Manusia dilahirkan dalam keadaan jahil (bodoh), kedua orangtua, dan lingkungannya yang menjadikan ia seorang kafir atau seorang muslim. Allah dengan sifatnya yang Maha Adil lebih mengetahui siapa saja yang pantas menjadi seorang muslim dan siapa saja yang pantas masuk ke dalam golongan orang-orang yang durhaka.
Sebagai manusia yang telah Allah beri nikmat Islam dan menjadi seorang muslim, maka adalah suatu kewajiban untuk bersyukur atas nikmat tiada tara tersebut. Menuntut ilmu agama adalah perwujudan dari rasa syukur atas nikmat Islam yang telah Allah anugerahkan kepada kita.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Dunia itu terlaknat dan segala yang terkandung di dalamnya pun terlaknat, kecuali orang yang berdzikir kepada Allah, yang melakukan ketaatan kepada-Nya, seorang ‘alim atau penuntut ilmu syar’i.” [HR. Tirmidzi, Ibnu Majah. Dalam Shohihul Jami’, Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini hasan]
Sesungguhnya syaitan tidak suka pada seorang hamba yang menjalankan ketaatan kepada Allah. Seorang penuntut ilmu agama ibarat pejuang yang sangat berpotensi menjadi musuh besar dalam memerangi syaitan dan pasukannya. Penuntut ilmu bagaikan tabib yang membawa penawar racun dimana iblis dan pasukannya terus menerus tiada lelah menyuntikkan racun tersebut ke dalam dada-dada manusia. Jikalau seperti itu kenyataannya maka siapakah yang lebih pantas untuk dibinasakan oleh iblis dan pasukannya? Tentulah seorang penuntut ilmu lebih menjadi prioritas untuk diracuni oleh mereka.
Kesibukan seseorang dalam berbagai bidang keilmuan dan dakwah terkadang membuatnya lupa, dan bisa juga syaitan yang membuatnya melupakan bahwa dirinyalah yang sejatinya menjadi target utama iblis dan pasukannya untuk dibinasakan.
Berikut beberapa penyakit yang biasa menghinggapi para penuntut ilmu:
- Merasa diri yang paling tahu terhadap agama
- Meremehkan orang lain yang dianggap kurang ilmunya
- Fanatik yang berlebihan kepada guru/ustadz/syaikh nya
- Merasa bahwa dirinya yang paling benar dan harus diterima hujjahnya
- Tidak mengaplikasikan adab seorang muslim dalam bermasyarakat, terkesan tertutup dan sebagian mengeksklusifkan diri/kelompoknya
- Ikut-ikutan dalam arena perdebatan ulama tanpa menyadari kekurangan ilmu dan adab, serta akhlaq pada dirinya, sehingga dengan berani mencela seorang ulama yang sedang dikritik/ditahzir oleh ulama lain
- Antipati terhadap muslim lain yang tidak sepemahaman dengan dirinya dan menunjukkan dengan sikap ketus dan permusuhan.
- Dan lain-lain.
Sesungguhnya penyakit yang menjangkiti seorang penuntut ilmu adalah disebabkan ketidaksadaran bahwa dirinya adalah termasuk salah satu target utama iblis dan pasukannya. Sehingga dikarenakan hal tersebut maka tersebarlah berbagai fitnah, perpecahan di antara penuntut ilmu, dan hal ini tanpa disadari akan berdampak menjauhnya manusia dari dakwah.
Allah Ta'ala berfirman: "Dan berdamai itu adalah yang terbaik." Allah Ta'ala berfirman pula: "Maka bertaqwalah engkau semua kepada Allah dan damaikanlah antara sesamamu sendiri." (al-Anfal: 1)
Juga Allah Ta'ala berfirman: "Sesungguhnya kaum mu'minin itu adalah sebagai saudara, maka damaikanlah antara kedua saudaramu." (al-Hujurat: 10)
Terkadang seorang penuntut ilmu berkaidah bahwa yang haq harus disampaikan, yang mungkar pun harus disampaikan dengan alasan untuk memperingatkan umat. Sekilas hal ini memang benar, tapi bila dilakukan dengan serampangan tanpa diterapkan kaidah-kaidah pertimbangan kemaslahatan, maka sungguh akan terjadi fitnah yang tersebar luas.
Dari Ummu Kultsum binti Uqbah bin Abu Mu'aith, katanya: "Saya mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: "Bukannya termasuk pendusta orang yang mendamaikan antara para manusia, lalu ia menyampaikan berita yang baik atau mengatakan sesuatu yang baik." (Muttafaq 'alaih)
Dalam riwayat Muslim disebutkan tambahannya demikian: Ummu Kultsum berkata: "Saya tidak pernah mendengar dari Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam tentang dibolehkannya berdusta daripada ucapan-ucapan yang diucapkan oleh para manusia itu, melainkan dalam tiga hal yaitu perihal peperangan, mendamaikan antara para manusia dan perkataan seorang suami kepada istrinya serta perkataan istri kepada suaminya -yang akan membawa kebaikan rumah-tangga dan lain-lain-."
Bila berdustapun diperbolehkan dalam perkara mendamaikan manusia (terlebih lagi sesama muslim), maka apakah tidak lebih baik untuk menahan suatu informasi hanya dalam kalangan tertentu, dan tidak menyebarluaskannya kepada manusia yang belum menerapkan adab dan kurang berlemah lembut dan berkasih sayang kepada sesama? Dan bilapun diharuskan penyampaian informasi tersebut, seyogyanya seorang penuntut ilmu menyertakan tuntunan sikap dan adab yang luhur dan baik dalam menanggapi informasi yang disampaikan.
Dan hendaknya juga seorang muslim khususnya penuntut ilmu menghindarkan diri dari banyaknya berbicara, kasak-kusuk membicarakan orang/kelompok yang dianggap tidak sepemahaman dengan mereka. Allah Ta'ala berfirman: "Tiada kebaikannya sama sekali dalam banyaknya pembicaraan rahasia mereka itu, melainkan orang yang memerintahkan bersedekah, menyuruh berbuat kebaikan serta mengusahakan perdamaian antara seluruh manusia." (an-Nisa': 114)
Abi Zam, Bandung, 18 Safar 1435 H