Saturday, May 10, 2014

Dalil-Dalil Wajibnya Mendatangi Adzan untuk Sholat Fardhu Berjamaah


Wajibkah Shalat Lima Waktu Berjamaah ?

Shalat berjama’ah adalah termasuk dari petunjuk Rasulullah dan para shahabatnya. Rasulullah dan para shahabatnya selalu melaksanakannya, tidak pernah meninggalkannya kecuali jika ada ‘udzur yang syar’i.

Bahkan ketika Rasulullah sakit pun beliau tetap melaksanakan shalat berjama’ah di masjid dan ketika sakitnya semakin parah beliau memerintahkan Abu Bakar untuk mengimami para shahabatnya. Para shahabat pun bahkan ada yang dipapah oleh dua orang (karena sakit) untuk melaksanakan shalat berjama’ah di masjid.

Kalau kita membaca dan memperhatikan dengan sebaik-baiknya Al-Qur`an, As-Sunnah serta pendapat dan amalan salafush shalih maka kita akan mendapati bahwa dalil-dalil tersebut menjelaskan kepada kita akan wajibnya shalat berjama’ah di masjid.

Diantara dalil-dalil tersebut adalah:

1. Perintah Allah Ta’ala untuk Ruku’ bersama orang-orang yang Ruku’

Dari dalil yang menunjukkan wajibnya shalat berjama’ah adalah firman Allah Ta’ala: “Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat serta ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’.” (Al-Baqarah:43).

Berkata Al-Imam Abu Bakr Al-Kasaniy Al-Hanafiy ketika menjelaskan wajibnya melaksanakan shalat berjama’ah: “Adapun (dalil) dari Al-Kitab adalah firman-Nya: “Dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’.” (Al-Baqarah:43).

Allah Ta’ala memerintahkan ruku’ bersama-sama orang-orang yang ruku’, yang demikian itu dengan bergabung dalam ruku’ maka ini merupakan perintah menegakkan shalat berjama’ah. Mutlaknya perintah menunjukkan wajibnya mengamalkannya.” (Bada`i’ush-shana`i’ fi Tartibisy-Syara`i’ 1/155 dan Kitabush-Shalah hal.66).


2. Perintah melaksanakan Shalat berjama’ah dalam keadaan takut

Tidaklah perintah melaksanakan shalat berjama’ah dalam keadaan biasa saja, bahkan Allah telah memerintahkannya hingga dalam keadaan takut. Allah berfirman: “Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (shahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata…”. (An-Nisa`:102).

Maka apabila Allah Ta’ala telah memerintahkan untuk melaksanakan shalat berjama’ah dalam keadaan takut maka dalam keadaan aman adalah lebih ditekankan lagi (kewajibannya). Dalam masalah ini berkata Al-Imam Ibnul Mundzir: “Ketika Allah memerintahkan shalat berjama’ah dalam keadaan takut menunjukkan dalam keadaan aman lebih wajib lagi.” (Al-Ausath fis Sunan Wal Ijma’ Wal Ikhtilaf 4/135; Ma’alimus Sunan karya Al-Khithabiy 1/160 dan Al-Mughniy 3/5).


3. Perintah Nabi untuk melaksanakan shalat berjama’ah

Al-Imam Al-Bukhariy telah meriwayatkan dari Malik bin Al-Huwairits: Saya mendatangi Nabi dalam suatu rombongan dari kaumku, maka kami tinggal bersamanya selama 20 hari, dan Nabi adalah seorang yang penyayang dan lemah lembut terhadap shahabatnya, maka ketika beliau melihat kerinduan kami kepada keluarga kami, beliau bersabda: “Kembalilah kalian dan jadilah bersama mereka serta ajarilah mereka dan shalatlah kalian, apabila telah datang waktu shalat hendaklah salah seorang diantara kalian adzan dan hendaklah orang yang paling tua (berilmu tentang Al-Kitab & As-Sunnah dan paling banyak hafalan Al-Qur`annya) diantara kalian mengimami kalian.” (Hadits Riwayat Al-Bukhari no. 628, 2/110 dan Muslim semakna dengannya no. 674, 1/465-466).

Maka Nabi yang mulia memerintahkan adzan dan mengimami shalat ketika masuknya waktu shalat yakni beliau memerintahkan pelaksanakannya secara berjama’ah dan perintahnya terhadap sesuatu menunjukkan atas kewajibannya.

4. Larangan keluar dari masjid setelah dikumandangkan adzan

Sesungguhnya Rasulullah melarang keluar setelah dikumandangkannya adzan dari masjid sebelum melaksanakan shalat berjama’ah. Al-Imam Ahmad telah meriwayatkan dari Abu Hurairah ia berkata: “Rasulullah memerintahkan kami, apabila kalian di masjid lalu diseru shalat (dikumandangkan adzan-pent) maka janganlah keluar (dari masjid, red) salah seorang diantara kalian sampai dia shalat (di masjid secara berjama’ah-pent) (Al-Fathur-Rabbani Li Tartib Musnad Al-Imam Ahmad no. 297, 3/43).

5. Tidak Ada Keringanan dari Nabi bagi Orang yang Meninggalkan Shalat Berjama’ah

Sesungguhnya Nabi yang mulia tidak memberikan keringanan kepada ‘Abdullah Ibnu Ummi Maktum untuk meninggalkan shalat berjama’ah dan melaksanakannya di rumah, padahal Ibnu Ummi Maktum mempunyai beberapa ‘udzur sebagai berikut:

a. Keadaannya yang buta,
b. Tidak adanya penuntun yang mengantarkannya ke masjid,
c. Jauhnya rumahnya dari masjid,
d. Adanya pohon kurma dan pohon-pohon lainnya yang menghalanginya antara rumahnya dan masjid,
e. Adanya binatang buas yang banyak di Madinah dan
f. Umurnya yang sudah tua serta tulang-tulangnya sudah rapuh.

Al-Imam Muslim telah meriwayatkan dari Abu Hurairah ia berkata: Seorang laki-laki buta mendatangi Nabi lalu berkata: “Ya Rasulullah, sesungguhnya saya tidak mempunyai seorang penuntun yang mengantarkanku ke masjid”. Lalu ia meminta Rasulullah untuk memberi keringanan baginya untuk shalat di rumahnya maka Rasulullah memberikannya keringanan. Ketika Ibnu Ummi Maktum hendak kembali, Rasulullah memanggilnya lalu berkata: “Apakah Engkau mendengar panggilan (adzan) untuk shalat?” ia menjawab “benar”, maka Rasulullah bersabda: “Penuhilah panggilan tersebut.”

Dan juga banyak dalil-dalil lainnya yang menunjukkan akan wajibnya shalat berjama’ah di masjid bagi setiap muslim yang baligh, berakal dan tidak ada ‘udzur syar’i baginya.


Kaum Muslimah Lebih Utama Shalat di Rumahnya

Adapun bagi kaum muslimah maka yang lebih utama baginya adalah shalat di rumahnya daripada di masjid, sebagaimana disebutkan di dalam Al-Qur`an: “Wa buyuutuhunna khairullahunna” (dan rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka) dan juga hadits-hadits yang sangat banyak yang menjelaskan keutamaan shalat di rumah bagi kaum muslimah. Tapi apabila kaum muslimah meminta idzin untuk shalat di masjid maka tidak boleh dilarang bahkan harus diidzinkan. Tetapi ketika dia keluar ke masjid harus memenuhi syarat-syaratnya yaitu menutupi auratnya secara sempurna, tidak memakai wangi-wangian, tidak ditakutkan menimbulkan fitnah dan yang lainnya yang telah dijelaskan para ‘ulama.

Syaikhul Islam menjelaskan bahwa dalam keadaan tertentu shalatnya muslimah di masjid lebih utama dari pada di rumah ketika di masjid terdapat pelajaran (ta’lim) yang disampaikan oleh ahlus sunnah, tetapi jika di masjid tidak ada kajian ‘ilmu maka shalat di rumah lebih baik daripada di masjid.


Mengambil Ilmu Agama Harus dari Orang yang Benar Manhajnya

Dan perlu di ketahui bahwa kita tidak boleh mengambil ‘ilmu dari sembarang orang, tapi harus dari orang yang sudah jelas manhajnya dan terbukti berpegang teguh dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah dengan pemahaman para shahabat. Kalau ia belum jelas manhajnya dan bahkan dia menyelisihi sunnah (seperti merokok, memotong jenggot, menurunkan kain di bawah mata kaki, bercampur baur dengan orang yang bukan mahramnya dan lainnya dari perkara-perkara yang menyelisihi Sunnah Rasulullah shallohu ‘alaihi wasallam ) maka tidak sepantasnya kita mengambil ‘ilmu darinya. 

Hal ini telah dijelaskan oleh Al-Imam Ibnu Sirin, di mana dia berkata: “Sesungghunya ilmu ini adalah agama maka hendaklah salah seorang dari kalian melihat dari mana ia mengambil agamanya.”, dalam lafazh yang lain ia berkata: “Mereka (salafush-shalih) tidak menanyakan tentang isnad (suatu hadits) tetapi ketika terjadinya fitnah (setelah terbunuhnya ‘Utsman bin ‘Affan-pent) maka mereka mengatakan: “sebutkan sanad kalian!” Maka ketika itu dilihat, apabila ‘ilmu (hadits) itu datang dari Ahlus Sunnah maka diambil haditsnya tetapi apabila datang dari Ahlul Bid’ah maka ditolak haditsnya.” (Lihat Muqaddimah Shahih Muslim).


Akibat yang jelek bagi orang yang tidak memenuhi panggilan untuk bersujud

Dari dalil-dalil yang menunjukkan atas wajibnya shalat berjama’ah adalah apa yang telah dijelaskan oleh Allah Ta’ala dari jeleknya akibat orang yang tidak memenuhi/menjawab panggilan untuk bersujud. Allah berfirman: “Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud maka mereka tidak mampu (untuk sujud). (Dalam keadaan) pandangan mereka tunduk ke bawah lagi mereka diliputi kehinaan. Dan sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud dan mereka dalam keadaan sejahtera.” (Al-Qalam:42-43).

Yang dimaksud dengan “seruan untuk sujud” adalah seruan untuk melaksanakan shalat berjama’ah. Berkata Turjumanul Qur`an ‘Abdullah bin ‘Abbas dalam menafsirkan ayat ini: “Mereka mendengar adzan dan panggilan untuk shalat tetapi mereka tidak menjawabnya” (Ruhul Ma’ani 29/36).

Dan sungguh tidak hanya seorang dari salafnya ummat ini yang menguatkan tafsiran ini, atas dasar inilah berkata Ka’ab Al-Ahbar: “Demi Allah tidaklah ayat ini diturunkan kecuali terhadap orang-orang yang menyelisihi dari (shalat) berjama’ah.” (Tafsir Al-Baghawiy 4/283, Zadul Masir 8/342 dan Tafsir Al-Qurthubiy 18/251).

Telah Berkata Sa’id bin Jubair: “Mereka mendengar (panggilan) ‘Hayya ‘alal falaah’ tetapi tidak memenuhi panggilan tersebut.” (Tafsir Al-Qurthubiy 18/151 dan Ruhul Ma’ani 29/36).

Berkata Ibrahim An-Nakha’iy: “Yaitu mereka diseru dengan adzan dan iqamah tetapi mereka enggan (memenuhi seruan tersebut).” (Tafsir Al-Qurthubiy 18/151 dan Ruhul Ma’ani 29/36).

Berkata Ibrahim At-Taimiy: “Yakni (mereka diseru) kepada shalat yang wajib dengan adzan dan iqamah.” (Tafsir Al-Baghawiy 4/283).

Dan sejumlah ahli tafsir telah menjelaskan juga bahwasanya dalam ayat ini terdapat ancaman bagi orang yang meninggalkan shalat berjama’ah. Atas dasar/jalan ini berkata Al-Hafizh Ibnul Jauziy: “Dan dalam ayat ini terdapat ancaman bagi orang yang meninggalkan shalat berjama’ah.” (Zadul Masir 8/342).

Berkata Al-Imam Fakhrurraziy (tentang ayat): “Dan sungguh mereka pada waktu di dunia telah diseru untuk sujud sedang mereka dalam keadaan sejahtera.” (Al-Qalam:43), yakni ketika mereka diseru kepada shalat-shalat (yang wajib) dengan adzan dan iqamah sedang mereka dalam keadaan sejahtera, mampu untuk melaksanakan shalat. Dalam ayat ini terdapat ancaman terhadap orang yang duduk (tidak menghadiri) dari shalat berjama’ah dan tidak memenuhi panggilan mu`adzdzin sampai ditegakkannya iqamah shalat berjama’ah.” (At-Tafsirul-Kabir 30/96).

Berkata Al-Imam Ibnul Qayyim: “Dan telah berkata lebih dari satu dari salafush shalih tentang firman Allah Ta’ala: “Dan sungguh mereka pada waktu di dunia telah diseru untuk sujud sedang mereka dalam keadaan sejahtera.” (Al-Qalam:43), yaitu ucapan mu`adzdzin: “hayya ‘alash-shalaah hayya ‘alal-falaah”.

Ini merupakan dalil yang dibangun di atas dua perkara:
  • Yang pertama: bahwasanya memenuhi panggilan itu adalah wajib
  • Yang kedua: tidak bisa memenuhi panggilan tersebut kecuali dengan hadir dalam shalat berjama’ah.

Hal tersebut di atas (kewajiban shalat berjama’ah di masjid-pent) adalah yang telah difahami oleh golongan yang paling ‘alim dari ummat ini dan yang paling fahamnya yaitu dari kalangan para shahabat radhiyallahu ‘anhum. (Ibnul Qayyim, Kitabush shalah hal. 65).

Adapun yang menguatkan akan wajibnya shalat berjama’ah juga adalah apa yang telah disebutkan oleh ‘Abdullah bin ‘Abbas dari jeleknya akibat orang yang meninggalkannya. Sungguh Al-Imam Ibnu Abi Syaibah telah meriwayatkan dari Mujahid dari Ibnu ‘Abbas ia berkata: Telah berselisih atasnya seorang laki-laki yang berpuasa sepanjang siang dan shalat sepanjang malam tapi tidak menghadiri shalat jum’at dan tidak pula shalat berjama’ah, maka ia berkata: “Dia di neraka.” (Al-Mushannaf 1/346 dan Jami’ut-Tirmidzi 1/188 dicetak dengan Tuhfatul Ahwadzi).

Sebagai penutup kami bawakan ucapannya Ibrahim bin Yazid At-Taimiy, ia berkata: “Apabila Engkau melihat/mendapatkan orang yang mengenteng-entengkan (bermudah-mudahan) dalam masalah takbiratul ihram, maka bersihkanlah badanmu darinya.” (Siyar A’lamin Nubala` 5/62, lihat Dharuratul Ihtimam hal. 83).

Dari ucapan beliau ini, terdapat isyarat agar kita berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan takbiratul ihram dalam shalat berjama’ah. Maka seyogyanya bagi kita untuk memperhatikan aktivitasnya masing-masing.

Hendaklah ketika keluar atau bepergian melihat waktu shalat. Ketika waktu adzan dikumandangkan sebentar lagi sekitar 5 atau 10 menit maka kita selayaknya memperhatikannya, apakah keluarnya kita bisa mengejar untuk mendapatkan takbiratul ihram atau tidak? Jika tidak, lebih baik kita menunggu sampai kita selesai melaksanakan shalat.

Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang mencintai Sunnah Rasulullah, mengamalkannya, menjaganya dengan sebaik-baiknya dan membelanya dari para penentangnya, Amin. Wallahu a’lamu bish-shawab.

Mutiara Kalam

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya barangsiapa diantara kalian yang hidup sepeninggalku nanti maka ia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Al-Khulafa` Ar-Rasyidin yang terbimbing, berpeganglah erat-erat dengannya dan gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham…” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ad-Darimi dan lainnya dari Al-’Irbadh bin Sariyah, lihat Irwa`ul Ghalil no. 2455).

Maraji’:
1. Ahammiyyatu Shalatil Jama’ah, Dr. Fadhal Ilahi
2. Dharuratul Ihtimam bissunnanin Nabawiyyah, Asy-Syaikh ‘Abdussalam bin Barjas
3. Shahih Muslim
4. Fatwa-fatwa Asy-Syaikh Al-Albaniy

(Sumber : Bulletin Al Wala wal Bara’ Edisi 38/01/2003. Diterbitkan Yayasan Forum Dakwah Ahlussunnah Wal Jamaah Bandung)

Thursday, April 10, 2014

Hikmah Selisih Pendapat - Pemilu 2014 - Akhlaq Al-Imam Asy-Syafi'i


Perbedaan pendapat di kalangan penuntut ilmu dalam menyikapi boleh tidaknya ikut memilih dalam pemilu tidaklah membuat mereka bercerai-berai. Inilah sikap yang harus dimiliki dan dijadikan prinsip oleh seorang penuntut ilmu.

Berikut adalah hikmah yang bisa kita ambil dari akhlaq mulia Al-Imam Asy-Syafi'i:


Imam Syafi’i Menyeru akhlak yang mulia


هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولاً مِّنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا مِن قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ

“Hendaklah diketahui bahwa Ahlus Sunnah sejati adalah mereka yang mengamalkan ajaran Islam secara sempurna, baik yang berkenaan dengan aqidah maupun akhlak. Termasuk pemahaman yang keliru: prasangka bahwa sunni atau salafi adalah orang yang merealisasikan aqidah Ahlus Sunnah saja tanpa memperhatikan sisi akhlak dan adab Islam, serta penunaian hak-hak kaum muslimin” [1].



Imam Syafi’i berkata menekankan pentingnya akhlak:


زِيْنَةُ الْعُلَمَاءِ التَّقْوَى وَحِلْيَتُهُمْ حُسْنُ الْخُلُقِ وَجَمَالُهُمْ كَرَمُ النَّفْسِ

“Perhiasan ulama adalah taqwa, mahkota mereka adalah akhlak yang indah, dan keindahan mereka adalah kedermawanan” [2]



Imam Syafi’i dan Adab dalam Dialog/Debat

Imam Syafi’i adalah adalah seorang ulama yang banyak melakukan dialog dan pandai berdialog [3], baik dengan lawan ataupun kawan, semuanya dalam rangka nasehat dan mencari kebenaran, bukan kemenangan. Inilah suatu adab mulia dalam dialog yang seharusnya kita perhatikan bersama, apalagi akhir-akhir ini semakin marak dialog dan debat di sana sini.

Imam Syafi’i berkata:

مَا نَاظَرْتُ أَحَدًا قَطُّ عَلَى الْغَلَبَةِ

“Saya tidak pernah berdebat untuk mencari kemenangan” [4]

Beliau juga berkata:

مَا نَاظَرْتُ أَحَدًا قَطُّ إِلاَّ أَحْبَبْتُ أَنْ يُوَفَّقَ وَيُسَدَّدَ وَيُعَانَ وَيَكُوْنَ عَلَيْهِ رِعَايَةٌ مِنَ اللهِ وَحِفْظٌ وَمَا نَاظَرْتُأَحَدًا إِلاَّ وَلَمْ أُبَالِ بَيَّنَ اللهُ الْحَقَّ عَلَى لِسَانِيْ أَوْ لِسَانِهِ

“Tidaklah saya berdebat kecuali saya berharap agar lawan debatku diberi taufiq dan diberi pertolongan dan dijaga oleh Allah. Dan tidaklah saya berdebat kecuali saya tidak menghiraukan apakah Allah menampakkan kebenaran lewat lisanku atau lisannya”.[5]

Al-Hafizh Ibnu Rojab berkata mengomentari ucapan ini: “Hal ini menunjukkan bahwa beliau tidak mempunyai maksud dan tujuan kecuali nampaknya kebenaran, sekalipun lewat lisan lawan debatnya yang menyelisihinya”.[6]


Kelembutan Imam Syafi’i Terhadap Lawan-nya

Berakhlak baik menghadapi lawan merupakan akhlak indah yang jarang sekali orang bisa menerapkannya, namun Imam Syafi’i termasuk ulama yang mampu menahan dirinya dari sikap emosi dan beliau bisa bersikap arif seperti perintah Allah:

خُذِ العَفْوَ وَأْمُرْ بِالعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الجَاهِلِيْنَ 

Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.(QS. Al-A’raf: 199)

Imam Syafi’i berkata:

قُلْ بِمَا شِئْتَ فِيْ مَسَبَّةِ عِرْضِيْ فَسُكُوْتِيْ عَنِ اللَّئِيْمِ جَوَابُ
مَا أَنَا عَادِمُ الْجَوَابِ وَلَكِنْ مَا مِنَ الأُسْدِ أَنْ تُجِيْبَ الْكِلاَبَ

Berkatalah sesukamu untuk menghina kehormatanku
Diamku dari orang hina adalah suatu jawaban
Bukan berarti saya tidak memiliki jawaban tetapi
Tidak pantas singa meladeni anjing. [7]

Imam Syafi’i juga pernah mengatakan:

يُخَاطِبُنِيْ السَّفِيْهُ بِكُلِّ قُبْحٍ فَأَكْرَهُ أَنْ أَكُوْنَ لَهُ مُجِيْبَا
يَزِيْدُ سَفَاهَةً فَأَزِيْدُ حِلْمًا كَعُوْدٍ زَادَهُ الاِحْرَاقُ طِيْبَا

Orang pandir mencercaku dengan kata-kata jelek
Maka saya tidak ingin untuk menjawabnya
Dia bertambah pandir dan saya bertambah lembut
Seperti kayu wangi yang dibakar malah menambah wangi.[8]

Subhanallah, demikianlah akhlak yang indah.


Imam Syafi’i dan Tazkiyatun Nufus

Tazkiyatun Nufus (penyucian jiwa) adalah perkara yang sangat penting sekali, bahkan merupakan salah satu tugas inti dari dari dakwah Nabi Muhammad.

“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata." (QS. Al-Jumu’ah: 2).


Imam Syafi’i menyeru kepada keikhlasan, beliau berkata:

رِضَا النَّاسِ غَايَةٌ لاَ تُدْرَكُ لَيْسَ إِلَى السَّلاَمَةِ مِنَ النَّاسِ سَبِيْلٌ. فَانْظُرْ مَا فِيْهِ صَلاَحُ نَفْسِكَ فَالْزَمْهُوَدَعِ النَّاسَ وَمَا هُمْ فِيْهِ

“Ridho semua manusia adalah tujuan yang tidak mungkin digapai, tidak ada jalan untuk selamat dari omongan orang. Maqka lihatlah kebaikan hatimu, peganglah dan biarkan manusia berbicara sekehendak mereka”.[9]

وَدِدْتُ أَنَّ كُلَّ عِلْمٍ أَعْلَمَهُ تَعَلَّمَهُ النَّاسُ أُوْجَرُ عَلَيْهِ وَلاَ يَحْمَدُوْنِي

“Saya ingin kalau setiap ilmu yang saya ketahui dipelajari oleh manusia kemudian saya diberi pahala dan mereka tidak memuji saya”.[10]


Imam Syafi’i juga menyeru kepada ketaqwaan, beliau berkata:

مَنْ لَمْ تَعُزُّهُ التَّقْوَى فَلاَ عِزَّ لَهُ

“Barangsiapa yang tidak mulia dengan taqwa maka tidak ada kemuliaan baginya”.[11]


Imam Syafi’i menganjurkan sifat tawadhu’ (rendah diri), beliau berkata:

يَنْبَغِيْ لِلْفَقِيْهِ أَنْ يَضَعَ التُّرَابَ عَلَى رَأْسِهِ تَوَاضُعًا لِلَّهِ، وَشُكْرًا لِلَّهِ

“Hendaknya bagi seorang yang berilmu untuk meletakkan tanah di atas kepalanya sebagai sikap tawadhu’ kepada Allah dan syukur kepadaNya”.[12]


Dekianlah penjelasan tentang prinsip-prinsip imam Syafi’i dalam beragama, semoga kita semua bisa meneladani beliau dalam mengamalkan agama yang mulia ini.

Foot Note:
[1] An-Nashîhah Fima Yazibu Muro’atuhu (hal. 13) oleh Dr. Ibrahim ar-Ruhaili.
[2] Tawali Ta’sis hlm. 135 oleh Ibnu Hajar.
[3] Menakjubkan ucapan Harun bin Sa’id: “Seandainya Syafi’i berdebat untuk mempertahankan pendapat bahwa tiang yang pada aslinya terbuat dari besi adalah terbuat dari kayu niscaya dia akan menang, karena kepandainnya dalam berdebat”. (Manaqib Aimmah Arbaah hlm. 109 oleh Ibnu Abdil Hadi).
[4] Tawali Ta’sis hlm.113 oleh Ibnu Hajar.
[5] Idem hlm. 104.
[6] Al-Farqu Baina Nashihah wa Ta’yir hlm. 9, tahqiq Ali bin Hasan al-Halabi.
[7] Diwan Asy-Syafi’i hal. 44
[8] Diwan Asy-Syafi’i hal. 156
[9] Manaqib Imam Syafi’i hlm. 90 oleh al-Aburri, Hilyatul Auliya’ 9/122 oleh Abu Nu’aim , Al-’Uzlah hlm. 76 oleh al-Khotthobi.
[10] Manaqib Imam Syafi’i hlm. 115 oleh al-Aburri dan Manaqib Syafi’i 1/257 oleh al-Baihaqi. Imam adz-Dzahabi berkata dalam Siyar 3/3283: “Ucapan dari jiwa yang bersih ini mutawatir dari Syafi’i”.
[11] Tawali Ta’sis hlm. 121 oleh Ibnu Hajar.
[12] Siyar A’lam Nubala 3/3288 oleh adz-Dzahabi.

Sumber : Makalah Dauroh Akbar Medan 2011 dari kajianonlinemedan.com

Wednesday, April 9, 2014

Fatwa Ulama-Ulama: Memberikan Suara dalam Pemilu


Berikut Muslim.Or.Id menyajikan beberapa fatwa ulama besar di abad ke-20 yang membolehkan memberikan suara atau coblos dalam Pemilu dengan menimbang-nimbang maslahat dan mudhorot. Memang demokrasi bukanlah cara Islam, namun untuk masalah memberikan suara adalah hukum yang berbeda. Silakan simak apa kata mereka.


[1] Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani –rahimahullah-, pakar hadits abad ini

Fatwa beliau ini adalah lanjutan dari jawaban beliau terhadap pertanyaan dari partai FIS Al Jazair.
Pertanyaan kedua: Bagaimana menurut hukum syar’i mengenai bantuan dan dukungan yang diberikan untuk kegiatan pemilu?

Jawab: Sekarang ini kami tidak menganjurkan siapapun saudara kita sesama muslim untuk mencalonkan dirinya menjadi anggota parlemen di negara yang tidak menjalankan hukum Allah. Sekalipun undang-undang dasarnya menyebutkan Islam sebagai agama negara. Karena dalam prakteknya hanya untuk membius anggota parlemen yang lurus hatinya. Dalam negara semacam itu, para anggota parlemen sedikitpun tidak pernah mampu merubah undang-undang yang berlawanan dengan Islam. Fakta itu telah terbukti di beberapa negara yang menyatakan Islam sebagai agama negaranya.

Jika berbenturan dengan tuntutan zaman maka beberapa hukum yang bertentangan dengan Islam sengaja disahkan oleh parlemen dengan dalih belum tiba waktu untuk melakukan perubahan!! Itulah realita yang kami lihat di sejumlah negara. Para anggota parlemen mulai menanggalkan ciri dan identitas keislamannya. Mereka lebih senang berpenampilan ala barat supaya tidak canggung dengan anggota-anggota parlemen lainnya. Orang ini masuk parlemen dengan tujuan memperbaiki orang lain, tapi malahan ia sendiri yang rusak. Hujan itu pada awalnya rintik-rintik kemudian berubah menjadi hujan lebat!

Oleh karena itu, kami tidak menyarankan siapapun untuk mencalonkan dirinya menjadi anggota parlemen.

Namun menurutku, bila rakyat muslim melihat adanya calon-calon anggota parlemen yang jelas-jelas memusuhi Islam, sedang di situ terdapat calon-calon beragama Islam dari berbagai partai Islam, maka dalam kondisi semacam ini, aku sarankan kepada setiap muslim agar memilih calon-calon dari partai Islam saja dan calon-calon yang lebih mendekati manhaj ilmu yang benar, seperti yang diuraikan di atas.

Demikianlah menurut pendapatku, sekalipun saya meyakini bahwa pencalonan diri dan keikutsertaan dalam proses pemilu tidaklah bisa mewujudkan tujuan yang diinginkan, seperti yang diuraikan di atas. Langkah tersebut hanyalah untuk memperkecil kerusakan atau untuk menghindarkan kerusakan yang lebih besar dengan memilih kerusakan yang lebih ringan. Kaedah inilah yang biasa diterapkan oleh para pakar fiqh.

Pertanyaan ketiga: Bagaimana hukumnya kaum perempuan mengikuti pemilu?

Jawab: Boleh saja, tapi harus memenuhi kewajiban-kewajibannya, yaitu memakai jilbab secara syar’i, tidak bercampur baur dengan kaum lelaki, itu yang pertama.

Kedua, memilih calon yang paling mendekati manhaj ilmu yang benar, menurut prinsip menghindarkan kerusakan yang lebih besar dengan memilih kerusakan yang lebih ringan, seperti yang telah diuraikan di atas.

[Disalin dari Madarikun Nazhar Fis Siyasah, Syaikh Abdul Malik Ramadlan Al-Jazziri, edisi Indonesia “Bolehkah Berpolitik?”, hal 45-46]

[2] Syaikh ‘Abdurrahman Al Barrok –hafizhohullah-, ulama senior di kota Riyadh Saudi Arabia dan terkenal keilmuannya dalam masalah akidah

Pertanyaan:

Wahai fadhilatusy Syaikh, sekarang banyak dikemukakan masalah pemilihan umum tingkat daerah. Apa pendapatmu mengenai keikutsertaan dalam pemilu seperti itu?

Jawab:

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam kepada Rasulullah. Wa ba’du:

Munculnya cara pemilihan umum tingkat daerah dan semacamnya, atau pemilihan penguasa pada wilayah lainnya adalah di antara bentuk taqlid (sekedar ikut-ikutan) dan tasyabbuh (menyerupai orang kafir) yang dimasukkan atau diimpor ke tengah-tengah kaum muslimin.

Asalnya (yang benar), ulil amri (kepala negara) berijtihad untuk memilih orang yang capable (memiliki kemampuan) dan sholeh untuk mengurusi rakyat yang berada di bawah kekuasaannya. Ulil amri di sini meminta nasehat kepada orang-orang yang ahli di bidangnya dan menghendaki kebaikan bersama. Akan tetapi, jika rakyat diminta untuk menyumbangkan suara dalam pemilihan, maka hendaklah para penuntut ilmu (yang perhatian pada agamanya), juga orang-orang yang baik-baik ikut serta dalam memilih caleg yang baik dari sisi agama dan dunia. Hal ini dilakukan agar orang-orang bodoh, orang yang gemar bermaksiat (fasiq), dan orang yang sekedar mengikuti hawa nafsu tidak menang dengan memilih pemimpin yang sesuai dengan hawanya (keinginannya) dan orang yang sejenis dengan mereka. Jika orang-orang baik turut serta memilih, maka ini akan memperbanyak kebaikan, kejelekan pun berkurang sesuai dengan kemampuan yang ada. Sunggun Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu” (QS. At Taghaabun: 16). Allah Ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (QS. Az Zalzalah: 7)

Hikmah dari ini semua: Seorang hendaknya berusaha mewujudkan kebaikan sesuai dengan kemampuannya dan bukan kewajiban baginya untuk menyempurnakan tujuan.

Kita memohon kepada Allah untuk memperbaiki keadaan kaum muslimin dan semoga Allah menjadikan pemimpin adalah orang-orang terbaik di antara mereka. Wallahu a’lam.

[http://www.shawati.com/vb/archive/index.php/t-12080.html]


[3] Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman Al Jibrin –rahimahullah-, salah satu ulama besar di Saudi Arabia

Fadhilatusy Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman Al Jibrin ditanya mengenai pandangan beliau terhadap keikutsertaan dalam pemilu baladiyah (semacam pemilu tingkat daerah) dengan mendaftarkan diri, mencalonkan diri dan memberikan suara.

Jawab: Jika dipandang dari pentingnya pemilu ini dan dampak yang muncul dengan bagusnya keadaan pemerintahan, serta bisa menentukan berbagai kebijaksanaan yang urgen dan manfaat bagi negera dan rakyat, maka kami menilai bahwa penting sekali untuk ikut serta dalam pemilu semacam ini, dan memilih calon yang terbaik dari sisi kemampuan, wawasan dan kapasitas sehingga dia dapat betul-betul mengabdi. Diharapkan pula bahwa yang terpilih nantinya adalah orang yang sholeh, dapat membuat inovasi baru dan membuat kebijakan-kebijakan yang menjadi sebab baiknya agama rakyat, serta memilih proyek-proyek yang sesuai dengan kondisi real. Demikian pula akan diangkat para pejabat yang sholeh dan reformis serta memiliki kapasitas dari kalangan orang-orang yang benar-benar beriman, mengharapkan kebaikan bagi penguasa dan rakyatnya. Oleh karena itu, jika yang mencalonkan diri adalah orang yang punya kemampuan, wawasan dan bagus agamanya sehingga dapat mengangkat bawahan dari kalangan orang-orang sholeh dan berpengetahuan, maka itulah yang terbaik untuk saat ini dan di masa yang akan datang. Wallahu a’lam.

[http://montada.echoroukonline.com/archive/index.php/t-16999.html]


[4] Syaikh ‘Ali bin Hasan Al Halabiy–hafizhohullah-, murid senior Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dan pakar hadits

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh,

Sebagian ulama dan masyaikh mengeluarkan fatwa tentang bolehnya penduduk Irak masuk dan ikut serta dalam pemilu di Irak. Jadi pertanyaanku –wahai Syaikh-: Bukankah engkau melihat bahwa fatwa semacam ini malah akan membuka pintu untuk berbagai kelompok (partai) agar masuk dalam parlemen dan ikut serta dalam pemilu dengan alasan karena ini adalah keadaan darurat, sedangkan keadaan darurat membolehkan sesuatu yang terlarang.

Syaikh ‘Ali bin Hasan Al Halabi menjawab:

Keadaan ‘Irak saat ini begitu pelik dan ruwet. Dalam masalah pemilu –sebagaimana yang telah lewat- harus kita tinjau lebih mendalam lagi dan jika ingin diputuskan, maka perlu dilihat hakikat sebenarnya sebagaimana yang pernah aku isyaratkan padanya. Di markaz Al Imam Al Albani pun telah keluar fatwa mengenai bolehnya ikut serta dalam pemilu jika terpenuhi syarat-syaratnya. Begitu juga ada fatwa dari Syaikh ‘Ubaid Al Jabiriy mengenai bolehnya hal ini. Jika aku menilai, perkara ini amatlah ruwet (rumit). Kita harus melihat maslahat dan mafsadat. Tidak boleh kita legalkan secara mutlak atau pun kita larang secara mutlak.

[http://www.kulalsalafiyeen.com/vb/showthread.php?t=2467]


[5] Para Ulama di Al Lajnah Ad Da’imah lil Buhuts wal Ifta’ (Komisi Tetap Urusan Riset dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi)

Ada beberapa fatwa Lajnah Da’imah mengenai pemilu. Berikut adalah salah satunya.

Fatwa no. 14676

Pertanyaan: Sebagaimana yang kalian ketahui bahwa nanti di negara kami, Al Jaza-ir akan dilaksanakan Pemilu untuk memilih anggota DPR. Dalam pemilu tersebut, terdapat partai yang memperjuangkan hukum Islam. Namun ada juga partai yang menolak hukum Islam. Apa hukum memilih partai yang anti hukum Islam padahal dia tetap shalat?

Jawab: Wajib bagi setiap muslim di berbagai negeri yang berhukum dengan selain hukum Islam, agar mereka mencurahkan usaha mereka semampunya untuk berhukum dengan syari’at Islam. Oleh karena itu, hendaklah mereka saling bahu membahu dan menolong partai yang diketahui akan menegakkan syari’at Islam. Adapun menolong partai yang menolak penerapan hukum Islam, hal ini tidak diperbolehkan, bahkan pelakunya menjadi kafir. Hal ini berdasarkan firman Allah (yang artinya), “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?” (QS. Al Maa’idah: 49-50). Oleh karena itu, ketika Allah telah menyatakan bahwa orang yang berhukum dengan selain hukum Islam adalah kafir, maka Allah memperingatkan agar kita tidak menolong mereka atau menjadikan mereka sebagai wali (penolong). Allah telah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk bertakwa jika memang mereka beriman dengan sebenar-benarnya. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman.” (QS. Al Ma’idah: 57)

Wa billahi taufik. Semoga shalawat dan salam dari Allah tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’
Anggota: ‘Abdullah bin Ghodyan
Wakil Ketua: ‘Abdur Rozaq ‘Afifi
Ketua: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz
[Maktabah Asy Syamilah]

[6] Syaikh Musthofa Al ‘Adawi, ulama terkemuka di Mesir, murid dari Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i, dan terkenal dengan ilmu tafsir dan haditsnya

Syaikh Musthofa Al ‘Adawi hafizhohullah berkata, “Adapun memberikan suara dalam pemilu, maka ini kembali pada kaedah ‘memilih mudhorot (bahaya) yang lebih ringan’. Jika ada calon yang fasik dan ada calon yang sholeh, maka memberi suara ketika itu dalam rangka memilih bahaya yang lebih ringan (mengikuti pemilu termasuk mudhorot, tidak memilih calon yang sholeh termasuk mudhorot, maka ketika itu dipilihlah bahaya yang lebih ringan, pen). Jadi memberikan suara ketika itu dalam rangka memilih bahaya yang lebih ringan.” (Diambil dari video: http://www.youtube.com/watch?v=ce7JnGuyB_s)


[7] Syaikh Sholeh Al Munajjid, ulama Saudi Arabia dan di antaranya murid Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, juga menjadi pengelola website Al Islam Sual wal Jawab (Tanya Jawab Islam)

Dalam fatwa Al Islam Sual wal Jawab, Syaikh Sholeh Al Munajjid hafizhohullah berkata, “Masalah memberikan suara dalam Pemilu adalah masalah yang berbeda-beda tergantung dari waktu, tempat dan keadaan. Masalah ini tidak bisa dipukul rata untuk setiap keadaan.

Dalam beberapa keadaan tidak dibolehkan memberikan suara seperti ketika tidak ada pengaruh suara tersebut bagi kemaslahatan kaum muslimin atau ketika kaum muslimin memberi suara atau tidak, maka sama saja, begitu pula ketika hampir sama dalam perolehan suara yaitu sama-sama mendukung kesesatan. Begitu pula memberikan suara bisa jadi dibolehkan karena menimbang adanya maslahat atau mengecilkan adanya kerusakan seperti ketika calon yang dipilih kesemuanya non muslim, namun salah satunya lebih sedikit permusuhannya dengan kaumm muslimin. Atau karena suara kaum muslimin begitu berpengaruh dalam pemilihan, maka keadaan seperti itu tidaklah masalah dalam pemberian suara.

Ringkasnya, masalah ini adalah masalah ijtihadiyah yang dibangun di atas kaedah menimbang maslahat dan mafsadat. Sehingga masalah ini sebaiknya dikembalikan pada para ulama yang lebih berilmu dengan menimbang-menimbang kaedah tersebut.” (Fatwa Al Islam Sual wal Jawab no. 3062).

Demikian fatwa para ulama terkemuka yang bisa kami sajikan. Menyuruh untuk “Golput” pun suatu yang masalah saat ini, sehingga seharusnya ditimbang-timbang manakah yang maslahat.

Semoga bermanfaat. Hanya Allah yang memberi taufik.

Artikel Muslim.Or.Id
Penyusun: Muhammad Abduh Tuasikal

Monday, April 7, 2014

Adab Dakwah Elektronik Melalui Gadget/Handheld ( via: BBM, WA, dll.)


Tidak bisa dipungkiri bahwa peran alat komunikasi canggih sangat besar terhadap dakwah ahlussunnah, terutama di zaman sekarang ini. Jangkauan dakwah semakin luas mencapai pelosok dunia. Dengan tekanan huruf-huruf pada alat komunikasi ini, seorang yang berada jauh dari tempat menuntut ilmu dapat turut mendapat manfaat dari tempatnya menetap.

Tentunya fenomena ini membuka lahan baru dunia dakwah, tidak hanya secara langsung di majelis-majelis ulama di suatu tempat tertentu, bahkan majelis tersebut bisa dihadiri oleh ribuan bahkan jutaan orang dengan perantara gadget ini. Namun ketidakpahaman beberapa da'i atau penuntut ilmu yag mencoba terjun ke lahan ini akan adab ber-gadget, bisa jadi malah menjauhkan manusia dari dakwah yang haq. Sungguh kelembutan disertai akhlaq yang baik dalam melayani pertanyaan ummat adalah wajib dimiliki bagi seseorang yang berdakwah di media ini. 

Rasulullah bersabda,

إِنَّالرِّفْقَ لاَيَكُونُ فِي شَيْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ يُنْزَ عُ مِنْ شَيءٍ إِلاَّ شَانَهُ

“Sungguh, segala sesuatu yang dihiasi kelembutan akan nampak indah. Sebaliknya, tanpa kelembutan segala sesuatu akan nampak jelek” [Shahih Muslim No.2594]



Perlu diingat bhw Gadget handheld itu adalah alat komunikasi milik pribadi, mencerminkan kepribadian penggunanya. Pendakwah yg memakai fasilitas ini, perlu mengetahui adab-adab dalam memakainya.



Berikut hal-hal yang perlu diperhatikan:

1. Jangan lupa ucapan salam ketika disapa oleh org di contact anda, tidak perlu menunggu org memberi salam dulu, yg lebih dahulu mk itulah yg terbaik,

RasulullahShallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

إِنَّ أَوْلَى النَّاسِ بِاللَّهِ مَنْ بَدَأَهُمْ بِالسَّلَامِ .

“Sesungguhnya orang yang paling utama bagi Allah, adalah orang yang lebih dulu memberikan salam." [Sunan Abi Dawud/Kitab Al-Adab/Bab fi Fadhl Man Bada`a bi As-Salam/hadits nomor 4522. Al-Baihaqi juga meriwayatkan hadits ini dalam Syu’ab Al-Iman(8518). Hadits shahih. Lihat; Shahih Sunan Abi Dawud (5197), Shahih At-Targhib wa At-Tarhib (2703), dan Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir (3774).]


2. Atur kata-kata anda layaknya sedang bertatap muka secara langsung dg lawan bicara anda. 

Gunakan "symbol emotion" yg tersedia utk mendukung realitas percakapan yg sedang berlangsung. Lontarkan emo senyuman pada lawan chatting anda. Senyum kepada lawan bicara, atau orang yang ditemui, akan mencairkan hati dan menimbulkan kebahagiaan. Tidak ada hati yang fitrah dan bersih kecuali pasti akan memberikan respon positif terhadap senyuman. Wajah yang penuh senyuman adalah akhlak Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. 

DariJarir bin Abdillah Radhiallahu’anhu : “Sejak aku masuk Islam, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak pernah menghindari aku jika aku ingin bertemu dengannya, dan tidak pernah aku melihat beliau kecuali beliau tersenyum padaku” [HR. Bukhari, no.6089.]


3. Bila pesan sudah anda "Read" maka segera anda jawab, lawan bicara tahu anda sudah membacanya dengan symbol "R", bila anda sedang tidak ingin menjawab, anda bisa katakan "nanti saya kembali pd anda  إن شاء الله ". 

Apakah org bertamu ke rmh, anda sudah melihatnya, namun anda tinggalkan begitu saja tanpa sepatah katapun? Ini tdk sopan!

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda: “Orang beriman yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaq-nya” [HR. Tirmidzi no.1162, ia berkata: “Hasan shahih”]




4. Ingatlah, anda mengemban dakwah salaf yang mulia, dan handheld itu milik pribadi anda, cermin diri anda (bagi org lain), maka beradablah dalam bekomunikasi dengan alat itu. Jangan membuat orang lari dari dakwah hanya karena anda tidak bisa menerapkan adab komunikasi elektronik ini.

Rasulullah bersabda,

يَسِّرُوْا وَلاَ تُعَسِّرُوْا، وَبَشِّرُوْا وَلاَ تُنَفِّرُوْا

“Mudahkanlah dan jangan kalian persulit, berilah kabar gembira dan janganlah kalian membuat orang lari” [HR. Al-Bukhari no. 69 dan Muslim no. 1734]


Bila adab di atas tdk bisa anda terapkan, maka lebih baik "BUANG GADGET ANDA", berdakwalah dengan jalan dimana anda bisa beradab di dalamnya. Karena bilamana anda tidak memiliki dan mengaplikasikan adab yang baik dalam menggunakannya, maka anda hanya akan merusak dakwah ahlussunnah.


Wabillahi taufiq, salam dan solawat kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabat beliau.


By: Abi Zam
Bandung, 7 Jumaddil 'akhir 1435 H
#BelajarIslam di: www.kisahrasulnabisahabat.blogspot.com

Friday, April 4, 2014

Tuesday, April 1, 2014

Meremehkan Sunnah Dengan Lisan Yang Kurang Terjaga


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

 

"Dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaknya ia berkata baik atau diam" [HR. Bukhari dan Muslim]

Meremehkan sunnah dengan lisan yang kurang terjaga. Sungguh hal ini merupakan satu fenomena yang sangat sering kita temui. Perbuatan lisan yang mengucapkan kalimat meremehkan Sunnah tidak lepas dari 3 keadaan:

  1. Tidak sengaja karena tidak tahu
  2. Tidak sengaja dalam rangka beramar ma’ruf nahi mungkar
  3. Sengaja karena menolak Sunnah tersebut

Berikut penjabaran 3 keadaan yang disebut di atas:

1. Tidak sengaja karena tidak tahu

Keadaan ini adalah keadaan yang paling banyak terjadi pada masyarakat awam yang jauh dari ilmu. Mereka tidak mengetahui apakah kata yang mereka keluarkan itu meremehkan Sunnah, bagaimana mungkin mereka tahu sedangkan Sunnah pun mereka tidak memahami arti, atau macamnya, apalagi hukumnya.


2. Tidak sengaja dalam rangka beramar ma’ruf nahi mungkar

Keadaan ini sering terjadi pada para da’i ataupun penuntut ilmu. Kondisi ini pun terbagi menjadi 2 sub keadaan, yaitu

-     Terjadi pada mereka yang terlalu bersemangat sehingga terkadang dengan ghiroh nya tersebut dalam beramar ma’ruf nahi mungkar, maka ia tidak sengaja mengeluarkan kalimat yang meremehkan suatu sunnah.
-     Terjadi pada mereka yang kurang bertafakur dan hanya focus pada tujuan pengucapan kalimat dan kurang memberi perhatian pada kandungan kalimat tersebut.

Sebagai contoh dari kesalahan ini misalnya kalimat:
“… Cuma modal jenggot dan celana cingkrang saja si fulan itu sudah berani berlagak paling nyunnah, akhlaqnya masih jauh dari sunnah”. 

Atau kalimat:
“… baru hapal sedikit hadits saja si fulan sudah berani mengeluarkan fatwa.”

Subhanallah.. jenggot dan celana cingkrang adalah perintah yang agung, tidaklah pantas digandengkan dengan kata “cuma” atau “hanya”. Begitupun dengan hapalan suatu ayat atau hadits, ini adalah suatu kebaikan yang agung. Tidaklah pantas bergandeng dengan kata yang justru merendahkan keagungannya. Sungguh dengan keterbatasan ilmu penulis, penulis belum pernah menemukan hadits dimana Rasulullah melakukan hal ini. Pernahkah Rasulullah mengucapkan kalimat yang meremehkan atau merendahkan suatu sunnah, walau untuk tujuan beramar ma’ruf nahi mungkar?

Seorang dai atau penuntut ilmu seharusnya dapat lebih arif dalam pemilihan kata demi mencapai maksudnya. Sebagai contoh, ia bisa mengucapkan kalimat:
“… sayang sekali si fulan, ia sudah berjenggot, celananya sudah cingkrang, sudah sesuai sunnah,  seharusnya akhlaqnya juga mengikuti adab yang  disunnahkan”.

Kalimat selanjutnya bisa diganti dengan:
“.. hapalan si fulan harus diperbanyak lagi, dengan memperbanyak ilmu, dengan ijin Allah ia baru bisa mengeluarkan pendapat yang mendekati kebenaran”

Kedua contoh kalimat tersebut mempunyai misi yang sama yaitu beramar ma’ruf nahi mungkar, namun sangatlah jauh bobot kandungannya. Yang satu beramar ma’ruf dengan kalimat yang mengandung peremehan terhadap suatu sunnah / suatu kebaikan. Yang satu lagi beramar ma’ruf dengan memuliakan sunnah / kebaikan yang telah dijalani pelaku yang akan dinasehati. Sungguh dampak nasehat yang dilontarkan pun jelas akan berbeda baginya. Orang yang akan dinasehati tidak kecil hati dengan kebaikan yang mungkin ia berjuang untuk dapat melakukannya, dan ia tidak merasa diremehkan karena dianggap kecil amalannya oleh orang lain. Bisa jadi karena kekecewaannya itu, ia meninggalkan sunnah yang telah ia lakukan tersebut. Sungguh Rasulullah telah memerintahkan dan menganjurkan kita agar senantiasa berlaku lemah lembut. 

- Rasulullah bersabda,

يَسِّرُوْا وَلاَ تُعَسِّرُوْا، وَبَشِّرُوْا وَلاَ تُنَفِّرُوْا

 

“Mudahkanlah dan jangan kalian persulit, berilah kabar gembira dan janganlah kalian membuat orang lari” [HR. Al-Bukhari no. 69 dan Muslim no. 1734]

- Rasulullah juga bersabda,

إِنَّالرِّفْقَ لاَيَكُونُ فِي شَيْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ يُنْزَ عُ مِنْ شَيءٍ إِلاَّ شَانَهُ

 

“Sungguh, segala sesuatu yang dihiasi kelembutan akan nampak indah. Sebaliknya, tanpa kelembutan segala sesuatu akan nampak jelek” [Shahih Muslim No.2594]

- Allah menjelaskan bahwa lemah lembut adalah sifat yang ada pada Rasulullah, hendaknya kita senantiasa berdoa dan berusaha agar Allah menganugerahkan sifat ini pada kita:

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللَّهِ لِنتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ

 

“Dengan sebab rahmat Allah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentu mereka menjauh dari sekelilingmu” [Ali Imran : 159]


3. Sengaja karena menolak Sunnah tersebut

Keadaan ini adalah keadaan orang-orang yang sesat jalannya. Ia memilih-milih sunnah mana yang ia sukai dan ia menolak sunnah yang ia tidak sukai dengan mencari dalih. Orang seperti ini memperturutkan hawa nafsunya, ia sesat dan menyesatkan. Semoga Allah menjaga kita dari perbuatan ini. Aamiin.

Wabillahi taufiq, salam dan solawat kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabat beliau.


By: Abi Zam
#BelajarIslam di: www.kisahrasulnabisahabat.blogspot.com