi. Akan tetapi hadits ini dishahihkan 
oleh Al-Imam Ahmad, ‘Ali Ibnul Madini dan Al-Imam Al-Bukhari sebagaimana
 dinukilkan oleh At-Tirmidzi. (lihat At-Talkhis, 2/84, tahqiq As-Sayyid 
Abdullah Hasyim Al-Yamani, At-Ta’liqul Mughni, 2/18 dan Tanwirul 
‘Ainain, hal. 158)
Adapun bacaan surat pada 2 rakaat tersebut, 
semua surat yang ada boleh dan sah untuk dibaca. Akan tetapi dahulu Nabi
 membaca pada rakaat yang pertama “Sabbihisma” (Surat Al-A’la) dan pada 
rakaat yang kedua “Hal ataaka” (Surat Al-Ghasyiah). Pernah pula pada 
rakaat yang pertama Surat Qaf dam kedua Surat Al-Qamar (keduanya riwayat
 Muslim, lihat Zadul Ma’ad, 1/427-428) 
Apakah Mengangkat Tangan di Setiap Takbir Tambahan?
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Jumhur ulama berpendapat mengangkat tangan.
Sementara
 salah satu dari pendapat Al-Imam Malik tidak mengangkat tangan, kecuali
 takbiratul ihram. Ini dikuatkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Tamamul Minnah (hal. 349). Lihat juga Al-Irwa‘ (3/113). Tidak ada riwayat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih dalam hal ini. 
Kapan Membaca Doa Istiftah?
Al-Imam Asy-Syafi’i dan jumhur ulama berpendapat setelah takbiratul ihram dan sebelum takbir tambahan. (Al-Umm, 3/234 dan Al-Majmu’, 5/26. Lihat pula Tanwirul ‘Ainain hal. 149) 
Khutbah Id
Dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendahulukan shalat sebelum khutbah. 
عَنْ
 ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: شَهِدْتُ الْعِيْدَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى 
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ رَضِيَ 
اللهُ عَنْهُمْ فَكُلُّهُمْ كَانُوا يُصَلُّوْنَ قَبْلَ الْخُطْبَةِ 
“Dari
 Ibnu ‘Abbas ia berkata: Aku mengikuti Shalat Id bersama Rasulullah, Abu
 Bakr, ‘Umar dan ‘Utsman maka mereka semua shalat dahulu sebelum 
khutbah.” (Shahih, HR Al-Bukhari Kitab ‘Idain Bab Al-Khutbah Ba’dal Id)
Dalam berkhutbah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri dan menghadap manusia tanpa memakai mimbar,
 mengingatkan mereka untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. 
Bahkan juga beliau mengingatkan kaum wanita secara khusus untuk banyak 
melakukan shadaqah, karena ternyata kebanyakan penduduk neraka adalah 
kaum wanita.
Jamaah Id dipersilahkan memilih duduk mendengarkan atau tidak, berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: 
عَنْ
 عَبْدِ اللهِ بْنِ السَّائِبِ قَالَ: شَهِدْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى
 اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِيْدَ فَلَمَّا قَضَى الصَّلاَةَ قَالَ: 
إِنَّا نَخْطُبُ فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَجْلِسَ لِلْخُطْبَةِ فَلْيَجْلِسْ 
وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَذْهَبَ فَلْيَذْهَبْ 
Dari 
‘Abdullah bin Saib ia berkata: Aku menyaksikan bersama Rasulullah Shalat
 Id, maka ketika beliau selesai shalat, beliau berkata:
 “Kami berkhutbah, barangsiapa yang ingin duduk untuk mendengarkan 
khutbah duduklah dan barangsiapa yang ingin pergi maka silahkan.” (Shahih, HR. Abu Dawud dan An-Nasa`i. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud, no. 1155)
Namun
 alangkah baiknya untuk mendengarkannya bila itu berisi nasehat-nasehat 
untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan berpegang teguh 
dengan agama dan Sunnah serta menjauhi bid’ah. Berbeda keadaannya bila 
mimbar Id berubah menjadi ajang kampanye politik atau mencaci maki 
pemerintah muslim yang tiada menambah di masyarakat kecuali kekacauan. 
Wallahu a’lam. 
Wanita yang Haid
Wanita yang sedang haid tetap mengikuti acara Shalat Id, walaupun tidak boleh melakukan shalat, bahkan haram dan tidak sah. Ia diperintahkan untuk menjauh dari tempat shalat sebagaimana hadits yang lalu dalam pembahasan hukum Shalat Id. 
Sutrah Bagi Imam
Sutrah
 adalah benda, bisa berupa tembok, tiang, tongkat atau yang lain yang 
diletakkan di depan orang shalat sebagai pembatas shalatnya, panjangnya 
kurang lebih 1 hasta. Telah terdapat larangan dari Nabi 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melewati orang yang shalat. Dengan 
sutrah ini, seseorang boleh melewati orang yang shalat dari belakang 
sutrah dan tidak boleh antara seorang yang shalat dengan sutrah. Sutrah 
ini disyariatkan untuk imam dan orang yang shalat sendirian atau 
munfarid. Adapun makmum tidak perlu dan boleh lewat di depan makmum. Ini
 adalah Sunnah yang mayoritas orang meninggalkannya. Oleh karenanya, 
marilah kita menghidupkan sunnah ini, termasuk dalam Shalat Id. 
عَنِ
 ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ
 إِذَا خَرَجَ يَوْمَ الْعِيْدِ أَمَرَ بِالْحَرْبَةِ فَتُوْضَعُ بَيْنَ 
يَدَيْهِ فَيُصَلِّي إِلَيْهَا وَالنَّاسُ وَرَاءَهُ وَكَانَ يَفْعَلُ 
ذَلِكَ فِي السَّفَرِ فَمِنْ ثَمَّ اتَّخَذَهَا اْلأُمَرَاءُ 
“Dari
 Ibnu Umar bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu apabila
 keluar pada hari Id, beliau memerintahkan untuk membawa tombak kecil, 
lalu ditancapkan di depannya, lalu beliau shalat ke hadapannya, sedang 
orang-orang di belakangnya. Beliau melakukan hal itu di safarnya dan 
dari situlah para pimpinan melakukannya juga.” (Shahih,
 HR. Al-Bukhari Kitabush Shalat Bab Sutratul Imam Sutrah liman Khalfah 
dan Kitabul ‘Idain Bab Ash-Shalat Ilal harbah Yaumul Id. Al-Fath, 2/463 
dan Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/136) 
Bila Masbuq (Tertinggal) Shalat Id, Apa yang Dilakukan?
Al-Imam Al-Bukhari membuat bab dalam Shahih-nya berjudul: “Bila tertinggal shalat Id maka shalat 2 rakaat, demikian pula wanita dan orang-orang yang di rumah dan desa-desa berdasarkan sabda Nabi: ‘Ini adalah Id kita pemeluk Islam’.”
Adalah ‘Atha` (tabi’in) bila ketinggalan Shalat Id beliau shalat dua rakaat.
Bagaimana
 dengan takbirnya? Menurut Al-Hasan, An-Nakha’i, Malik, Al-Laits, 
Asy-Syafi’i dan Ahmad dalam satu riwayat, shalat dengan takbir seperti 
takbir imam. (Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/169) 
Pulang dari Shalat Id Melalui Rute Lain saat Berangkat 
عَنْ
 جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: كَانَ 
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ يَوْمُ عِيْدٍ 
خَالَفَ الطَّرِيْقَ 
Dari Jabir, ia berkata: ”Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila di hari Id, beliau mengambil jalan yang berbeda. (Shahih,
 HR. Al-Bukhari Kitab Al-’Idain Bab Man Khalafa Thariq Idza Raja’a…, 
Fathul Bari karya Ibnu Hajar, 2/472986, karya Ibnu Rajab, 6/163 no. 986)
Ibnu Rajab berkata: “Banyak
 ulama menganggap sunnah bagi imam atau selainnya, bila pergi melalui 
suatu jalan menuju Shalat Id maka pulang dari jalan yang lainnya. Dan 
itu adalah pendapat Al-Imam Malik, Ats-Tsauri, Asy-Syafi’i dan Ahmad… 
Dan seandainya pulang dari jalan itu, maka tidak dimakruhkan.” 
Para ulama menyebutkan beberapa hikmahnya, di antaranya agar lebih 
banyak bertemu sesama muslimin untuk memberi salam dan menumbuhkan rasa 
cinta. (Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/166-167. Lihat pula Zadul Ma’ad, 1/433) 
Bila Id Bertepatan dengan Hari Jum’at 
عَنْ
 إِيَاسِ بْنِ أَبِي رَمْلَةَ الشَّامِيِّ قَالَ: شَهِدْتُ مُعَاوِيَةَ 
بْنَ أَبِي سُفْيَانَ وَهُوَ يَسْأَلُ زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ قَالَ: 
أَشَهِدْتَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ 
عِيْدَيْنِ اجْتَمَعَا فِي يَوْمٍ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: فَكَيْفَ صَنَعَ؟
 قَالَ: صَلَّى الْعِيْدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِي الْجُمُعَةِ، فَقَالَ: مَنْ 
شَاءَ أَنْ يُصَلِّيَ فَلْيُصَلِّ 
Dari Iyas bin Abi Ramlah Asy-Syami, ia berkata: Aku
 menyaksikan Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dia sedang bertanya kepada Zaid 
bin Arqam: “Apakah kamu menyaksikan bersama Rasulullah, dua Id berkumpul
 dalam satu hari?” Ia menjawab: “Iya.” Mu’awiyah berkata: “Bagaimana 
yang beliau lakukan?” Ia menjawab: “Beliau Shalat Id lalu memberikan 
keringanan pada Shalat Jumat dan mengatakan: ‘Barangsiapa yang ingin 
mengerjakan Shalat Jumat maka shalatlah’.” 
عَنْ
 أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ 
أَنَّهُ قَالَ: قَدْ اجْتَمَعَ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا عِيْدَانِ، فَمَنْ 
شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنْ الْجُمُعَةِ وَإِنَّا مُجَمِّعُوْنَ 
Dari Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau berkata: “Telah
 berkumpul pada hari kalian ini 2 Id, maka barangsiapa yang berkehendak,
 (Shalat Id) telah mencukupinya dari Jum’at dan sesungguhnya kami tetap 
melaksanakan Jum’at.” (Keduanya diriwayatkan Abu Dawud dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud no. 1070 dan 1073)
Ibnu Taimiyyah berkata: “Pendapat
 yang ke-3 dan itulah yang benar, bahwa yang ikut Shalat Id maka gugur 
darinya kewajiban Shalat Jum’at. Akan tetapi bagi imam agar tetap 
melaksanakan Shalat Jum’at, supaya orang yang ingin mengikuti Shalat 
Jum’at dan orang yang tidak ikut Shalat Id bisa mengikutinya. Inilah 
yang diriwayatkan dari Nabi dan para shahabatnya.” (Majmu’ Fatawa, 23/211)
Lalu beliau mengatakan juga bahwa yang tidak Shalat Jum’at maka tetap Shalat Dzuhur.
Ada
 sebagian ulama yang berpendapat tidak Shalat Dzuhur pula, di antaranya 
‘Atha`. Tapi ini pendapat yang lemah dan dibantah oleh para ulama. (Lihat At-Tamhid, 10/270-271) 
Ucapan Selamat Saat Hari Raya
Ibnu
 Hajar mengatakan: “Kami meriwayatkan dalam Al-Muhamiliyyat dengan sanad
 yang hasan dari Jubair bin Nufair bahwa ia berkata: ‘Para shahabat Nabi
 Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila bertemu di hari Id, sebagian mereka 
mengatakan kepada sebagian yang lain: 
تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكَ 
“Semoga Allah menerima (amal) dari kami dan dari kamu.” (Lihat
 pula masalah ini dalam Ahkamul ‘Idain karya Ali Hasan hal. 61, Majmu’ 
Fatawa, 24/253, Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/167-168)
Wallahu a’lam. 
1 ‘Id artinya kembali.
2 Karena Nabi tidak memberi contoh demikian dalam ibadah ini. Lain halnya –wallahu a’lam– bila kebersamaan itu tanpa disengaja.