Thursday, May 30, 2013
Keluarnya Bangsa Ya'juj dan Ma'juj Sebagai Tanda Kiamat Besar
Kemunculan sebuah bangsa yang akan menciptakan kekacauan serta kerusakan di muka bumi telah ditakdirkan Allah subhanahuwata’ala sebagai salah satu penanda kiamat besar. Siapakah dan bagaimanakah mereka?
Di dalam beberapa hadits tentang tanda-tanda hari kiamat kubra, disebutkan ada sepuluh tanda hari kiamat. Di antaranya adalah keluarnya Ya`juj wa Ma`juj. Berita tentang keluarnya Ya`juj wa Ma`juj bukan hanya mutawatir, bahkan disebutkan dalam Al-Qur’an surat Al-Anbiya’ ayat 96-97: Hingga apabila dibukakan (dinding) Ya’juj dan Ma’juj, dan mereka turun dengan cepat dari seluruh tempat yang tinggi. Dan telah dekatlah datangnya janji yang benar (hari berbangkit), maka tiba-tiba terbelalaklah mata orang-orang yang kafir. (Mereka berkata): “Aduhai, celakalah kami, sesungguhnya kami dalam kelalaian tentang ini, bahkan kami adalah orang-orang yang dzalim.”
Ibnu Katsir rahimahullahu menerangkan: mereka adalah dari keturunan Adam ‘alaihissalam dari keturunan Nabi Nuh ‘alaihissalam, dari anak keturunan Yafits yakni nenek moyang bangsa Turki yang terisolir oleh benteng tinggi yang dibangun oleh Dzulqarnain. Sedangkan makna “min kulli hadabin yansilun” diterangkan oleh Ibnu Katsir ahimahullahu: yakni turun dari tempat-tempat yang tinggi dengan cepat dengan membuat kerusakan.
Demikian pula disebutkan dalam surat Al-Kahfi ayat 94: “Wahai Dzulqarnain, sesungguhnya Ya`juj wa Ma`juj merusak di muka bumi, kami akan siapkan imbalan yang besar agar kiranya engkau membuatkan benteng antara kami dengan mereka.”
Adapun kalimat yang menunjukkan bahwa runtuhnya benteng Dzulqarnain dan keluarnya Ya`juj wa Ma`juj sebagai tanda dekatnya hari kiamat adalah ucapan Allah subhanahuwata’ala pada ayat ke-98: “Ini adalah rahmat dari Rabbku…..” Ibnu Katsir rahimaullahu menyatakan: “Ini adalah dalil yang menunjukkan bahwa mereka tidak akan bisa melubanginya sedikitpun…” Sedangkan makna “Jika datang janji Rabbku” adalah: Jika telah dekat hari kiamat, Allah subhanahuwata’ala akan runtuhkan benteng tersebut.
Demikian dikatakan oleh Ibnu Katsir rahimahullahu.
Ya`juj wa Ma`juj dari keturunan Adam ‘alaihissalam
Ya’juj wa Ma’juj adalah dari jenis manusia keturunan Adam. Tidak seperti yang digambarkan oleh sebagian orang bahwa mereka bukanlah dari keturunan manusia. Hanya saja mereka adalah orang-orang yang merusak serta memiliki sifat dan perangai yang Allah subhanahuwata’ala takdirkan kepada mereka tidak seperti manusia pada umumnya.
Dalil yang menunjukkan bahwa mereka dari jenis manusia keturunan Adam ‘alaihissalam adalah apa yang diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dalam Kitabul Anbiya’ bab Qishah Ya’juj wa Ma’juj, dari Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi Sallallahu’alaihiwassallam bersabda: Allah subhanahuwata’ala berfirman kepada Adam: “Wahai Adam.” Maka Adam menjawab: “Labbaika wa sa’daika wal khairu fi yadaika (Aku sambut panggilan-Mu dengan senang hati dan kebaikan semuanya di tangan-Mu).” Kemudian Allah subhanahuwata’ala berfirman: “Keluarkan pasukan penghuni neraka.” Maka Adam bertanya: “Apa itu pasukan penghuni neraka?” Allah subhanahuwata’ala berfirman: “Mereka dari setiap seribu orang, sembilan ratus Sembilan puluh sembilan orang!” Maka ketika itu anak kecil menjadi beruban, setiap yang
hamil melahirkan apa yang dikandungnya, dan kamu lihat orang-orang seakan-akan mabuk padahal mereka tidak mabuk, tetapi karena adzab Allah subhanahuwata’ala yang sangat keras. Kemudian para sahabat bertanya: “Siapa yang satu itu, wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab: “Bergembiralah sesungguhnya penghuni neraka itu dari kalian satu dan dari Ya’juj wa Ma’juj seribu….” (HR. Al-Bukhari dengan Fathul Bari, juz 6 hal.382)
Dari hadits di atas kita dapatkan beberapa faedah: Pertama: Ya’juj wa Ma’juj adalah calon penghuni neraka. Kedua: jumlah Ya’juj wa Ma’juj sangat besar. Ketiga: bahwa Ya’juj wa Ma’juj dari jenis manusia keturunan Adam.
Sifat-sifat Ya’juj wa Ma’juj
Walaupun mereka dari jenis manusia keturunan Adam, namun mereka memiliki sifat khas yang berbeda dari manusia biasa. Ciri utama mereka adalah perusak dan jumlah mereka yang sangat besar sehingga ketika mereka turun dari gunung seakanakan air bah yang mengalir, tidak pandai berbicara dan tidak fasih, bermata kecil (sipit), berhidung kecil, lebar mukanya, merah warna kulitnya seakan-akan wajahnya seperti perisai dan lain-lain. Disebutkan dalam riwayat Al-Imam Ahmad rahimahullahu, dari Ibnu Harmalah, dari bibinya, dia berkata: Rasulullah sallallahu’alaihi wassallam berkhutbah dalam keadaan jarinya tersengat kalajengking. Beliau bersabda: “Kalian mengatakan tidak ada musuh. Padahal sesungguhnya kalian akan terus memerangi musuh sampai datangnya Ya’juj wa Ma’juj, lebar mukanya, kecil (sipit) matanya, dan ada warna putih di rambut atas. Mereka mengalir dari tempat-tempat yang tinggi, seakan-akan wajah-wajah mereka seperti perisai.” (HR. Ahmad)
Ya`juj dan Ma`juj Sudah Ada Sekarang
Ya`juj dan Ma`juj sudah ada dan terus dalam keadaan turun-temurun (beranak pinak), tidak meninggal satu orang dari mereka, kecuali lahir seribu orang lebih. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat Abdullah bin ‘Amr radhiallahuanhu yang diriwayatkan Al-Hakim rahimahullahu dalam Mustadrak-nya.
Namun alhamdulillah Allah subhanahuwata’ala telah bentengi mereka dari kita, yaitu dengan sebab menakdirkan munculnya Dzulqarnain yang dengan kemampuannya membuat benteng yang terbuat dari besi dan tembaga. Allah subhanahuwata’ala berfirman: “Kemudian dia menempuh suatu jalan (yang lain lagi). Hingga apabila dia telah sampai di antara dua buah gunung, dia mendapati di hadapan keduanya, suatu kaum yang hampir tidak mengerti pembicaraan. Mereka berkata: ‘Hai Dzulqarnain, sesungguhnya Ya`juj dan Ma`juj itu orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, maka dapatkah kami memberikan suatu pembayaran kepadamu, supaya kamu membuat dinding antara kami dan mereka?’ Dzulqarnain berkata: ‘Apa yang telah dikuasakan oleh Rabbku kepadaku terhadapnya adalah lebih baik, maka tolonglah aku dengan kekuatan (manusia dan alat-alat), agar aku membuatkan dinding antara kamu dan mereka, berilah aku potongan-potongan besi.’ Hingga apabila besi itu telah sama rata dengan kedua (puncak) gunung itu, berkatalah Dzulqarnain: ‘Tiuplah (api itu).’ Hingga apabila besi itu sudah menjadi (merah seperti) api, diapun berkata: ‘Berilah aku tembaga (yang mendidih) agar kutuangkan ke atas besi panas itu.’ Maka mereka tidak bisa mendakinya dan mereka tidak bisa (pula) melubanginya. Dzulqarnain berkata: ‘Ini (dinding) adalah rahmat dari Rabbku, maka apabila sudah datang janji Rabb-ku Dia akan menjadikannya hancur luluh; dan janji Rabbku itu adalah benar’.” (Al-Kahfi:92-98)
Kesombongan Ya’juj dan Ma’juj
Ya`juj dan Ma`juj ketika keluar tidaklah melewati sesuatu kecuali dirusaknya. Tidaklah melewati danau kecuali meminumnya hingga habis. Tidaklah mendapati manusia kecuali dibunuhnya sampai ketika mereka merasa menang membantai seluruh penduduk bumi, dia menantang penduduk langit. Inilah kesombongan yang luar biasa dari Ya`juj wa Ma`juj.
“Kemudian mereka berjalan dan berakhir di gunung Khumar, yaitu salah satu gunung di Baitul Maqdis. Kemudian mereka berkata: “Kita telah membantai penduduk bumi, mari kita membantai penduduk langit.” Maka mereka melemparkan panah-panah dan tombak-tombak mereka ke langit. Maka Allah subhanahuwata’ala kembalikan panah dan tombak-tombak mereka dalam keadaan berlumuran darah.” (HR. Muslim dalam kitab Al-Fitan wa Asyrathus Sa’ah)
Yakni mereka mengira bahwa darah tersebut bukti kemenangan mereka melawan penduduk langit. Maka Allah subanauwata’ala binasakan seluruhnya pada saat puncak kesombongan mereka dalam waktu yang hampir bersamaan.
Binasanya Ya’juj dan Ma’juj dengan doa Nabi Isa ‘alaihissallam
Diriwayatkan dari An-Nawwas Ibni Sam’an dalam hadits yang panjang.
Di antaranya sebagai berikut:
Ketika Allah subhanahuwata’ala mewahyukan kepada Isa ‘alaihissalam: Sesungguhnya aku mengeluarkan hamba-hamba-Ku yang tidak ada kemampuan bagi seorang pun untuk memeranginya. Maka biarkanlah mereka hamba-hamba-Ku menuju Thuur. Lalu Allah subhanahuwata’ala keluarkan Ya’juj wa Ma’juj dan mereka mengalir dari tiap-tiap tempat yang tinggi. Kemudian mereka melewati danau Thabariyah1, dan meminum seluruh air yang ada padanya. Hingga ketika barisan paling belakang mereka sampai di danau tersebut mereka berkata: “Sungguh dahulu di sini masih ada airnya.” Ketika itu terkepunglah Nabiyullah Isa ‘alaihissallam dan para sahabatnya. Hingga kepala sapi ketika itu lebih berharga untuk mereka daripada seratus dinar kalian sekarang ini. Maka Isa dan para sahabatnya berharap kepada Allah subhanahuwata’ala. Maka Allah subhanahuwata’ala pun mengirim sejenis ulat yang muncul di leher mereka. Maka pagi harinya mereka seluruhnya binasa menjadi bangkai-bangkai dalam waktu yang hampir bersamaan. Kemudian turunlah (dari gunung Thuur) Nabiyullah Isa dan para sahabatnya, maka tidak didapati satu jengkal pun tempat kecuali dipenuhi oleh bangkai dan bau busuk mereka. Maka Nabi Isa ‘alaihissallam pun berharap (berdoa) kepada Allah subhanahuwata’ala. Maka Allah subhanahuwata’ala mengirimkan burung-burung yang lehernya seperti unta, membawa bangkai-bangkai mereka dan kemudian dilemparkan di tempat yang Allah subhanahuwata’ala kehendaki2. Kemudian Allah kirimkan hujan yang tidak menyisakan satu pun rumah maupun kemah, lalu membasahi bumi hingga menjadi licin. Kemudian dikatakan
kepada bumi itu: ‘Tumbuhkanlah buahbuahanmu dan kembalilah berkahmu…” (HR. Muslim)
Wajib Beriman dengan berita Ya`juj wa Ma`juj
Berita tentang Ya`juj wa Ma`juj adalah berita dari Allah subhanahuwata’ala dan Rasul-Nya, sehingga seorang muslim yang beriman wajib menerimanya. Bukankah ciri-ciri orang yang bertakwa adalah beriman kepada hal ghaib yang dikabarkan oleh Allah subhanahuwata’ala dan Rasul-Nya? Dan termasuk hal yang ghaib adalah apa yang akan terjadi pada akhir zaman, termasuk berita akan keluarnya Ya`juj wa Ma`juj?
Namun sebagian kaum muslimin, khususnya kaum Mu’tazilah dan para rasionalis atau orang-orang yang terpengaruh oleh mereka, menolak berita-berita hadits yang -menurut anggapan mereka- tidak masuk akal. Mereka menganggap hadits-hadits tersebut hanya akan membuat orang lari dari Islam. Ketika mereka mendengarkan hadits-hadits tentang diangkatnya Nabi Isa ‘alaihissallam dalam keadaan hidup, akan turunnya beliau pada akhir zaman, berita tentang Dajjal – yang sudah ada wujudnya dalam keadaan terbelenggu- atau tentang Ya`juj wa Ma`juj yang masih beranak-pinak dan terus menerus berupaya untuk keluar dari benteng yang dibuat oleh Dzulqarnain, dan lain-lainnya. Mereka benar-benar gelisah, panas dadanya seraya berkata: “Untuk apa hadits-hadits seperti ini disampaikan. Hadits-hadits ini akan menjadikan manusia semakin jauh dari Islam.” Mereka melontarkan olokolok, celaan, dan berbagai macam ucapan penolakan terhadap hadits-hadits tersebut. Keadaan mereka ini persis seperti yang dikatakan oleh para ulama tentang ahlul bid’ah:
Ahmad bin Sinan Al-Qaththan rahimahullahu berkata: ”Tidak ada di dunia ini seorang mubtadi’ (ahli bid’ah) pun kecuali akan membenci ahlil hadits. Jika seseorang mengada-adakan kebid’ahan niscaya akan dicabut kelezatan hadits dari hatinya.” (Aqidatussalaf wa Ashhabul Hadits hal. 300)
Abu Nashr bin Sallam Al-Faqih rahimahullahu berkata: “Tidak ada sesuatu yang lebih berat dan lebih dibenci bagi orang-orang mulhid (sesat) daripada mendengarkan hadits dengan riwayat dan sanadnya.” (AqidatusSalaf Ashhabil Hadits hal. 302)
Penutup
Sebagai nasihat dan peringatan untuk kita dan seluruh kaum muslimin, kami nukilkan beberapa ucapan para ulama dalam masalah ini:
> Al-Imam Ahmad bin Hambal rahimahullahu menyatakan: “Barangsiapa yang menolak hadits Nabi salallahu’alaihiwassallam, maka dia berada di pinggir jurang kehancuran.” (Thabaqat Al-Hanabilah, 2/11 dan Al-Ibanah, 1/269; lihat Ta’zhimus Sunnah hal. 29)
> Al Imam Al-Babahari rahimahullahu menegaskan: “Jika engkau mendengar seseorang mencela riwayat-riwayat (yakni riwayat hadits yang shahih), menolaknya atau menginginkan selainnya, maka curigailah
keislamannya dan jangan ragu kalau dia adalah pengekor hawa nafsu, ahlul bid’ah.”(Syarhus Sunnah hal. 51)
> Abul Qashim Al-Ashbahani rahimahullahu menerangkan: Ahlus Sunnah dari kalangan salaf berkata: “Barangsiapa mencerca riwayat-riwayat hadits, maka sepantasnya untuk dituduh keislamannya.” (Al-Hujjah fi Bayanil Mahajjah 2/248. Lihat Ta’zhimus Sunnah, hal. 29)
> Al-Imam Az-Zuhri –imamnya para imam pada zamannya- berkata: “Dari Allah subanahuwata’ala keterangannya, Rasulullah sallallahu’alaihiwassalam yang menyampaikannya, maka kewajiban kita adalah menerimanya.” (Aqidatus Salaf Ashhabil Hadits, hal. 249)
Beliau berkata juga: “Diriwayatkan dari salaf bahwa kaki Islam tidak akan kokoh, kecuali di atas fondasi at-taslim (yakni menerima dan tunduk pada seluruh ucapan Allah subhanahuwata’ala dan Rasul-Nya, pent.).” (Aqidatus Salaf Ashhabul Hadits hal. 200)
Wallahu a’lam.
Catatan kaki:
1. Danau Tiberias/Galilea, terletak di wilayah pendudukan Yahudi, tepatnya di barat daya Dataran Tinggi Golan. Merupakan sumber air tawar bagi warga Yahudi-Israel.
2. Dalam riwayat lain, dilemparkan ke laut. (HR. Hakim dalam Mustadrak-nya, dan Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya)
[Re-published oleh; Abi Zam - www.kisahrasulnabisahabat.blogspot.com]
Monday, May 27, 2013
Mengenal Manhaj Salafy
Para pembaca yang budiman -semoga Allah menunjuki kita kepada
kebenaran-. Salaf dan salafi mungkin merupakan kata yang masih asing
bagi sebagian orang atau kalau toh sudah dikenal namun masih
banyak yang beranggapan bahwa istilah ini adalah sebutan bagi suatu
kelompok baru dalam Islam. Lalu apa itu sebenarnya salaf? Dan apa itu
salafi? Semoga tulisan berikut ini dapat memberikan jawabannya.
Pengertian Salaf
Salaf secara bahasa berarti orang yang terdahulu, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah yang artinya,”Maka tatkala mereka membuat Kami murka, Kami menghukum mereka lalu kami tenggelamkan mereka semuanya (di laut). Dan Kami jadikan mereka sebagai SALAF dan contoh bagi orang-orang yang kemudian.”
(Az Zukhruf: 55-56), yakni kami menjadikan mereka sebagai SALAF -yaitu
orang yang terdahulu- agar orang-orang sesudah mereka dapat mengambil
pelajaran dari mereka (salaf). Oleh karena itu, Fairuz Abadi dalam Al Qomus Al Muhith
mengatakan, ”Salaf juga berarti orang-orang yang mendahului kamu dari
nenek moyang dan orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan
denganmu.” (Lihat Al Manhajus Salaf ’inda Syaikh al-Albani, ’Amr Abdul Mun’im Salim dan Al Wajiz fii Aqidah Salafish Sholih, Abdullah bin Abdul Hamid Al Atsary)
Kata ’Salaf’ Tidaklah Asing di Kalangan Ulama
Mungkin banyak orang saat ini yang merasa asing dengan kata salaf,
namun kata ini tidaklah asing di kalangan ulama. Imam Bukhari -ahli
hadits terkemuka- menuturkan,”Rasyid bin Sa’ad mengatakan,’Dulu para
SALAF menyukai kuda jantan, karena kuda seperti itu lebih tangkas dan
lebih kuat’.” Kemudian Ibnu Hajar menjelaskan dalam Fathul Bari bahwa salaf tersebut adalah para sahabat dan orang setelah mereka.
Imam Nawawi –ulama besar madzhab Syafi’i- mengatakan dalam kitab
beliau Al Adzkar, ”Sangat bagus sekali do’a para SALAF sebagaimana
dikatakan Al Auza’i rahimahullah Ta’ala, ’Orang-orang keluar untuk melaksanakan shalat istisqo’
(minta hujan), kemudian berdirilah Bilal bin Sa’ad, dia memuji Allah
...’.” Salaf yang dimaksudkan oleh Al Auza’i di sini adalah Bilal bin
Sa’ad, dan Bilal adalah seorang tabi’in. (Lihat Al Manhajus Salaf ’inda Syaikh al-Albani)
Siapakah Salaf?
Salaf menurut para ulama adalah sahabat, tabi’in (orang-orang yang mengikuti sahabat) dan tabi’ut tabi’in (orang-orang yang mengikuti tabi’in). Tiga generasi awal inilah yang disebut dengan salafush sholih (orang-orang terdahulu yang sholih). Merekalah tiga generasi utama dan terbaik dari umat ini, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam,”Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian generasi sesudahnya kemudian generasi sesudahnya lagi.” (HR. Ahmad, Ibnu Abi ’Ashim, Bukhari dan Tirmidzi). Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
telah mempersaksikan ’kebaikan’ tiga generasi awal umat ini yang
menunjukkan akan keutamaan dan kemuliaan mereka, semangat mereka dalam
melakukan kebaikan, luasnya ilmu mereka tentang syari’at Allah, semangat
mereka berpegang teguh pada sunnah beliau shallallahu ’alaihi wa sallam. (Lihat Al Wajiz fii Aqidah Salafish Sholih dan Mu’taqod Ahlis Sunnah wal Jama’ah, Dr. Muhammad Kholifah At Tamimi)
Wajib Bagi Kita Mengikuti Jalan Salafush Sholih
Setelah kita mengetahui bahwa salaf adalah generasi terbaik umat ini, maka apakah kita wajib mengikuti jalan hidup salaf?
Allah telah meridhai secara mutlak para salaf dari kaum muhajirin dan
anshor serta kepada orang yang mengikuti mereka dengan baik. Allah Ta’ala berfirman yang artinya,”Orang-orang
yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan
muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik,
Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah
menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di
dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan
yang besar.” (At-Taubah: 100). Untuk mendapatkan keridhaan yang mutlak ini, tidak ada jalan lain kecuali dengan mengikuti salafush sholih.
Allah juga memberi ancaman bagi siapa yang mengikuti jalan selain orang mukmin. Allah Ta’ala berfirman yang artinya,”Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin,
Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu
dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk
tempat kembali.” (An-Nisa: 115). Yang dimaksudkan dengan
orang-orang mukmin ketika ayat ini turun adalah para sahabat (para
salaf). Barangsiapa yang menyelisihi jalan mereka akan terancam
kesesatan dan jahannam. Oleh karena itu, mengikuti jalan salaf adalah wajib.
Menyandarkan Diri pada Salafush Sholih
Setelah kita mengetahui bahwa mengikuti jalan hidup salafush sholih adalah wajib, maka bolehkah kita menyandarkan diri pada salaf sehingga disebut salafi (pengikut salaf)? Tidakkah ini termasuk golongan/kelompok baru dalam Islam?
Jawabannya kami ringkas sebagai berikut:
[1] Istilah salaf bukanlah suatu yang asing di kalangan para ulama,
[2] Keengganan untuk menyandarkan diri pada salaf berarti berlepas diri dari Islam yang benar yang dianut oleh salafush sholih,
[3] Kenapa penyandaran kepada berbagai madzhab/paham dan pribadi
tertentu seperti Syafi’i (pengikut Imam Syafi’i) dan Asy’ari (pengikut
Abul Hasan Al Asy’ari) tidak dipersoalkan?! Padahal itu adalah
penyandaran kepada orang yang tidak luput dari kesalahan dan dosa!!
[4] Salafi adalah penyandaran kepada kema’shuman secara umum (keterbebasan dari kesalahan) sehingga memuliakan seseorang,
[5] Penyandaran kepada salaf bertujuan untuk membedakan dengan
kelompok lainnya yang semuanya mengaku bersandar pada Al Qur’an dan As
Sunnah, namun tidak mau beragama (bermanhaj) seperti salafush sholih yaitu para sahabat dan pengikutnya. (Lihat Al Manhajus Salafi ’inda Syaikh al-Albani).
Kesimpulannya sebagaimana dikatakan Syaikh Salim Al Hilali,
”Penamaan salafi adalah bentuk penyandaran kepada salaf. Penyandaran
seperti ini adalah penyandaran yang terpuji dan cara beragama
(bermanhaj) yang tepat. Dan bukan penyandaran yang diada-adakan sebagai
madzhab baru.” (Limadza Ikhtartu Al Manhaj As Salaf)
Solusi Perpecahan Umat
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam telah memberikan solusi mengenai perpecahan umat Islam saat ini untuk berpegang teguh pada sunnah Nabi dan sunnah khulafa’ur rasyidin –yang merupakan salaf umat ini-. Beliau shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Dan sesungguhnya orang yang hidup di antara kalian akan melihat perselisihan yang banyak, maka berpegang teguhlah kalian terhadap sunnahku dan sunnah khulafa’rosyidin yang mendapat petunjuk. Maka berpegang teguh dengannya dan gigitlah dengan gigi geraham.” (Hasan Shohih, HR. Abu Daud dan Tirmidzi)
Jalan Salaf adalah Jalan yang Selamat
Orang yang mengikuti jalan hidup Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dan sahabatnya (salafush sholih) inilah yang selamat dari neraka. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda yang artinya,”Yahudi
telah terpecah menjadi 71 golongan; satu golongan masuk surga, 70
golongan masuk neraka. Nashrani terpecah menjadi 72 golongan; satu
golongan masuk surga, 71 golongan masuk neraka. Demi Dzat yang jiwa
Muhammad berada di tangan-Nya, umatku akan terpecah menjadi 73 golongan;
satu golongan masuk surga dan 72 golongan masuk neraka. Ada sahabat yang bertanya,’Wahai Rasulullah! Siapa mereka yang masuk surga itu?’ Beliau menjawab,’Mereka adalah Al-Jama’ah’.” (HR. Ibnu Majah, Abu Daud, dishahihkan Syaikh Al Albani).
Dalam riwayat lain para sahabat bertanya,’Siapakah mereka wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab,’Orang yang mengikuti jalan hidupku dan para sahabatku.’ (HR. Tirmidzi)
Sebagai nasehat terakhir, ’Ingatlah, kata salafi –yaitu pengikut salafush sholih-
bukanlah sekedar pengakuan (kleim) semata, tetapi harus dibuktikan
dengan beraqidah, berakhlaq, beragama (bermanhaj), dan beribadah
sebagaimana yang dilakukan salafush sholih.’
Ya Allah, tunjukilah kami pada kebenaran dengan izin-Mu dari jalan-jalan yang menyimpang dan teguhkan kami di atasnya.
Alhamdulillahillazi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shollallahu ’ala Nabiyyina Muhammad wa ’ala alihi wa shohbihi wa sallam.
[oleh: Muhammad Abduh Tuasikal, Re-published oleh; Abi Zam -www.kisahrasulnabisahabat.blogspot.com]
Islam Pecah 73 Golongan, Semua di Neraka kecuali Satu !
Satu-satunya Islam yang hakiki adalah Islam yang mengikuti Al Qur’an dan Hadits berdasarkan pemahaman para sahabat Nabi radhiyallahu ‘anhum. Inilah pemahaman Islam yang masih murni yang mesti diikuti.
Dalil untuk berpegang teguh dengan Al Qur’an dan hadits disebutkan dalam Muwatho’ Imam Malik,
Islam yang hakiki bukan hanya berpegang pada Al Qur’an dan Hadits, namun juga mesti ditambah dengan mengikuti para sahabat dalam beragama. Karena para sahabatlah yang mengetahui bagaimana wahyu itu turun. Dan mereka yang lebih tahu maksud Nabi daripada umat sesudahnya. Oleh karenanya mereka dipuji dalam ayat,
Dalam ayat lain, Allah Ta’ala memuji keimanan para sahabat radhiyallahu ‘anhum dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam firman-Nya,
Yang mengikuti para sahabat dalam beragama, itulah yang selamat (firqotun najiyah). Sebagaimana disebutkan dalam hadits perpecahan umat. Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Mengapa kita mesti mengambil pemahaman salaf atau sahabat dalam beragama? Karena kalau memakai pikiran masing-masing dalam memahami Al Qur’an dan Hadits, maka tafsirannya bisa macam-macam, bahkan bisa rusak. Sehingga tidak cukup kita mengamalkan Al Qur’an dan Hadits saja, namun juga ditambah harus mengikuti pemahaman para sahabat.
---
Dalil untuk berpegang teguh dengan Al Qur’an dan hadits disebutkan dalam Muwatho’ Imam Malik,
إني قد تركت فيكم ما إن اعتصمتم به فلن تضلوا أبدا كتاب الله وسنة نبيه الحديث
“Aku telah tinggalkan bagi kalian dua perkara yang kalian tidak
akan sesat selamanya jika berpegang teguh dengan keduanya yaitu: Al
Qur’an dan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam” (HR. Al Hakim, sanadnya shahih kata Al Hakim).Islam yang hakiki bukan hanya berpegang pada Al Qur’an dan Hadits, namun juga mesti ditambah dengan mengikuti para sahabat dalam beragama. Karena para sahabatlah yang mengetahui bagaimana wahyu itu turun. Dan mereka yang lebih tahu maksud Nabi daripada umat sesudahnya. Oleh karenanya mereka dipuji dalam ayat,
وَالسَّابِقُونَ
الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ
اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ
وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ
فِيهَا أَبَداً ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam)
dari (kalangan) orang-orang muhajirin dan anshar serta orang-orang yang
mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun
ridha kepada-Nya, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang
mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya
selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At Taubah: 100)Dalam ayat lain, Allah Ta’ala memuji keimanan para sahabat radhiyallahu ‘anhum dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam firman-Nya,
فَإِنْ آمَنُوا بِمِثْلِ مَا آمَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا
“Dan jika mereka beriman seperti keimanan kalian, maka sungguh mereka telah mendapatkan petunjuk (ke jalan yang benar).” (QS. Al Baqarah: 137)Yang mengikuti para sahabat dalam beragama, itulah yang selamat (firqotun najiyah). Sebagaimana disebutkan dalam hadits perpecahan umat. Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَإِنَّ
بَنِى إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً
وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِى عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِى
النَّارِ إِلاَّ مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوا وَمَنْ هِىَ يَا رَسُولَ
اللَّهِ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِى
“Sesungguhnya Bani Israil terpecah menjadi 72 golongan. Sedangkan
umatku terpecah menjadi 73 golongan, semuanya di neraka kecuali satu.”
Para sahabat bertanya, “Siapa golongan yang selamat itu wahai
Rasulullah?” Beliau bersabda, “Yaitu yang mengikuti pemahamanku dan
pemahaman sahabatku.” (HR. Tirmidzi no. 2641. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan). Jadi, yang mengikuti pemahaman para sahabat, itulah yang selamat.Mengapa kita mesti mengambil pemahaman salaf atau sahabat dalam beragama? Karena kalau memakai pikiran masing-masing dalam memahami Al Qur’an dan Hadits, maka tafsirannya bisa macam-macam, bahkan bisa rusak. Sehingga tidak cukup kita mengamalkan Al Qur’an dan Hadits saja, namun juga ditambah harus mengikuti pemahaman para sahabat.
---
[Pesantren Darush Sholihin, Panggang-Gunungkidul, 15 Jumadal Akhiroh 1434 H]
[Re-published oleh; Abi Zam - www.kisahrasulnabisahabat.blogspot.com]
[Re-published oleh; Abi Zam - www.kisahrasulnabisahabat.blogspot.com]
Saturday, April 13, 2013
SESATNYA BELAJAR FILSAFAT / ILMU KALAM
Perlukan Kita kepada Ilmu Kalam
dan Filsafat Untuk Memahami Manhaj Ahlus Sunnah wal jama`ah?
Di antara bid`ah
besar yang mempurukan kaum muslimin kembali ke alam jahiliyah yang amat kelam
adalah bid`ah filsafat, ilmu kalam atau ilmu mantiq Yunani dalam memahami
Islam. Philosophia itu sendiri berasal dari bahasa Greek (Yunani Kuno),
yaitu philos dan sophia. Philos artinya cinta; atau philia
berarti persahabatan, kasih sayang, kesukaan pada, atau keterikatan pada. Sophia
berarti hikmah (wisdom), kebaikan, pengetahuan, keahlian, pengalaman
praktis, dan intelegensi. Philosophia, menurut
al-Syahrastani (w. 548 H/1153 M), berarti mahabbah al-hikmah (cinta pada
kebijaksanaan), dan orangnya (faylasuf) disebut muhibb al-hikmah (orang
yang mencintai kebijaksanaan). Untuk mencapai Kebahagiaan menurut mereka
hanya bisa diraih melalui kebijaksanaan, baik dengan mengetahui
kebenaran maupun melaksanakan kebaikan.
Filsafat yang merupakan manhaj orang-orang
Yunani dalam berfikir dan merenung untuk mendapatkan kebenaran dan kebaikan
telah menipu sebagian kaum muslimin yang lemah iman dan jahil. Padahal Islam
sama sekali tidak membutuhkan ilmu filsafat, ilmu kalam atau mantiq dalam
memahami dan menerapkannya. Logika sehat ini telah menjadi aqidah yang sangat
dalam di kalangan kaum muslimin di masa sohabat, tabi`in dan tabi`ut tabi`in.
Mengapa Islam tak membutuhkan sama sekali ilmu filsafat, ilmu kalam atau
mantiq? Jawabnya dapat kita renungkan dari poin-poin berikut ini:
1. Islam yang termaktub dalam Al Qur`an dan hadits-hadits
Rosululloh saw sama sekali tidak memerintahkan atau menganjurkan umatnya untuk
memahami Islam melalui ilmu filsafat, ilmu kalam atau logika. Bahkan banyak
sekali ayat-ayat Al Qur`an dan hadits-hadits Rosululloh saw yang membantah dan
meluluhlantahkan logika-logika di luar wahyu yang telah menjadi manhaj umumnya
manusia di saat itu (masa jahiliyah yang tersebar di seluruh bagian dunia
seperti Persia,
Romawi dan bangsa Arab).
Alloh Swt berfirman :
Maka patutkah Aku mencari hakim selain daripada Alloh,
padahal Dialah yang telah menurunkan Kitab (Al Quran) kepada kalian dengan
terperinci? orang-orang yang telah kami datangkan Kitab kepada mereka, mereka
mengetahui bahwa Al Quran itu diturunkan dari Rob kalian dengan sebenarnya.
Maka janganlah kalian sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu. Telah
sempurnalah kalimat Rob kalian (yaitu Al-Quran) sebagai kalimat yang benar dan
adil. tidak ada yang dapat merobah-robah kalimat-kalimat-Nya dan Dia lah yang
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Dan jika kamu (Ya Rosululloh) menuruti
kebanyakan orang-orang yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan
menyesatkanmu dari jalan Alloh. Mereka hanya mengikuti persangkaan belaka, dan
mereka hanyalah berdusta (terhadap Alloh). Sesungguhnya Robmu, Dia-lah yang
lebih mengetahui tentang orang yang tersesat dari jalan-Nya dan dia lebih
mengetahui tentang orang orang yang mendapat petunjuk. (Qs. Al
An`am [6]: 114-117)
Ibnu Katsir rhm (Wafat: 774 H) berkata tentang tafsir ayat
ini :
“Firman Alloh Swt (Telah sempurnalah kalimat Rob
kalian/ yaitu Al Qur`an sebagai kalimat yang benar dan adil) menurut Qotadah :
benar tentang janji-janjiNya dan adil tentang hukumNya. Artinya : Jujur dalam
berbagai beritaNya dan adil dalam berbagai perintah laranganNya. Setiap khobar
yang disampaikanNya adalah kebenaran yang tidak mengandung keraguan atau
kegamangan. Setiap perintah yang diberikanNya adalah keadilan yang tidak ada
lagi tandingan selainNya. Setiap yang dilaranganNya adalah kebatilan, karena
Dia tidak melarang sesuatu kecuali pasti mengandung mafsadah…”
Di bagian lain beliau menjelaskan :
“Alloh swt mengkhabarkan (dalam ayat ini) tentang
kondisi mayoritas manusia penghuni bumi yang berada dalam kesesatan”. (Tafsir
Ibnu Katsir : 3/1351)
2. Kaum salafus solih (para ulama yang hidup di 3 kurun
terbaik umat Islam) sama sekali tidak mengenal ilmu kalam apalagi untuk
digunakan sebagai alat memahami kebenaran atau kebaikan hakiki.
Kita telah mengetahui dengan sangat jelas bahwa Rosululloh
saw telah memuji para salafus solih dengan gelar masa terbaik, terbaik dalam
agamanya, akhlaknya, dalam seluruh sifat-sifat kemuliaan. Rosululloh saw
bersabda:
خَيْرُ
النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِى يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِى يَلُوْنَهُمْ
“Sebaik-baik manusia adalah di masaku, kemudian
manusia-manusia satu masa setelah itu, kemudian manusia-manusia satu masa lagi
setelah itu…”
(Hr. Bukhori: 6429)
Bahkan Alloh Swt memerintahkan manusia untuk mengikuti
salafus solih (terutama para sohabat Nabi saw) dengan baik dan mengukur semua
kebenaran iman dan keberagamaan mereka dengan iman dan keberagamaan para
sohabat beliau saw.
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama
(masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Ansor dan orang-orang yang mengikuti
mereka dengan baik, Alloh rido kepada mereka dan merekapun rido kepada Alloh
dan Alloh menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di
dalamnya selama-lamanya, mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.
(Qs. At Taubah [9]: 100)
Jika mereka beriman seperti apa-apa yang kalian (hai
orang-orang yang beriman bersama Rosululloh saw) telah imani, sungguh mereka
telah mendapat hidayah; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada
dalam kesesatan. Alloh akan memelihara kamu dari mereka. dan Dia-lah yang Maha
mendengar lagi Maha Mengetahui. (Qs. Al Baqoroh [2]: 137)
Alloh Swt juga telah menetapkan bahwa berpaling dari cara
berpikir dan beramal para sohabat Rosululloh saw merupakan ciri kaum munafiqin.
Apabila dikatakan kepada mereka: “Berimanlah kalian
sebagaimana orang-orang itu (yaitu para sohabat Nabi saw) beriman.” mereka
menjawab: “Kami harus beriman sebagaimana orang-orang yang bodoh itu beriman?”
Ingatlah, Sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh; tetapi mereka tidak
tahu. (Qs. Al Baqoroh [2]: 13)
Akan tetapi sepanjang sejarah kehidupan mereka, kita tidak
pernah dapati mereka mengetahui ilmu kalam atau menggunakannya dalam keilmuan
dan keberagamaan mereka. Mereka sudah sangat cukup cerdas dan mulya dengan apa
yang mereka dapatkan dalam Al Qur`an dan Sunnah Rosululloh saw. Mari kita simak
beberapa perkataan mereka yang mulia, di antaranya :
Abu Dzar rda berkata :
“Sesungguhnya Nabi saw telah meninggalkan kita.. tidak ada
seekor burungpun yang mengepakkan sayapnya di atas langit, kecuali beliau saw
sebutkan ilmu tentangnya”. (Hr. Imam Ahmad dalam Musnadnya: 5/153)
Waktu seseorang bertanya kepada Salman Al Farisi rda :
“Apakah nabi kalian mengajarkan segala sesuatu sampai
masalah beristinja?”
Beliau rda menjawab :
“Ya betul”. (Hr. Muslim: 262)
Az Zuhri rhm berkata :
مِنَ
اللهِ عَزَّ وَجَلَّ اَلرِّسَالَةُ وَعَلَى الرَّسُوْلِ اَلْبَلاَغُ وَعَلَيْنَا
اَلتَّسْلِيْمُ
“Dari Alloh adalah risalah, kewajiban Rosululloh saw
adalah menyampaikan. Sedangkan kewajiban kita adalah taslim (menerima total dan
utuh)”. (Hr. Bukhori: 46)
Ilmu kalam dilahirkan oleh logika dan mantiq orang-orang
musyrik yang sama sekali tidak beriman kepada Alloh Swt. Ilmu kalam, filsafat
atau mantiq merupakan aturan logika yang dilahirkan oleh para filosof Yunani
(plato, aristoteles dengan teori filsafatnya masing-masing). Mereka adalah
masyarakat paganisme (musyrikin) yang tidak sama sekali mengenal ajaran para
nabi dan rosul.
Pantaskah logika kaum musyrikin
kafir dijadikan manhaj atau metode berpikir dan menerapkan Islam yang benar?
Syihristani rhm berkata :
“awal syubhat yang terjadi pada makhluk adalah syubhat Iblis (semoga Alloh
melaknatnya). Sumber Iblis adalah keterlaluanyya dalam ro`yu
(pandangan-pandangan logika) untuk menentang nash dan upayanya lebih memilih
hawa untuk menentang perintah Alloh serta kesombongannya dengan bahan mentah
asal pencptaanya, yaitu api dibandingkan bahan mentah asal penciptaan Adam,
yaitu tanah”. (Al Milal wa An Nihal: 1/16)
3. Perlu diingat dengan sangat tegas bahwa saat seorang
muslim lari dari jalan Al Qur`an, as Sunnah dan pemahaman salafus solih
ternyata yang lahir setelah itu adalah kumpulan kegelisahan, kegamangan dan
kebingungan. Kebingungan orang-orang berotak cerdas. Al Juwainy adalah salah
satu contohnya. Anda mungkin tahu bahwa cendekiwan satu ini sangat dikagumi
kecerdasannya, sehingga di zamannya ia diberi predikat Imam al Haramain (imam
dua negri suci, Mekkah dan Madinah). Jiwanya gelisah dalam
perdebatan-perdebatan filsafat itu. Meskipun ia dapat dikatakan telah sampai
pada puncak kepakaran dalam banyak disiplin ilmu. Tapi tetap saja gelisah.
Kegelisahan yang akhirnya melahirkan penyesalan mendalam. Di penghujung hayatnya,
ia pernah berucap dengan tegas pada murid-muridnya : “Wahai sahabat-sahabatku,
jangan sekali-kali kalian menyibukkan diri dengan ilmu Kalam, andai saja dahulu
aku mengetahui bahwa ilmu ini hanya akan membawaku pada keadaan sekarang ini,
sungguh aku tak akan mempelajarinya.”
Sang cendekiawan ini kemudian meninggal dengan dada yang
disesaki oleh penyesalan. Salah satu ucapannya yang sempat tercatat saat itu
adalah “Sungguh aku telah tenggelam dalam laut yang mengombang-ambingkan,
kutinggalkan ilmu-ilmu kaum muslimin yang sesungguhnya, lalu aku masuk
mempelajari apa yang telah mereka larang. Dan sekarang, duhai, jika saja Allah
tidak menolongku dengan rahmatNya, maka kebinasaanlah untuk putra Al Juwainy
ini. Inilah aku, aku mati dengan meyakini agama orang-orang badui.”
Al Ghazaly –semoga Allah mengampuni kita dan beliau- adalah
contoh lain dalam masalah ini. Siapa gerangan yang tak mengenal sang hujjatul
Islam ini. Perjalanan panjang dan kesungguhannya yang kuat mengantarkan ia
menjadi seorang ulama yang dikenal sangat cerdas (meskipun cerdas saja tak
cukup). Tapi siapa yang mengira bahwa dengan karya sepopuler Ihya’ ‘Ulumuddin
ternyata ia juga terjebak dalam kegelisahan dan kebingungan. Hal itu kemudian
mendorongnya menulis sebuah buku yang mengingatkan orang untuk tidak mengikuti
jejaknya mempelajari ilmu Kalam. Buku itu berjudul Iljaam Al ‘Awaam ‘an ‘ilmil
Kalam.
Syihristani rhm berkata :
Bencana filsafat, ilmu kalam atau logika yunani ini sebenarnya dibawa ke dalam tubuh umat Islam telah dimulai sejak masa Dinasti Umayyah (40-132 H/661-750 M) tepatnya pada masa pemerintahan Khalid Bin Yazid Bin Muawiyah (wafat thn 85 H/704 M) sebagaimana dipertegas oleh Ibn An Nadim dan Al Jahizh. (lihat: al fihrist karya Ibn An nadim, Hal: 242 dan rasa’il jahiz karya al jahiz, Hal: 93). Akan tetapi titik terparah pengaruh Yunani ini terjadi pada masa kejayaan Daulah Abbasiyah pada masa al Ma’mun dimana pada tahun 830 H membangun Bayt al Hikmah (rumah kebijaksanaan), sebuah perpustakaan, akademi, sekaligus biro penerjemah, yang dalam berbagai hal merupakan lembaga pendidikan paling penting sejak berdirinya museum Iskandariyah pada paruh pertama abad ke-3 S.M.
Era Penerjemahan pada masa Dinasti
Abbasiyah berlangsung selama satu abad yang telah dimulai sejak 750 M. Karena
kebanyakan penerjemah adalah orang yang berbahasa Aramik, maka berbagai karya
Yunani pertama kali diterjemahkan ke dalam bahasa Aramik (Suriah) sebelum
akhirnya diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Salah satu penerjemah pertama dari
bahasa Yunani adalah Abu Yahya ibn al Bathriq yang dikenal karena menerjemahkan
karya-karya Galen dan Hippocrates untuk al Mansur, dan karya Ptolemius untuk
khalifah lainnya. Penerjemah awal lainnya adalah seorang Suriah Kristen,
Yuhanna (Yahya) ibn Masawayh, murid Jibril in Bakhtisyu, dan guru Hunayn ibn
Ishaq yang diriwayatkan telah menerjemahkan beberapa manuskrip untuk al Rasyid,
terutama manuskrip tentang kedokteran yang dibawa khalifah dari Ankara dan
Amorium.
Hunayn ibn Ishaq disebut-sebut sebagai
“ketua para penerjemah”, seorang sarjana terbesar dan figur terhormat pada
masanya. Hunayn adalah penganut sekte ibadi, yaitu pemeluk Kristen
Nestor dari Hirah. Dalam faktanya, Hunayn memang telah menerjemahkan naskah
berbahasa Yunani ke dalam bahasa Suriah, dan rekan-rekannya melakukan langkah
berikutnya, yaitu menerjemahkan ke dalam bahasa Arab. Hermeneutica karya
Ariestoteles, misalnya, diterjemahkan pertama kali ke dalam bahasa Suriah oleh
ayahnya, untuk selanjutnya diterjemahkannya kembali ke dalam bahasa Arab.
Seperti halnya Hunayn yang mengambil
posisi terdepan dalam kelompok penerjemah dari penganut Kristen Nestor, Tsabit
ibn Qurrah juga berada pada barisan pertama kelompok penerjemah lainnya yang
direkrut dari orang Saba, penyembah berhala dari Harran. Prestasi besar Tsabit
dilanjutkan oleh anaknya Sinan serta dua cucunya Tsabit dan Ibrahim, kemudian
anak cucunya Abu al Faraj. Seluruh orang-orang tersebut dikenal sebagai
penerjemah dan ilmuan.
Dari sini tampak jelas di hadapan kita
bahwa orang-orang yang andil dalam dunia filsafat pada mulanya adalah kaum
nasrani yang kafir serta kaum zindiq. Tak ada satu ulama pun di kalangan para
tabi`in, maupun tabi`ut tabi`in apalagi di kalangan para sohabat yang
menyebut-nyebutnya apalagi menggunakannya dalam memahami dan melaksanakan
Islam. Bahkan banyak sekali riwayat yang menyatakan bahwa para ulama di saat
itu sangat menentang penggunaan filsafat, ilmu kalam atau mantiq dalam memahami
Islam.
Ibnu Rusyd al-Hafiid (Muhamad ibn Ahmad ibn Rusyd
al-Andalusi. Wafat tahun 595 H). Dia telah mendalami dan menyibukan dirinya
dengan ilmu kalam sampai dia menjadi orang yang paling piawai dalam manhaj
filsafat dan pandangan-pandangan para tokohnya. Akan tetapi pada akhirnya dia
menolak bahkan mendebat serta membantah manhaj ini setelah jelas kesalahan dan
kerusakannya. Di antara kitab terbaiknya dalam hal itu adalah (Al-Kasyf ‘an
Manahijil Adillah fii ‘Aqoidil Millah). Dia kembali meniti manhaj
al-qur’an dan banyak mengkritisi madrasah-madrasah ilmu kalam. Dan dia
mengatakan di dalam kitabnya (tahafutut tahafut): Apakah masih dianggap
orang yang hanya pandai berbicara tentang ilahiyah?
Begitu juga Abu Abdillah Muhammad ibn Umar Ar-Rozy, dia
bersyair dalam kitabnya (Aqsamulladzat):
Akhir langkah
logika adalah kekacauan.
dan penghujung
usaha dunia adalah kesesatan.
Ruh-ruh yang
berada di jasad selalu galau…
Hasil dunia
hanyalah kepedihan dan bencana.
Kami tidak
mendapatkan faidah dari pembahasan sepanjang usia, kecuali kumpulan katanya
begini dan begitu.
Berapa banyak kami
melihat seorang rijal dan sebuah negri, maka tampaklah semuanya lenyap dan
sirna.
Berapa banyak
gunung yang menjulang kemuliaannya, saat seorang rijal telah sirna tetapi
gunung tetaplah gunung
Kemudian dia berkata: Aku telah memperhatikan manhaj kalam
dan filsafat, maka kulihat hal itu tidak dapat menyembuhkan penyakit dan tidak
dapat menghilangkan dahaga. Kemudian akupun melihat bahwa jalan yang paling
benar adalah jalan al-Qur’an. Di dalam itsbat (penetapan sifat Alloh)
aku membaca firmanNya:
Alloh yang Maha Pemurah yang bersemayam di atas ‘Arsy (Thoha:5)
Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik (Fatir:10)
Dan di dalam nafyi (peniadaan sifat bagi Alloh)
akupun membaca firmanNya:
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia (Assyuro:11)
Sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya. (Thoha:110)
Kemudian dia berkata: barangsiapa yang bereksperimen
seperti eksperimenku, niscaya dia akan tahu seperti yang aku ketahui sekarang
(kebingungan dan penyesalan).
Syekh Abu Abdillah Muhammad bin Abdul Karim As-Sihrisytani
yang wafat tahun 548 H, pun telah berkata: Tidak ada seorangpun yang mendalami
falsafat dan ilmu kalam kecuali datang kebingungan dan penyesalan, kemudian dia
bersyair:
Aku telah
mengelilingi berbagai universitas sepanjang umurku,
Akupun telah
menempuh berbagai lembaga-lembaga ilmiyah, tapi aku tidak pernah melihat
kecuali orang yang meletakan tangannya di bawah dagu karena bingung kemudian
menyesal.
Dan dikatakan pula bahwa Imam Zamakhsyari yang wafat tahun
537 H, pada akhir hayatnya bertaubat dari pemahaman mu’tazilah. Dari sebagian
syairnya yang indah tentang masalah ini adalah:
Wahai Dzat
yang melihat sayap nyamuk pada gelam malam. Dan melihat urat yang menempel pada
lehernya juga sum-sum yang ada pada tulang lebah. Anugrahkanlah padaku ampunan
yang akan menghapuskan dosa-dosaku pada zaman dahulu.
Semua ulama salafus solih sangat mencela ilmu kalam dan
banyak sekali mengingatkan besarnya bahaya akibat mempelajari dan menyebarnya
ilmu kalam. Marilah kita simak beberapa perkataan mereka:
Abu Hanifah rhm pernah ditanya : “apa pendapat anda
tentang hal-hal baru yang diperbincangkan orang tentang `ard dan jism?”
Beliau rhm menjawab : “Semua itu adalah makalah-makalah filsafat. Berpegang
teguhlah anda dengan atsar dan metode salaf. Waspadalah setiap konsep baru,
karena semua itu adalah bid`ah”. (Al Hujjah fi Bayanil Mahajjah: 8
serta Sounul Mantiq: 32).
Abdurrohman bin Mahdi rhm bercerita : Aku pernah menemui
Malik di mana saat itu ada seorang laki-laki yang bertanya kepadanya tentang Al
Qur`an. Beliau rhm berkata : “Anda pengikut `Amr bin `Ubaid? Alloh melaknat
`Amr, karena membuat-buat bid`ah ilmu kalam. Seandainya ilmu kalam itu ilmu,
niscaya seluruh sohabat Nabi saw tabi`in menggunakannya dalam ilmu-ilmu hokum
dan syari`at-syari`at mereka. Sesungguhnya ilmu kalam itu batil yang menunjukan
kebatilan”. (Dzammul Kalam : 294)
Abu Yusuf (Ya`qub bin Ibrohim al Qodhi. Wafat : 183 H)
berkata :
“Barangsiapa mencari agama dengan ilmu kalam, pasti dia
zindiq. Barangsiapa yang mencari makna-makna gorib hadits, pasti dia berdusta.
Barangsiapa yang mencari harta dengan kimia (sulap), pasti dia bangkrut”.
(Dzammul Kalam: 326)
Sehingga Al Imam Syafi’i mengatakan : ‘Hukuman terhadap
ulama ilmu kalam ialah mereka ini dipukul dengan pelepah kurma dan kemudian
dikelilingkan di berbagai kampung dan kabilah untuk dinyatakan di hadapan
mereka : Inilah balasan bagi orang yang meninggalkan Al Kitab dan As Sunnah dan
terjun dalam ilmu kalam.’ (Hr. al-Harowi dalam kitab Dzammul
Kalam: 356)
Berkata Al Imam Ahmad bin Hambal : “Ulama ilmu kalam
itu adalah para zindiq (yakni orang-orang yang menyembunyikan di hatinya
kekafiran, tetapi menampakkan
keimanan).” (Talbis Iblis: 83)
keimanan).” (Talbis Iblis: 83)
Imam al Barbahari (Muhammad Al Hasan bin Ali bin Kholf.
Wafat : 329 H) rhm berkata :
“Ketahuilah… Tidak ada kezindiqan, kekufuran,
keragu-raguan, kebid`ahan, kesesatan dan kebingungan dalam agama kecuali
disebabkan ilmu kalam, ahli kalam, perdebatan dan peseteruan”. (Syarh
as Sunnah : 38)
by: Blackberry Daily Hikmah @huwaAsSunnah
[Re-published oleh; Abi Zam - www.kisahrasulnabisahabat.blogspot.com]
[Re-published oleh; Abi Zam - www.kisahrasulnabisahabat.blogspot.com]
Tuhan ada dimana-mana? Toilet?!! Ini KELIRU !
Al Lajnah Ad Da-imah (Komisi Fatwa di Saudi Arabia) ditanya, "Bagaimana menyanggah orang yang
mengatakan bahwa ‘Allah ada di mana-mana’ –Maha Suci Allah dari
perkataan semacam ini- dan apa hukum mengatakan seperti itu?"
Jawaban:[Pertama]
Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah meyakini bahwa dzat Allah subhanahu wa ta’ala bersemayam di atas ‘Arsy, Dia tidaklah berada di alam ini (sebagaimana makhluk-Nya), bahkan Allah terpisah dari makhluk-Nya. Namun Allah tetap mengetahui segala sesuatu, tidak ada sesuatu di bumi dan di langit yang samar dari-Nya. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ
وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan
bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy.” (QS. Al A’rof :
54)
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“ (Yaitu) Rabb Yang Maha Pemurah yang bersemayam di atas 'Arsy.”
(QS. Thoha [20] : 4-5)
ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ الرَّحْمَنُ فَاسْأَلْ
بِهِ خَبِيرًا
“Kemudian Allah bersemayam di atas Arsy, (Dialah) Yang Maha Pemurah,
maka tanyakanlah (tentang Allah) kepada yang lebih mengetahui (Muhammad)
tentang Dia.” (QS. Al Furqon [25] : 59)
اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا
بَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
“Allah lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara
keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy.” (QS. As Sajdah
[32] : 4)
وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي
سِتَّةِ أَيَّامٍ وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ
“Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan
adalah singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air.” (QS. Hud [11] : 7)Dan yang menunjukkan bahwa Allah berada di atas seluruh makhluk-Nya adalah dalil tentang diturunkannya Al Qur’an dari sisi-Nya. Telah kita ketahui bahwa setiap sesuatu yang turun itu adalah dari atas ke bawah. Allah Ta’ala berfirman,
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ
مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ
“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur'an dengan membawa kebenaran,
membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya)
dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu.” (QS. Al Ma’idah [5] :
48)
حم (1) تَنْزِيلُ الْكِتَابِ مِنَ اللَّهِ الْعَزِيزِ
الْعَلِيمِ (2)
“Haa Miim. Diturunkan Kitab ini (Al Qur'an) dari Allah Yang Maha Perkasa
lagi Maha Mengetahui.” (QS. Ghofir [40] : 1-2)
حم تَنْزِيلٌ مِنَ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
“Haa Miim. Diturunkan dari Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.”
(QS. Fushshilat [40] : 1-2)Dan masih banyak dalil lainnya yang menjelaskan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala berada di atas sana.
Dalil dari As Sunnah adalah hadits Mu’awiyah bin Al Hakam As Sulamiy dengan lafazh dari Muslim,
“Saya memiliki seorang budak yang biasa mengembalakan kambingku sebelum di daerah antara Uhud dan Al Jawaniyyah (daerah di dekat Uhud, utara Madinah, pen). Lalu pada suatu hari dia berbuat suatu kesalahan, dia pergi membawa seekor kambing. Saya adalah manusia, yang tentu juga bisa timbul marah. Lantas aku menamparnya, lalu mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan perkara ini masih mengkhawatirkanku. Aku lantas berbicara pada beliau, “Wahai Rasulullah, apakah aku harus membebaskan budakku ini?” “Bawa dia padaku,” beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berujar. Kemudian aku segera membawanya menghadap beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya pada budakku ini,
أَيْنَ اللَّهُ
“Di mana Allah?” Dia menjawab,
فِى السَّمَاءِ
“Di atas sana.”
Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi,
مَنْ أَنَا
“Siapa saya?” Budakku menjawab,
أَنْتَ رَسُولُ اللَّهِ
“Engkau adalah Rasulullah.” Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ
“Merdekakanlah dia karena dia adalah seorang mukmin.” (HR. Ahmad
[5/447], Malik dalam Al Muwatho’ [666], Muslim [537], Abu Daud [3282],
An Nasa’i dalam Al Mujtaba’ [3/15], Ibnu Khuzaimah [178-180], Ibnu Abi
‘Ashim dalam As Sunnah [1/215], Al Lalika’iy dalam Ushul Ahlis
Sunnah [3/392], Adz Dzahabi dalam Al ‘Uluw [81])Terdapat juga hadits dari Abu Sa’id Al Khudri,
أَلاَ تَأْمَنُونِى وَأَنَا أَمِينُ مَنْ فِى السَّمَاءِ
يَأْتِينِى خَبَرُ السَّمَاءِ صَبَاحًا وَمَسَاءً
“Tidakkah kalian beriman padaku dan aku beriman pada Rabb yang berada di
atas sana.
Berita langit datang padaku di kala pagi dan sore hari.” (HR. Ahmad
[3/4,68,73], Bukhari [3344, 4351], Muslim [1064], Abu Daud [4764], An Nasa’i
dalam Al Mujtaba [5/87] dan selainnya)[Kedua]
Barangsiapa yang meyakini bahwa Allah berada di mana-mana (di setiap tempat), maka dia termasuk Hululiyah (aliran yang menganggap Allah menyatu dengan makhluk, pen). Untuk membantah keyakinan semacam ini adalah dengan dalil-dalil yang telah lewat yang menyatakan bahwa Allah berada di atas sana. Allah bersemayam di atas ‘Arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya. Hendaklah seorang muslim itu tunduk pada dalil Al Kitab, As Sunnah, dan Ijma’ (kesepakatan para ulama). Jika tidak demikian berarti dia termasuk orang yang kafir, keluar dari Islam.
Adapun firman Allah,
وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ
“Dan Dia bersama kamu di mama saja kamu berada.”(QS. Al Hadid [57]
: 4)Menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah, maksud ayat ini adalah Allah bersama makhluk-makhluk-Nya dengan ilmu-Nya sesuai dengan keadaan mereka.
Adapun firman Allah Ta’ala,
وَهُوَ اللَّهُ فِي السَّمَاوَاتِ وَفِي الْأَرْضِ
يَعْلَمُ سِرَّكُمْ وَجَهْرَكُمْ وَيَعْلَمُ مَا تَكْسِبُونَ
“Dan Dialah Allah (yang disembah), baik di langit maupun di bumi; Dia
mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu lahirkan dan mengetahui
(pula) apa yang kamu usahakan.” (QS. Al An’am [6] : 3)Maksud ayat ini yaitu Allah subhanahu wa ta’ala adalah sesembahan dari makhluk yang berada di langit maupun di bumi.
وَهُوَ الَّذِي فِي السَّمَاءِ إِلَهٌ وَفِي الْأَرْضِ
إِلَهٌ
“Dan Dialah Tuhan (Yang disembah) di langit dan Tuhan (Yang disembah) di
bumi dan Dia-lah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (QS. Az
Zukhruf [43] : 84)Maksud ayat ini yaitu Allah subhanahu wa ta’ala adalah sesembahan (ilah) dari makhluk yang berada di langit dan di bumi, tidak ada yang berhak disembah selain Dia.
Inilah bentuk kompromi yang benar antara ayat dan hadits tentang hal ini (keberadaan Allah di atas sana dan ayat yang menyatakan Allah di mana-mana, namun maksudnya adalah ilmu-Nya, pen).
Semoga Allah memberi taufik (kepada kebenaran). Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyah wal Ifta’
Yang menandatangani fatwa ini:
Anggota : Abdullah bin Qu’ud, Abdullah bin Ghodyan
Wakil Ketua : Abdur Rozak ‘Afifi
Ketua : Abdul ‘Aziz bin Abdillah bin Baz
Fatwa
dari Komisi Tetap Urusan Riset dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi (Al Lajnah Ad
Da’imah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyah wal Iftah) [3/217-219], Pertanyaan Pertama dari
Fatwa no. 5213
[Re-published oleh; Abi Zam - www.kisahrasulnabisahabat.blogspot.com]
TAKDIR ALLAH

Beriman kepada Takdir
Kaum muslimin yang semoga dimuliakan oleh Allah Ta’ala, salah satu rukun iman yang wajib diimani oleh setiap muslim adalah beriman kepada takdir baik maupun buruk.
Perlu diketahui bahwa beriman kepada takdir ada empat tingkatan :
[1] Beriman kepada ilmu Allah yang ajali sebelum segala sesuatu itu ada. Di antaranya seseorang harus beriman bahwa amal perbuatannya telah diketahui (diilmui) oleh Allah sebelum dia melakukannya.
[2] Mengimani bahwa Allah telah menulis takdir di Lauhul Mahfuzh.
[3] Mengimani masyi’ah (kehendak Allah) bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah karena kehendak-Nya.
[4] Mengimani bahwa Allah telah menciptakan segala sesuatu. Allah adalah Pencipta satu-satunya dan selain-Nya adalah makhluk termasuk juga amalan manusia.
Dalil dari tingkatan pertama dan kedua di atas adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya),”Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (QS. Al Hajj [22] : 70). Kemudian dalil dari tingkatan ketiga di atas adalah firman Allah (yang artinya),”Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. At Takwir [81] : 29). Sedangkan untuk tingkatan keempat, dalilnya adalah firman Allah (yang artinya),”Allah menciptakan kamu dan apa saja yang kamu perbuat.” (QS. Ash-Shaffaat [37] : 96). Pada ayat ‘Wa ma ta'malun’ (dan apa saja yang kamu perbuat) menunjukkan bahwa perbuatan manusia adalah ciptaan Allah.
Macam-macam Takdir
Takdir itu ada 2 macam :
[1] Takdir umum mencakup segala yang ada. Takdir ini dicatat di Lauhul Mahfuzh. Dan Allah telah mencatat takdir segala sesuatu hingga hari kiamat. Takdir ini umum bagi seluruh makhluk. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Sesungguhnya yang pertama kali diciptakan Allah adalah qalam (pena). Allah berfirman kepada qalam tersebut,“Tulislah”. Kemudian qalam berkata,“Wahai Rabbku, apa yang akan aku tulis?” Allah berfirman,“Tulislah takdir segala sesuatu yang terjadi hingga hari kiamat.” (HR. Abu Daud. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud).
[2] Takdir yang merupakan rincian dari takdir yang umum. Takdir ini terdiri dari :
(a) Takdir ‘Umri yaitu takdir sebagaimana terdapat pada hadits Ibnu Mas’ud, di mana janin yang sudah ditiupkan ruh di dalam rahim ibunya akan ditetapkan mengenai 4 hal : (1) rizki, (2) ajal, (3) amal, dan (4) sengsara atau berbahagia.
(b) Takdir Tahunan yaitu takdir yang ditetapkan pada malam lailatul qadar mengenai kejadian dalam setahun. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),”Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” (QS. Ad Dukhan [44] : 4). Ibnu Abbas mengatakan,”Pada malam lailatul qadar, ditulis pada ummul kitab segala kebaikan, keburukan, rizki dan ajal yang terjadi dalam setahun.” (Lihat Ma’alimut Tanzil, Tafsir Al Baghowi)
Seorang muslim harus beriman dengan takdir yang umum dan terperinci ini. Barangsiapa yang mengingkari sedikit saja dari keduanya, maka dia tidak beriman kepada takdir. Dan berarti dia telah mengingkari salah satu rukun iman yang wajib diimani.
Salah dalam Menyikapi Takdir
Dalam menyikapi takdir Allah, ada yang mengingkari takdir dan ada pula yang terlalu berlebihan dalam menetapkannya.
Yang pertama ini dikenal dengan Qodariyyah. Dan di dalamnya ada dua kelompok lagi. Kelompok pertama adalah yang paling ekstrim. Mereka mengingkari ilmu Allah terhadap segala sesuatu dan mengingkari pula apa yang telah Allah tulis di Lauhul Mahfuzh. Mereka mengatakan bahwa Allah memerintah dan melarang, namun Allah tidak mengetahui siapa yang ta’at dan berbuat maksiat. Perkara ini baru saja diketahui, tidak didahului oleh ilmu Allah dan takdirnya. Namun kelompok seperti ini sudah musnah dan tidak ada lagi.
Kelompok kedua adalah yang menetapkan ilmu Allah, namun meniadakan masuknya perbuatan hamba pada takdir Allah. Mereka menganggap bahwa perbuatan hamba adalah makhluk yang berdiri sendiri, Allah tidak menciptakannya dan tidak pula menghendakinya. Inilah madzhab mu’tazilah.
Kebalikan dari Qodariyyah adalah kelompok yang berlebihan dalam menetapkan takdir sehingga hamba seolah-olah dipaksa tanpa mempunyai kemampuan dan ikhtiyar (usaha) sama sekali. Mereka mengatakan bahwasanya hamba itu dipaksa untuk menuruti takdir. Oleh karena itu, kelompok ini dikenal dengan Jabariyyah.
Keyakinan dua kelompok di atas adalah keyakinan yang salah sebagaimana ditunjukkan dalam banyak dalil. Di antaranya adalah firman Allah (yang artinya),”(yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. At Takwir [81] : 28-29). Ayat ini secara tegas membantah pendapat yang salah dari dua kelompok di atas. Pada ayat,“(yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus” merupakan bantahan untuk jabariyyah karena pada ayat ini Allah menetapkan adanya kehendak (pilihan) bagi hamba. Jadi manusia tidaklah dipaksa dan mereka berkehendak sendiri. Kemudian pada ayat selanjutnya,”Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam” merupakan bantahan untuk qodariyyah yang mengatakan bahwa kehendak manusia itu berdiri sendiri dan diciptakan oleh dirinya sendiri tanpa tergantung pada kehendak Allah. Ini perkataan yang salah karena pada ayat tersebut, Allah mengaitkan kehendak hamba dengan kehendak-Nya.
Keyakinan yang Benar dalam Mengimani Takdir
Keyakinan yang benar adalah bahwa semua bentuk ketaatan, maksiat, kekufuran dan kerusakan terjadi dengan ketetapan Allah karena tidak ada pencipta selain Dia. Semua perbuatan hamba yang baik maupun yang buruk adalah termasuk makhluk Allah. Dan hamba tidaklah dipaksa dalam setiap yang dia kerjakan, bahkan hambalah yang memilih untuk melakukannya.
As Safariny mengatakan, ”Kesimpulannya bahwa mazhab ulama-ulama terdahulu (salaf) dan Ahlus Sunnah yang hakiki adalah meyakini bahwa Allah menciptakan kemampuan, kehendak, dan perbuatan hamba. Dan hambalah yang menjadi pelaku perbuatan yang dia lakukan secara hakiki. Dan Allah menjadikan hamba sebagai pelakunya, sebagaimana firman-Nya (yang artinya),”Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah” (QS. At Takwir [81] : 29). Maka dalam ayat ini Allah menetapkan kehendak hamba dan Allah mengabarkan bahwa kehendak hamba ini tidak terjadi kecuali dengan kehendak-Nya. Inilah dalil yang tegas yang dipilih oleh Ahlus Sunnah.”
Jangan Hanya Bersandar pada Takdir Allah
Sebagian orang ada yang salah paham dalam memahami takdir. Mereka menyangka bahwa seseorang yang mengimani takdir itu hanya pasrah tanpa melakukan sebab sama sekali. Contohnya adalah seseorang yang meninggalkan istrinya berhari-hari untuk berdakwah keluar kota. Kemudian dia tidak meninggalkan sedikit pun harta untuk kehidupan istri dan anaknya. Lalu dia mengatakan,”Saya pasrah, biarkan Allah yang akan memberi rizki pada mereka”. Sungguh ini adalah suatu kesalahan dalam memahami takdir.
Ingatlah bahwa Allah memerintahkan kita untuk mengimani takdir-Nya, di samping itu Allah juga memerintahkan kita untuk mengambil sebab dan melarang kita bermalas-malasan. Apabila kita telah mengambil sebab, namun kita mendapatkan hasil yang sebaliknya, maka kita tidak boleh berputus asa dan bersedih karena hal ini sudah menjadi takdir dan ketentuan Allah. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Bersemangatlah dalam hal yang bermanfaat bagimu. Dan minta tolonglah pada Allah dan janganlah malas. Apabila kamu tertimpa sesuatu, janganlah kamu berkata: ‘Seandainya aku berbuat demikian, tentu tidak akan begini atau begitu’, tetapi katakanlah: ‘Qodarollahu wa maa sya’a fa’al’ (Ini telah ditakdirkan oleh Allah dan Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya) karena ucapan’seandainya’ akan membuka (pintu) setan.” (HR. Muslim)
Buah dari Beriman kepada Takdir
Di antara buah dari beriman kepada takdir dan ketetapan Allah adalah hati menjadi tenang dan tidak pernah risau dalam menjalani hidup ini. Seseorang yang mengetahui bahwa musibah itu adalah takdir Allah, maka dia yakin bahwa hal itu pasti terjadi dan tidak mungkin seseorang pun lari darinya.
Dari Ubadah bin Shomit, beliau pernah mengatakan pada anaknya, ”Engkau tidak dikatakan beriman kepada Allah hingga engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk dan engkau harus mengetahui bahwa apa saja yang akan menimpamu tidak akan luput darimu dan apa saja yang luput darimu tidak akan menimpamu. Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Takdir itu demikian. Barangsiapa yang mati dalam keadaan tidak beriman seperti ini, maka dia akan masuk neraka.” (Shohih. Lihat Silsilah Ash Shohihah no. 2439)
Maka apabila seseorang memahami takdir Allah dengan benar, tentu dia akan menyikapi segala musibah yang ada dengan tenang. Hal ini pasti berbeda dengan orang yang tidak beriman pada takdir dengan benar, yang sudah barang tentu akan merasa sedih dan gelisah dalam menghadapi musibah. Semoga kita dimudahkan oleh Allah untuk sabar dalam menghadapi segala cobaan yang merupakan takdir Allah.
Ya Allah, kami meminta kepada-Mu surga serta perkataan dan amalan yang mendekatkan kami kepadanya. Dan kami berlindung kepada-Mu dari neraka serta perkataan dan amalan yang dapat mengantarkan kami kepadanya. Ya Allah, kami memohon kepada-Mu, jadikanlah semua takdir yang Engkau tetapkan bagi kami adalah baik. Amin Ya Mujibbad Da’awat.
[Sumber rujukan utama : [1] Al Irsyad ila Shohihil I’tiqod, Syaikh Fauzan Al Fauzan, [2] Syarh Al Aqidah Al Wasithiyyah, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin]
Subscribe to:
Posts (Atom)