Perbedaan pendapat di kalangan penuntut ilmu dalam menyikapi boleh tidaknya ikut memilih dalam pemilu tidaklah membuat mereka bercerai-berai. Inilah sikap yang harus dimiliki dan dijadikan prinsip oleh seorang penuntut ilmu.
Berikut adalah hikmah yang bisa kita ambil dari akhlaq mulia Al-Imam Asy-Syafi'i:
Imam Syafi’i Menyeru akhlak yang mulia
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولاً مِّنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا مِن قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ
“Hendaklah diketahui bahwa Ahlus Sunnah sejati adalah mereka yang mengamalkan ajaran Islam secara sempurna, baik yang berkenaan dengan aqidah maupun akhlak. Termasuk pemahaman yang keliru: prasangka bahwa sunni atau salafi adalah orang yang merealisasikan aqidah Ahlus Sunnah saja tanpa memperhatikan sisi akhlak dan adab Islam, serta penunaian hak-hak kaum muslimin” [1].
Imam Syafi’i berkata menekankan pentingnya akhlak:
زِيْنَةُ الْعُلَمَاءِ التَّقْوَى وَحِلْيَتُهُمْ حُسْنُ الْخُلُقِ وَجَمَالُهُمْ كَرَمُ النَّفْسِ
“Perhiasan ulama adalah taqwa, mahkota mereka adalah akhlak yang indah, dan keindahan mereka adalah kedermawanan” [2]
Imam Syafi’i dan Adab dalam Dialog/Debat
Imam Syafi’i adalah adalah seorang ulama yang banyak melakukan dialog dan pandai berdialog [3], baik dengan lawan ataupun kawan, semuanya dalam rangka nasehat dan mencari kebenaran, bukan kemenangan. Inilah suatu adab mulia dalam dialog yang seharusnya kita perhatikan bersama, apalagi akhir-akhir ini semakin marak dialog dan debat di sana sini.
Imam Syafi’i berkata:
مَا نَاظَرْتُ أَحَدًا قَطُّ عَلَى الْغَلَبَةِ
“Saya tidak pernah berdebat untuk mencari kemenangan” [4]
Beliau juga berkata:
مَا نَاظَرْتُ أَحَدًا قَطُّ إِلاَّ أَحْبَبْتُ أَنْ يُوَفَّقَ وَيُسَدَّدَ وَيُعَانَ وَيَكُوْنَ عَلَيْهِ رِعَايَةٌ مِنَ اللهِ وَحِفْظٌ وَمَا نَاظَرْتُأَحَدًا إِلاَّ وَلَمْ أُبَالِ بَيَّنَ اللهُ الْحَقَّ عَلَى لِسَانِيْ أَوْ لِسَانِهِ
“Tidaklah saya berdebat kecuali saya berharap agar lawan debatku diberi taufiq dan diberi pertolongan dan dijaga oleh Allah. Dan tidaklah saya berdebat kecuali saya tidak menghiraukan apakah Allah menampakkan kebenaran lewat lisanku atau lisannya”.[5]
Al-Hafizh Ibnu Rojab berkata mengomentari ucapan ini: “Hal ini menunjukkan bahwa beliau tidak mempunyai maksud dan tujuan kecuali nampaknya kebenaran, sekalipun lewat lisan lawan debatnya yang menyelisihinya”.[6]
Kelembutan Imam Syafi’i Terhadap Lawan-nya
Berakhlak baik menghadapi lawan merupakan akhlak indah yang jarang sekali orang bisa menerapkannya, namun Imam Syafi’i termasuk ulama yang mampu menahan dirinya dari sikap emosi dan beliau bisa bersikap arif seperti perintah Allah:
خُذِ العَفْوَ وَأْمُرْ بِالعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الجَاهِلِيْنَ
Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.(QS. Al-A’raf: 199)
Imam Syafi’i berkata:
قُلْ بِمَا شِئْتَ فِيْ مَسَبَّةِ عِرْضِيْ فَسُكُوْتِيْ عَنِ اللَّئِيْمِ جَوَابُ
مَا أَنَا عَادِمُ الْجَوَابِ وَلَكِنْ مَا مِنَ الأُسْدِ أَنْ تُجِيْبَ الْكِلاَبَ
Berkatalah sesukamu untuk menghina kehormatanku
Diamku dari orang hina adalah suatu jawaban
Bukan berarti saya tidak memiliki jawaban tetapi
Tidak pantas singa meladeni anjing. [7]
Imam Syafi’i juga pernah mengatakan:
يُخَاطِبُنِيْ السَّفِيْهُ بِكُلِّ قُبْحٍ فَأَكْرَهُ أَنْ أَكُوْنَ لَهُ مُجِيْبَا
يَزِيْدُ سَفَاهَةً فَأَزِيْدُ حِلْمًا كَعُوْدٍ زَادَهُ الاِحْرَاقُ طِيْبَا
Orang pandir mencercaku dengan kata-kata jelek
Maka saya tidak ingin untuk menjawabnya
Dia bertambah pandir dan saya bertambah lembut
Seperti kayu wangi yang dibakar malah menambah wangi.[8]
Subhanallah, demikianlah akhlak yang indah.
Imam Syafi’i dan Tazkiyatun Nufus
Tazkiyatun Nufus (penyucian jiwa) adalah perkara yang sangat penting sekali, bahkan merupakan salah satu tugas inti dari dari dakwah Nabi Muhammad.
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata." (QS. Al-Jumu’ah: 2).
Imam Syafi’i menyeru kepada keikhlasan, beliau berkata:
رِضَا النَّاسِ غَايَةٌ لاَ تُدْرَكُ لَيْسَ إِلَى السَّلاَمَةِ مِنَ النَّاسِ سَبِيْلٌ. فَانْظُرْ مَا فِيْهِ صَلاَحُ نَفْسِكَ فَالْزَمْهُوَدَعِ النَّاسَ وَمَا هُمْ فِيْهِ
“Ridho semua manusia adalah tujuan yang tidak mungkin digapai, tidak ada jalan untuk selamat dari omongan orang. Maqka lihatlah kebaikan hatimu, peganglah dan biarkan manusia berbicara sekehendak mereka”.[9]
وَدِدْتُ أَنَّ كُلَّ عِلْمٍ أَعْلَمَهُ تَعَلَّمَهُ النَّاسُ أُوْجَرُ عَلَيْهِ وَلاَ يَحْمَدُوْنِي
“Saya ingin kalau setiap ilmu yang saya ketahui dipelajari oleh manusia kemudian saya diberi pahala dan mereka tidak memuji saya”.[10]
Imam Syafi’i juga menyeru kepada ketaqwaan, beliau berkata:
مَنْ لَمْ تَعُزُّهُ التَّقْوَى فَلاَ عِزَّ لَهُ
“Barangsiapa yang tidak mulia dengan taqwa maka tidak ada kemuliaan baginya”.[11]
Imam Syafi’i menganjurkan sifat tawadhu’ (rendah diri), beliau berkata:
يَنْبَغِيْ لِلْفَقِيْهِ أَنْ يَضَعَ التُّرَابَ عَلَى رَأْسِهِ تَوَاضُعًا لِلَّهِ، وَشُكْرًا لِلَّهِ
“Hendaknya bagi seorang yang berilmu untuk meletakkan tanah di atas kepalanya sebagai sikap tawadhu’ kepada Allah dan syukur kepadaNya”.[12]
Dekianlah penjelasan tentang prinsip-prinsip imam Syafi’i dalam beragama, semoga kita semua bisa meneladani beliau dalam mengamalkan agama yang mulia ini.
Foot Note:
[1] An-Nashîhah Fima Yazibu Muro’atuhu (hal. 13) oleh Dr. Ibrahim ar-Ruhaili.
[2] Tawali Ta’sis hlm. 135 oleh Ibnu Hajar.
[3] Menakjubkan ucapan Harun bin Sa’id: “Seandainya Syafi’i berdebat untuk mempertahankan pendapat bahwa tiang yang pada aslinya terbuat dari besi adalah terbuat dari kayu niscaya dia akan menang, karena kepandainnya dalam berdebat”. (Manaqib Aimmah Arbaah hlm. 109 oleh Ibnu Abdil Hadi).
[4] Tawali Ta’sis hlm.113 oleh Ibnu Hajar.
[5] Idem hlm. 104.
[6] Al-Farqu Baina Nashihah wa Ta’yir hlm. 9, tahqiq Ali bin Hasan al-Halabi.
[7] Diwan Asy-Syafi’i hal. 44
[8] Diwan Asy-Syafi’i hal. 156
[9] Manaqib Imam Syafi’i hlm. 90 oleh al-Aburri, Hilyatul Auliya’ 9/122 oleh Abu Nu’aim , Al-’Uzlah hlm. 76 oleh al-Khotthobi.
[10] Manaqib Imam Syafi’i hlm. 115 oleh al-Aburri dan Manaqib Syafi’i 1/257 oleh al-Baihaqi. Imam adz-Dzahabi berkata dalam Siyar 3/3283: “Ucapan dari jiwa yang bersih ini mutawatir dari Syafi’i”.
[11] Tawali Ta’sis hlm. 121 oleh Ibnu Hajar.
[12] Siyar A’lam Nubala 3/3288 oleh adz-Dzahabi.
Sumber : Makalah Dauroh Akbar Medan 2011 dari kajianonlinemedan.com