Sungguh Allah subhanahu wa ta'ala telah berfirman :
(إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْراً فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ)
Artinya: "Sesungguhnya bilangan bulan disisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kalian menganiaya diri kalian dalam bulan yang empat itu." (At Taubah: 36)
Di dalam ayat yang mulia ini, Allah ta'ala telah menjelaskan pada kita bahwasanya bulan yang ada pada kehidupan kita di dunia ini berjumlah dua belas bulan. Dan diantara dua belas bulan tersebut ada empat bulan yang dinyatakan oleh Allah ta'ala sebagai bulan-bulan haram. Maka akan timbul di benak kita, apa yang dimaksud dengan bulan haram tersebut? dan apa saja bulan haram yang telah Allah nyatakan dalam ayat diatas? dan apa yang membedakan bulan haram dengan bulan-bulan lainnya? serta mengapa ia dinamakan dengan nama tersebut?
Insya Allah ta'ala para pembaca sekalian akan mendapatkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan diatas didalam tulisan yang ringkas ini, yang akan kita bagi menjadi beberapa sisi pembahasan, diantaranya:
1. Makna dari Bulan Haram
Bulan haram yang telah disebutkan oleh Allah ta'ala pada ayat diatas adalah semakna dengan apa yang telah disebutkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sebuah hadits yang shahih,
إن الزمان قد استدار كهيئته يوم خلق الله السماوات والأرض ، السنة اثنا عشر شهرا ، منها أربعة حرم ، ثلاث متواليات : ذو القعدة وذو الحجة والمحرم ، ورجب مضر الذي بين جمادى وشعبان
"Sesungguhnya zaman ini telah berjalan (berputar) sebagaimana perjalanan awalnya ketika Allah menciptakan langit dan bumi, yang mana satu tahun itu ada dua belas bulan. Diantaranya ada empat bulan haram, tiga bulan yang (letaknya) berurutan, yaitu Dzul Qa'dah, Dzul Hijjah, dan Muharram, kemudian bulan Rajab Mudhar yang berada diantara Jumada (Akhir) dan Sya'ban."
(HR. Al Bukhari: 4385 dan Muslim: 1679)
Dalam hadits diatas, disebutkan secara terperinci apa saja bulan-bulan haram yang telah Allah sebutkan didalam ayatnya. Yaitu tiga bulan berurutan yang dimulai dari Bulan Dzul Qa'dah sampai bulan Muharram. Dan satu bulan yang terletak diantara bulan Jumada Akhir dan Sya'ban yaitu bulan Rajab. Itulah empat bulan yang telah dinyatakan oleh Allah dalam firman Nya,
مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ
"diantaranya ada empat bulan haram."
- Dan Asy Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah telah ditanya berkenaan dengan maksud dari bulan haram, dan mengapa ia dinamakan dengan haram, maka beliau menjawab:
الأشهر الحرم هي أربعة: رجب وذو القعدة وذو الحجة والمحرم؛ فشهر مفرد، وهو رجب، والبقية متتالية، وهي: ذو القعدة وذو الحجة ومحرم.
والظاهر أنها سميت حرماً؛ لأن الله حرم فيها القتال بين الناس؛ فلهذا قيل لها حرم؛ جمع حرام.
كما قال الله جل وعلا: إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِندَ اللّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَات وَالأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ، وقال تعالى: يَسْأَلُونَكَ عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيهِ قُلْ قِتَالٌ فِيهِ كَبِيرٌ، فدل ذلك على أنه محرم فيها القتال، وذلك من رحمة الله لعباده؛ حتى يسافروا فيها، وحتى يحجوا ويعتمروا.
"Bulan-bulan haram itu ada empat: Rajab, Dzul Qa'dah, Dzul Hijjah, dan Muharram. Satu bulan yang letaknya terpisah (dari yang lain) yaitu Rajab, sementara sisanya terletak berurutan, Dzul Qo'dah, Dzul Hijjah, dan Muharram.
Dan yang dzahir dari penamaan haram pada bulan-bulan tersebut karena Allah telah mengharamkan (melarang) kaum muslimin untuk berperang didalamnya, oleh karena itu disebut dengan hurum yang merupakan bentuk jamak dari haram. Sebagaimana firman Allah ta'ala (yang artinya):
"Sesungguhnya bilangan bulan disisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya ada empat bulan haram."
Dan juga firman Allah ta'ala (yang artinya):
"Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan haram. Katakanlah: "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar."
Maka (dari ayat diatas) menjelaskan pada kita tentang haram (dilarang) nya berperang dalam bulan-bulan tersebut, dan itu merupakan rahmat Allah terhadap segenap hambaNya, agar mereka bisa melakukan perjalanan (dengan aman) didalamnya, dan agar mereka bisa melaksanakan haji dan umrah pada bulan-bulan tersebut." (Majmu' Fatawa Ibn Baz, jilid ke-18, hal.433)
2. Keutamaan Bulan-Bulan Haram
Bulan-bulan ini telah dimuliakan oleh syari'at sebelum kita, yaitu pada syari'at nabi Ibrahim 'alaihi assalam dan hal tersebut berlanjut hingga di kalangan arab pada masa jahiliah, padahal mereka adalah orang-orang musyrik yang menyekutukan Allah didalam ibadah-ibadah yang mereka lakukan, akan tetapi mereka sangat mengagungkan bulan-bulan ini dan sangat menjaga diri mereka dari berbuat dosa dan kemaksiatan didalamnya.
Adalah Allah yang telah berfirman:
فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
"Maka janganlah kalian menganiaya diri kalian dalam bulan (haram) yang empat itu."
- Dan sahabat yang mulia 'Abdullah bin 'Abbas radhiyallahu'anhu telah menjelaskan tafsir dari ayat diatas, beliau mengatakan:
أي فيهن كلهنَّ؛ ثم اختص منهنَّ أربعة فجعلهنَّ حرامًا وعظم حرماتهنَّ، وجعل الذنب فيهنَّ أعظم والعمل الصالح والأجر أعظم
"(Janganlah kalian menganiaya diri kalian) yakni pada seluruh bulan yang ada, kemudian dikhususkan dari bulan-bulan itu empat bulan yang Allah telah menjadikannya sebagai bulan-bulan haram, yang telah dilebihkan kedudukannya daripada bulan yang lain. Dan perbuatan dosa yang dilakukan didalamnya lebih besar dihadapan Allah, begitu juga amalan shalih yang dilakukan akan menghasilkan ganjaran yang lebih besar pula." (Lathaif Al Ma'arif: 124)
Inilah diantara keutamaan yang telah Allah turunkan pada bulan-bulan haram ini, dilipatgandakannya ganjaran dan balasan bagi seorang yang mengerjakan amalan shalih, sehingga seorang hamba akan bersemangat untuk terus berada di tengah-tengah amalan kebaikan. Begitu pula, ketika perbuatan dosa dan kemaksiatan menjadi lebih besar dihadapan Allah, maka akan mengantarkan dirinya kepada kekhawatiran dan ketakutan dari melakukan hal tersebut, karena akan adanya siksaan dari Allah ta'ala kelak di hari akhir, yang akan menjadikan dia selalu berusaha untuk menjauh dari perbuatan-perbuatan keji tersebut. Oleh karena itu, keutamaan ini akan menjadikan dirinya untuk selalu berusaha meraih keutamaan yang banyak dengan menjalankan keta'atan-keta'atan pada Allah dan menghindari seluruh keburukan dengan menjauhkan dirinya dari perbuatan dosa dan kemaksiatan serta melatih dirinya agar menjadi pribadi muslim yang selalu memegang teguh konsekwnsi keimanan dia kepada Allah dan Rasul-Nya.Yang mana perkara ini akan mengantarkan dirinya kepada puncak kemuliaan, yaitu tatkala ia diselamatkan oleh Allah ta'ala dari siksaan api Neraka dan dimasukkan ke dalam syurga-Nya.
3. Bulan Haram yang Ada di Hadapan Kita
Telah diketahui bersama bahwasanya pada hari-hari ini kita berada diantara bulan-bulan haram, yang merupakan akhir tahun dari penanggalan di kalender hijriah. Dan sungguh disadari ataukah tidak, pada saat ini pula kita berada di pintu gerbang bulan Muharram yang akan datang beberapa saat lagi jika Allah masih memberi izin kepada kita untuk menemui bulan yang mulia itu. Sungguh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda, ketika ada seorang yang datang kepada beliau dan bertanya tentang shalat yang paling utama dan puasa yang paling utama, maka beliau menjawab:
أفضل الصلاة بعد المكتوبة الصلاة في جوف الليل وأفضل الصيام بعد شهر رمضان الشهر الذي يدعونه المحرم
"Shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat di penghujung malam, dan puasa yang paling utama setelah bulan Ramadhan adalah pada bulan yang disebut dengan Muharram."
(HR. Muslim: 1163)
Sungguh bulan Muharram yang telah dinyatakan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits diatas adalah bulan yang sangat dimuliakan oleh Allah dan para Nabi. Terkhusus pada hari kesepuluh dari bulan itu, yang lebih dikenal dengan nama hari 'Asyura. Bahkan nabi Nuh dan Musa 'alaihima assalam berpuasa pada hari tersebut, begitupula nabi kita Muhammad bin 'Abdillah shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai penutup para nabi, juga berpuasa pada hari itu dan memerintahkan kaum muslimin untuk turut berpuasa padanya.
Sebagaimana dalam sebuah hadits shahih yang datang dari sahabat 'Abdullah bin 'Abbas, ketika beliau berkisah: Saat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam datang ke kota Madinah, maka beliau mendapati kaum yahudi berpuasa pada hari kesepuluh dari bulan Muharram, maka beliau bertanya pada mereka: "Mengapa kalian berpuasa pada hari ini?", mereka pun menjawab: "Ini merupakan hari dimana Allah ta'ala telah menyelamatkan Musa dari kejahatan Fir'aun dan bala tentaranya, dan pada hari ini pula Allah menenggelamkan mereka, maka Musa pun berpuasa dalam rangka bersyukur atas nikmat tersebut, dan kami pun berpuasa sebagaimana Musa berpuasa." Ketika mendengarkan jawaban itu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
نحن أحق بموسى منكم فصامه وأمر بصيامه
"Kami lebih berhak untuk mengikuti Musa daripada kalian", maka beliau berpuasa pada hari itu dan memerintahkan kami untuk berpuasa." (HR. Al Bukhari: 2004, dan Muslim: 1130)
Dari hadits diatas, maka terdapat silang pendapat dikalangan para ulama, apakah hukum berpuasa pada hari tersebut wajib ataukah mustahab? Dan yang lebih kuat dari penjelasan-penjelasan yang mereka utarakan adalah wajibnya berpuasa di hari 'Asyura sebelum turun kewajiban berpuasa kepada kaum muslimin di bulan Ramadhan, maka setelah turun kewajiban tersebut pada tahun kedua setelah hijrahnya Nabi 'alaihi ash shalatu wa assalam, maka berpuasa di hari Asyura pun berpindah hukumnya menjadi mustahab, karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:
إن عاشوراء يوم من أيام الله . فمن شاء صامه ومن شاء تركه
"Sesungguhya Asyura ini adalah satu hari diantara hari-hari yang dimilik oleh Allah ta'ala, maka bagi siapa yang hendak berpuasa maka baginya untuk berpuasa dan bagi siapa yang ingin meninggalkan maka baginya pula untuk meninggalkannya." (HR. Muslim: 1126)
Dan bagi mereka yang menjalankan ibadah puasa pada hari yang mulia ini, sungguh akan bergembira dengan sebuah hadits yang telah datang dari Abu Qatadah, tatkala ada seorang yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tentang berpuasa di hari 'Asyura, maka beliau bersabda:
أحتسب على الله أن يكفر السنة التي قبله
"Aku berharap kepada Allah agar puasa itu dapat menggugurkan dosa yang telah dilakukan pada tahun lalu." (HR. Muslim: 1162)
Maka dengan hanya berpuasa satu hari dapat menggugurkan perbuatan dosa yang pernah ia lakukan dalam satu tahun yang telah lewat. Inilah kemuliaan yang Allah turunkan pada hari 'Asyura, yang menunjukkan betapa luasnya kasih sayang Allah ta'ala terhadap seluruh hambaNya. Dan kemuliaan yang besar ini bisa digapai oleh setiap hambaNya yang ingin melangkahkan kakinya untuk berjalan kedepan mendapatkan ampunan dari Allah ta'ala.
Dan yang dimaksud dengan "menggugurkan dosa" pada hadits diatas adalah gugurnya dosa-dosa kecil. Adapun dosa besar, maka akan gugur dihadapan Allah ta'ala dengan taubat yang dilakukan oleh seorang hamba.
4. Beberapa Pelajaran Tambahan
Disana terdapat beberapa perkara yang perlu diketahui oleh kaum muslimin secara umum, dan terkhusus bagi mereka yang akan melaksanakan ibadah puasa 'Asyura (berpuasa di hari kesepuluh dari bulan Muharram), adalah :
Pertama : Melaksanakan puasa satu hari sebelumnya, yaitu pada tanggal sembilan Muharram, karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:
إذا كان العام المقبل إن شاء الله صمنا اليوم التاسع
"Jika masih mendapati tahun depan dengan izin Allah, maka aku akan berpuasa pada hari yang kesembilan." (HR. Muslim: 1134)
Akan tetapi takdir berbicara lain, karena Allah menakdirkan bahwa tahun tersebut adalah tahun dimana beliau mendapati ajalnya shallallahu alaihi wa sallam.
Kedua : Bahwasanya hari 'Asyura dalam sejarah Islam melewati empat fase, yaitu:
- Tatkala Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berpuasa pada hari tersebut bersama kaum jahiliah di Mekkah.
- Tatkala beliau shallallahu 'alaihi wa sallam beranjak dari Mekkah menuju Madinah, dan mendapati kaum yahudi berpuasa pada hari Asyura. Maka beliau pun berpuasa dan memerintahkan para sahabatnya agar berpuasa pada hari tersebut.
- Setelah turunnya kewajiban untuk berpuasa di bulan Ramadhan, hukum berpuasa di hari 'Asyura menjadi mustahab dan bukan wajib.
- Diakhir hayatnya shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau berniat untuk berpuasa pada hari kesembilan dari Muharram guna menyelisihi kaum yahudi yang hanya mengkhususkan puasa mereka pada hari kesepuluh ('Asyura).
Ketiga : Telah ditanya Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al 'Utsaimin, dengan bentuk pertanyaan sebagai berikut :
ما تقولون في صيام يوم بعد عاشوراء و المشروع الصيام قبله، هل الصيام بعد عاشوراء ثبت به حديث صحيح عن الرسول صلى الله عليه و سلم؟
فأجاب فضيلته بقوله: في مسند الإمام أحمد: (صوموا يوما قبله أو يوما بعده خالفوا اليهود). و مخالفة اليهود تكون إما بصوم اليوم التاسع كما قال النبي صلى الله عليه و سلم: (لئن بقيت إلى قابل لأصومن التاسع). يعني مع العاشر، و تكون بصوم يوم بعده، لأن اليهود كانو يفردون اليوم العاشر، فتحصل مخالفتهم بصيام يوم قبله أو يوم بعده، و قد ذكر ابن القيم رحمه الله في زاد المعاد أن صيام عاشوراء أربعة أنواع:
١. إما أن يصوم اليوم العاشر وحده.
٢. أو مع التاسع.
٣. أو مع الحادي العشر.
٤. أو يصوم الثلاثة، و صوم الثلاثة يكون فيه فائدة أيضا، و هي الحصول على صيام ثلاثة أيام من الشهر
" Apa pendapat anda tentang puasa yang dilakukan sehari setelah hari 'Asyura (pada tanggal sebelas Muharram,pen) dan disyariatkannya berpuasa pada hari sebelumnya (tanggal sembilan Muharram,pen)? Apakah berpuasa satu hari setelah hari 'Asyura (yaitu pada tanggal sebelas) telah datang hadits yang shahih dari Rasulullah 'alaihi ash shalatu wa assalam berkenaan dengannya?"
Maka beliau menjawab: "Dalam Musnad Al Imam Ahmad, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Berpuasalah kalian pada satu hari sebelum atau sesudahnya, dan selisihilah kaum yahudi." Dan penyelisihan terhadap kaum yahudi itu bisa direalisasikan dengan berpuasa pada tanggal sembilan, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam: "Jikalau aku masih ada hingga tahun depan, pasti aku akan berpuasa pada hari ke sembilan." yakni bersamaan dengan hari 'Asyura. Dan bisa juga dilakukan dengan berpuasa pada satu hari setelahnya (tanggal sebelas), karena yang dilakukan oleh kaum yahudi hanyalah berpuasa pada hari kesepuluh. Maka engkau telah menyelisihi mereka, tatkala engakau berpuasa pada satu hari sebelum ataupun setelahnya.
Dan telah disebutkan oleh Ibnul Qayyim Rahimahullah dalam Zadul Ma'ad, bahwasanya berpuasa di hari Asyura itu ada empat macam:
- Berpuasa hanya pada tanggal sepuluh (Muharram).
- Atau bersamaan dengan tanggal sembilannya.
- Atau bersamaan dengan tanggal sebelasnya.
- Atau dengan berpuasa pada tiga hari tersebut, yang juga terdapat faedah didalamnya, yaitu puasa tiga hari dalam satu bulan."
(Majmu' Fatawa wa Rasail Al 'Utsaimin: jilid ke-20, hal.38)
Maka dari pelajaran diatas, kita bisa mengambil kesimpulan bahwasanya amalan yang paling utama dalam hal ini adalah ketika ia melaksanakan puasa 'Asyura bersamaan dengan satu hari sebelum dan setelahnya, yakni pada hari ke sembilan, sepuluh, dan sebelas Muharram. Dan hal ini akan melahirkan kebaikan lainnya yaitu puasa tiga hari dalam sebulan, yang telah dinyatakan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa berpuasa tiga hari pada setiap bulan itu setara dengan seorang yang berpuasa sepanjang zaman. Kemudian yang berikutnya adalah puasa di hari 'Asyura dan satu hari sebelumnya, yakni pada hari kesembilan, dan sepuluh, dan inilah yang diniatkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Kemudian yang berikutnya adalah puasa di hari Asyura dan satu hari setelahnya, yakni pada hari kesepuluh dan sebelas. Dan yang terakhir adalah puasa yang hanya dilakukan pada hari Asyura, yaitu di hari kesepuluh pada bulan Muharram.
Pada Akhirnya, jika dalam tulisan yang ringkas ini ada yang mencocoki kebenaran maka segala puji bagi Allah ta'ala, dan tidaklah hal tersebut datang melainkan dari sisi-Nya dan dari pertolongan-Nya. Apabila disana terdapat kurangan dan kekeliruan maka itu semua bersumber dari diri kami pribadi yang tidak akan pernah luput dari kesalahan dan kedhaliman.
Oleh : Al-ustadz Abdul Mu'thi bin Mughni karim
Republished by: www.kisahrasulnabisahabat.blogspot.com
No comments:
Post a Comment
Seorang mukmin bukanlah pengumpat, pengutuk, berkata keji atau berkata busuk. (HR. Bukhari dan Al Hakim)