Hindari Perceraian Sebisa Mungkin!!
Sering kita mendengar bahwa perceraian adalah salah satu solusi... 
tapi tahukah anda? Ia 
bukanlah satu satunya solusi, namun ia adalah 
adalah 
solusi terahir.
 
Hukumnya pun beragam, disesuaikan dengan kondisi, bisa menjadi 
mubah,sunnah, makruh,  haram, atau malah wajib, itu tergantung situasi.. 
Tapi pada dasarnya perceraian adalah bagian dari program besar 
iblis. Musuh manusia ini sangat bangga dan senang ketika ada anak 
buahnya yang mampu memisahkan antara suami-istri.
Munculnya masalah dalam sebuah rumah tangga merupakan suatu 
kemestian. Tak satu pun rumah tangga yang luput darinya. Rumah tangga 
orang khusus atau orang umum, orang yang berilmu agama ataupun tidak 
mengerti agama, pasti menemui yang namanya masalah. Karena demikianlah 
kenyataan yang harus dihadapi dalam kehidupan dunia. Dalam menghadapi perselisihan tersebut diperlukan sikap arif, 
sabar, dan pikiran jernih. Bila yang muncul adalah sikap sebaliknya, 
perselisihan bisa semakin besar, bahkan tak jarang muncul ancaman dari 
salah satu pihak atau kedua pihak untuk bercerai. Padahal perceraian 
merupakan perkara yang menimbulkan banyak kejelekan, dan tidak semua 
perselisihan mesti diakhiri dengan perceraian.
Namun 
sangat disayangkan, ada di antara pasangan suami istri yang 
begitu cepat memilih “berpisah” ketika problem itu datang seakan tak ada
 jalan keluar dari permasalahan kecuali dengan perceraian (talak). 
Mereka begitu terburu-buru memutuskan bercerai tanpa peduli dengan 
akibat yang akan terjadi. Seakan lembaga pernikahan tidak memiliki nilai
 yang agung di sisi mereka, sehingga sebagaimana mereka terlalu cepat 
menjatuhkan pilihan teman hidup, tanpa banyak mempertimbangkan sisi 
agama, akhlak, kepribadian dan kebaikannya, mereka pun terlalu cepat 
memutuskan hubungan yang terjalin lewat pernikahan tersebut.
 
Asy-Syaikh Shalih As-Sadlan hafizhahullah mengatakan: “Dalam 
kenyataannya, jarang didapatkan satu masa dari umur kebersamaan sepasang
 suami istri yang terlepas dari masalah dan perselisihan. Karena itulah 
kita mesti menerima perselisihan itu, akan tetapi kita tidak menyerah 
kepadanya atau tidak tenggelam di dalamnya. Perselisihan itu buruk, 
dapat mengeruhkan jiwa dan memadamkan cahaya keindahan hidup berumah 
tangga. Semestinya kita lari darinya dengan segala jalan. Akan tetapi 
tidak sepantasnya kita menyangka malapetaka telah menimpa saat terjadi 
perselisihan apapun bentuknya, karena setiap penyakit ada obatnya dan 
setiap luka ada penyembuhnya. Dengan menyepakati kaidah ini, akan 
berjalanlah kemudi kehidupan menuju daratan bahagia dan keselamatan. 
Makna dari semua ini adalah tidak tepat bertameng dengan perceraian 
karena suatu sebab yang masih mungkin untuk diperbaiki, atau karena 
perkara yang mungkin akan berubah di waktu mendatang.” (An-Nusyuz, hal. 
34)
Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Bazt berkata: “Allah mensyariatkan untuk
 memperbaiki hubungan antara suami istri dan menempuh cara-cara yang 
dapat mengum-pulkan keutuhan keduanya dan menjauhi perceraian. Di antara
 cara penyelesaian (masalah) tersebut, yaitu nasehat, hajr, dan pukulan
 yang ringan bila dua cara pertama tidak bermanfaat.
Sebagaimana firman
 Allah Ta’ala:
وَاللاَّتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ 
وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ 
فَلاَ تَبْغُواْ عَلَيْهِنَّ سَبِيلاً
“Dan para istri yang kalian khawatirkan (kalian ketahui dan yakini)
 nusyuznya maka hendaklah kalian menasehati mereka, meninggalkan mereka 
di tempat tidur (hajr) dan memukul mereka. Kemudian jika mereka menaati 
kalian maka janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkan 
mereka.” (An-Nisa`: 34)
Termasuk upaya penyelesaian ketika terjadi perselisihan di antara 
kedua belah pihak adalah mengirim dua hakim, dari pihak suami dan dari 
pihak istri, dengan tujuan untuk meng-ishlah (memperbaiki hubungan) 
keduanya.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُواْ حَكَماً 
مِّنْ أَهْلِهِ وَحَكَماً مِّنْ أَهْلِهَا إِن يُرِيدَا إِصْلاَحاً 
يُوَفِّقِ اللّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ
“Dan bila kalian khawatir perselisihan di antara keduanya maka 
hendaklah kalian mengutus seorang hakim (pendamai) dari keluarga si 
suami dan seorang hakim (pendamai) dari keluarga si istri…”. (An-Nisa`: 
35) (Al-Fatawa – Kitabud Da`wah, 2/237: 239)
Apabila cara-cara ini tidak bermanfaat dan tidak mudah memperbaiki 
keadaan dan perselisihan terus berlanjut, sementara bila pernikahan 
tetap dipertahankan yang timbul hanyalah permusuhan, kebencian dan 
maksiat kepada Allah Ta’ala, barulah memutuskan untuk bercerai.
 
Bercerai berarti hancurnya keutuhan keluarga, sementara 
kehancuran 
keluarga merupakan salah satu target yang diincar oleh para setan. 
Mereka sangat bergembira bila suami berpisah dengan istrinya, anak-anak 
terpisah dari ayah atau ibunya.  
Disebutkan dalam hadis dari Jabir, Nabi 
‘alaihis shalatu was salam bersabda,
إن إبليس يضع عرشه على الماء ثم يبعث سراياه فأدناهم 
منه منزلة أعظمهم فتنة يجئ أحدهم فيقول فعلت كذا وكذا فيقول ما صنعت شيئا 
قال ثم يجئ أحدهم فيقول ما تركته حتى فرقت بينه وبين امرأته قال فيدنيه منه
 ويقول نعم أنت
“Sesungguhnya iblis singgasananya berada di atas laut. Dia mengutus
 para pasukannya. Setan yang paling dekat kedudukannya adalah yang 
paling besar godaannya. Di antara mereka ada yang melapor, ‘Saya telah 
melakukan godaan ini.’ Iblis berkomentar, ‘Kamu belum melakukan 
apa-apa.’ Datang yang lain melaporkan, ‘Saya menggoda seseorang, 
sehingga ketika saya meninggalkannya, dia telah bepisah (talak) dengan 
istrinya.’ Kemudian iblis mengajaknya untuk duduk di dekatnya dan 
berkata, ‘Sebaik-baik setan adalah kamu.’” (HR. Muslim, no.2813).
Al-A’masy mengatakan, “Aku menyangka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Iblis merangkul setan itu’.”
Al-Imam An-Nawawirohimahullah menjelaskan hadits di atas bahwa Iblis
 bermarkas di lautan, dari situlah ia mengirim tentara-tentaranya ke 
penjuru bumi. Iblis memuji anak buahnya yang berhasil memisahkan antara 
suami dengan istrinya tersebut karena kagum dengan apa yang dilakukannya
 dan ia dapat mencapai puncak tujuan yang dikehendaki Iblis. (Syarh 
Shahih Muslim, 17/157)
Imam al-Munawi mengatakan, “Sesungguhnya hadis ini merupakan 
peringatan keras, tentang buruknya perceraian. Karena perceraian 
merupakan cita-cita terbesar makhluk terlaknat, yaitu Iblis. Dengan 
perceraian akan ada dampak buruk yang sangat banyak, seperti terputusnya
 keturunan, peluang besar bagi manusia untuk terjerumus ke dalam zina, 
yang merupakan dosa yang sangat besar kerusakannya dan menjadi skandal 
terbanyak.” (Faidhul Qadir, 2:408)
 Sebegitu kuat ambisi Iblis dan para setan sebagai tentaranya untuk 
menghancurkan kehidupan keluarga hingga mereka bersedia membantu setan 
dari kalangan manusia untuk mengerjakan sihir yang dapat memisahkan 
suami dengan istrinya.
disebutkan oleh Allah dalam Alquran adalah
Allah berfirman,
فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِه
“Mereka belajar dari keduanya (Harut dan Marut) ilmu sihir yang 
bisa digunakan untuk memisahkan seseorang dengan istrinya.” (QS. 
Al-Baqarah:102)
  
Jangan Bermudah-mudahan dalam Bercerai!!!!
Sikap bermudah-mudah dalam memutuskan bercerai ini bisa datang dari pihak suami, atau pihak istri, atau dari kedua belah pihak.
Suami yang bersikap terburu-buru ini, ketika mendapatkan istrinya 
tidak seperti yang didambakannya, vonis talak pun jatuh dari lisannya 
dengan tidak menaruh iba kepada istrinya yang bakal menyandang status 
janda dengan segala fitnah yang mungkin akan menghampiri. Semestinya ia 
merasa iba dengan seorang wanita yang lemah, yang butuh dirinya sebagai 
pelindung dan pengayom hidup. Seharusnya ia bersabar terhadap kekurangan
 yang ada pada istrinya, selama bukan perkara yang syar’i dan prinsip, 
jangan dijadikannya sebagai sumber kebencian sehingga menjadi alasan 
untuk memutuskan hubungan.
Bukankah RasulullahShalallahu alaihi wasalam 
pernah bersabda:
“Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah. Jika ia tidak 
suka satu tabiat/perangainya maka (bisa jadi) ia senang dengan 
tabiat/perangainya yang lain.” (HR. Muslim no. 1469)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa‘dirohimahullahmenyatakan: 
“Sepantasnya bagi kalian –wahai para suami– untuk tetap menahan istri 
kalian dalam ikatan pernikahan (tidak menceraikannya) walaupun kalian 
tidak suka pada mereka. Karena di balik semua itu ada kebaikan yang 
besar. Di antaranya adalah berpegang dengan perintah AllahTa’aladan 
menerima wasiat-Nya yang di dalamnya terdapat kebaikan di dunia dan di 
akhirat. Kebaikan lainnya adalah dengan ia memaksa dirinya untuk tetap 
bersama istrinya, dalam keadaan ia tidak mencintainya, ada perjuangan 
jiwa dan menunjukkan akhlak yang bagus. Bisa jadi ketidaksukaan itu akan
 hilang dan berganti dengan kecintaan sebagaimana dapat disaksikan dari 
kenyataan yang ada. Dan bisa jadi ia mendapat rizki berupa anak yang 
shalih dari istri tersebut, yang memberi manfaat kepada kedua orang 
tuanya di dunia dan di akhirat. Tentunya semua ini dilakukan bila 
memungkinkan untuk tetap menahan istri dalam pernikahan tersebut dan 
tidak timbul perkara yang dikhawatirkan. Bila memang harus berpisah dan 
tidak mungkin untuk tetap seiring bersama maka si suami tidak dapat 
dipaksakan untuk tetap menahan istrinya dalam pernikahan.” (Taisir 
Al-Karimir Rahman fi Tafsir Kalamil Mannan, hal. 173)

 
Tidak pantas selama-lamanya bagi seorang suami untuk berpikir cerai
 semata-mata karena perubahan perasaannya terhadap istrinya, atau 
kebencian yang datang tiba-tiba, atau semata karena ketidaksukaan 
terhadap sebagian gerak gerik istrinya dan akhlaknya yang tidak 
berkaitan dengan kehormatan atau agama. Karena yang namanya perasaan itu
 dapat berbolak balik dan tabiat itu dapat berubah-ubah sehingga tidak 
tepat perkara-perkara yang berkaitan dengan keberadaan keluarga dibangun
 di atasnya, demikian kata Asy-Syaikh Shalih As-Sadlan hafizhahullah. 
(An-Nusyuz, hal. 34)
Al-Imam Al-Hafizh Adz-Dzahabi menghikayatkan satu kisah dalam 
kitabnya Al-Kaba`ir yang mungkin bisa menjadi renungan dan pelajaran 
bagi para suami.
Disebutkan, ada seorang yang shalih memiliki saudara fillah 
(seagama) dari kalangan orang shalih pula. Saudaranya ini menziarahinya 
setahun sekali. Suatu ketika saudaranya ini mengetuk pintu rumahnya. 
Berkatalah istri orang shalih tersebut: “Siapa?”
“Saudara suamimu fillah datang untuk menziarahinya,” jawab si pengetuk pintu
“Dia pergi mencari kayu bakar, semoga Allah tidak 
mengembalikannya (ke rumah ini), semoga dia tidak selamat,” kata istri 
orang shalih tersebut dan wanita ini terus mencaci-maki suaminya.
Ketika saudara fillah ini tengah berdiri di depan pintu, 
tiba-tiba orang shalih itu datang dari arah gunung dalam keadaan 
menuntun singa yang memikul kayu bakar di punggungnya. Orang shalih ini 
pun mengucapkan salam dan menyatakan selamat datang (marhaban) kepada 
saudaranya fillah. Setelahnya ia masuk ke dalam rumah dan memasukkan 
pula kayu bakarnya. Lalu ia berkata kepada singa tersebut: “Pergilah, 
barakallahu fik (semoga Allah memberkahimu).”
Lalu saudaranya dipersilahkan masuk ke rumahnya sementara 
istrinya masih terus mencaci-maki dirinya. Namun tak satu kata pun 
terucap darinya untuk membalas cercaan istrinya.
Pada tahun berikutnya, sebagaimana kebiasaannya saudara fillah 
ini kembali menziarahi orang shalih tersebut. Ia mengetuk pintu dan 
terdengar suara istri orang shalih tersebut: “Siapa di balik pintu?”
“Fulan, saudara suamimu fillah,” jawabnya.
“Marhaban, ahlan wa sahlan, tunggulah. Silakan duduk di tempat 
yang telah disediakan, suamiku akan datang insya Allah dengan kebaikan 
dan keselamatan,” kata istri orang shalih tersebut.
Saudara fillah ini pun kagum dengan kesantunan ucapan dan adab 
istri orang shalih tersebut. Tiba-tiba orang shalih tersebut datang 
dengan memikul kayu bakar di atas punggungnya, saudara fillah ini pun 
heran dengan apa yang dilihatnya. Orang shalih itu mendatanginya seraya 
mengucapkan salam dan masuk ke rumahnya beserta tamu tahunannya. 
Istrinya lalu menghidangkan makanan bagi keduanya dan dengan ucapan yang
 baik ia mempersilahkan keduanya menyantap hidangan yang tersedia.
Ketika saudara fillah ini hendak permisi pulang, ia berkata: 
“Wahai saudaraku, beritahulah kepadaku tentang apa yang akan kutanyakan 
kepadamu.”
“Apa itu wahai saudaraku?” tanya orang shalih tersebut.
Saudara fillah ini berkata: “Pada tahun yang awal ketika aku 
mendatangimu, aku mendengar ucapan seorang wanita yang jelek lisannya, 
mengucapkan kata-kata yang tidak baik dan kurang adab. Wanita itu banyak
 melaknat. Dalam kesempatan itu juga aku melihatmu datang dari arah 
gunung sementara kayu bakarmu berada di atas punggung seekor singa yang 
tunduk di hadapanmu. Pada tahun ini aku mendengar ucapan yang bagus dari
 istrimu, tanpa ada celaan dari lisannya, namun aku melihatmu memikul 
sendiri kayu bakar di atas punggungmu. Apakah sebabnya?”
Orang shalih ini berkata: “Wahai saudaraku, istriku yang jelek 
akhlaknya itu telah meninggal. Aku dulunya bersabar menerima akhlaknya 
dan apa yang muncul darinya. Aku hidup bersamanya dalam kepayahan namun 
aku sabari. Karena kesabaranku menghadapi istriku, Allah menundukkan 
untukku seekor singa yang engkau lihat ia memikulkan kayu bakarku. 
Ketika istriku itu meninggal, aku pun menikahi wanita yang shalihah ini 
dan hidupku bahagia bersamanya. Maka singa itu tidak pernah datang lagi 
membantuku hingga aku harus memikul sendiri kayu bakar di atas 
punggungku, karena aku sudah hidup bahagia bersama istriku yang 
diberkahi lagi taat ini.” (Al-Kaba`ir, hal. 195-196)
Di antara para istri ada pula yang tergesa-gesa minta cerai dari 
suaminya tanpa alasan yang dibolehkan syariat. Terkadang masalahnya 
sepele dan masih mungkin dicarikan jalan keluarnya. Namun tanpa berpikir
 panjang ke depan istri ini menuntut cerai dari suaminya.
RasulullahShalallahu alaihi wasalamsendiri telah bersabda:
“Wanita mana saja yang minta cerai kepada suaminya tanpa sebab 
(syar’i) maka diharamkan baginya mencium wanginya surga.” (HR. Ahmad 
5/277. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihul Jami’ no. 
2703)
Adapun bila ada alasan syar‘i seperti suaminya meninggalkan shalat,
 kecanduan minuman keras dan obat-obat terlarang, atau si suami 
memaksanya melakukan perkara yang haram, atau menzaliminya dengan 
menyiksanya atau tidak memberikan haknya yang syar‘i, sementara nasehat 
tidak lagi bermanfaat bagi si suami dan istri tersebut tidak mendapatkan
 jalan untuk memperbaiki keadaan, maka ketika keadaannya seperti ini 
tidak disalahkan si istri minta cerai dari suaminya guna menyelamatkan 
agamanya dan jiwanya. (Al-Muharramat Istahana bihan Nas Yajibul Hadzru 
Minha, hal. 33)
Bila Seorang Istri Melihat Suaminya Tidak Suka Padanya
Apabila seorang istri melihat ketidaksukaan suami terhadapnya dan 
ia bisa menangkap isyarat-isyarat yang menunjukkan suaminya ingin 
berpisah dengannya, sementara ia ingin tetap dalam ikatan pernikahan 
dengan suaminya maka perceraian tidak selamanya menjadi pilihan akhir 
yang harus ditempuh.
Syariat yang mulia ini memberikan jalan keluar yang
 lain sebagaimana termaktub dalam firman Allah Ta’ala:
“Dan apabila seorang istri khawatir akan nusyuz suaminya atau 
khawatir suaminya akan berpaling darinya maka tidak ada dosa atas 
keduanya untuk mengadakan perbaikan/perdamaian dengan sebenar-benarnya 
dan perdamaian itu lebih baik.” (An-Nisa`: 128) [Al-Mukminat, Asy-Syaikh
 Shalih Al-Fauzan, hal. 144]
Sekali lagi, jangan sampai kita mengabulkan keinginan dan harapan 
iblis. Pikirkan ulang, dan ingat masa depan anak-anak dan nilai keluarga
 Anda di mata masyarakat.
Wallahu a’lam bishowab
Semoga bermanfaat
Oleh : Ustadz Abu Riyadl Nurcholis Majid, Lc
http://salamdakwah.com/google-search.html?q=perceraian 
edited : http://kisahrasulnabisahabat.blogspot.com/