Wednesday, April 9, 2014

Fatwa Ulama-Ulama: Memberikan Suara dalam Pemilu


Berikut Muslim.Or.Id menyajikan beberapa fatwa ulama besar di abad ke-20 yang membolehkan memberikan suara atau coblos dalam Pemilu dengan menimbang-nimbang maslahat dan mudhorot. Memang demokrasi bukanlah cara Islam, namun untuk masalah memberikan suara adalah hukum yang berbeda. Silakan simak apa kata mereka.


[1] Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani –rahimahullah-, pakar hadits abad ini

Fatwa beliau ini adalah lanjutan dari jawaban beliau terhadap pertanyaan dari partai FIS Al Jazair.
Pertanyaan kedua: Bagaimana menurut hukum syar’i mengenai bantuan dan dukungan yang diberikan untuk kegiatan pemilu?

Jawab: Sekarang ini kami tidak menganjurkan siapapun saudara kita sesama muslim untuk mencalonkan dirinya menjadi anggota parlemen di negara yang tidak menjalankan hukum Allah. Sekalipun undang-undang dasarnya menyebutkan Islam sebagai agama negara. Karena dalam prakteknya hanya untuk membius anggota parlemen yang lurus hatinya. Dalam negara semacam itu, para anggota parlemen sedikitpun tidak pernah mampu merubah undang-undang yang berlawanan dengan Islam. Fakta itu telah terbukti di beberapa negara yang menyatakan Islam sebagai agama negaranya.

Jika berbenturan dengan tuntutan zaman maka beberapa hukum yang bertentangan dengan Islam sengaja disahkan oleh parlemen dengan dalih belum tiba waktu untuk melakukan perubahan!! Itulah realita yang kami lihat di sejumlah negara. Para anggota parlemen mulai menanggalkan ciri dan identitas keislamannya. Mereka lebih senang berpenampilan ala barat supaya tidak canggung dengan anggota-anggota parlemen lainnya. Orang ini masuk parlemen dengan tujuan memperbaiki orang lain, tapi malahan ia sendiri yang rusak. Hujan itu pada awalnya rintik-rintik kemudian berubah menjadi hujan lebat!

Oleh karena itu, kami tidak menyarankan siapapun untuk mencalonkan dirinya menjadi anggota parlemen.

Namun menurutku, bila rakyat muslim melihat adanya calon-calon anggota parlemen yang jelas-jelas memusuhi Islam, sedang di situ terdapat calon-calon beragama Islam dari berbagai partai Islam, maka dalam kondisi semacam ini, aku sarankan kepada setiap muslim agar memilih calon-calon dari partai Islam saja dan calon-calon yang lebih mendekati manhaj ilmu yang benar, seperti yang diuraikan di atas.

Demikianlah menurut pendapatku, sekalipun saya meyakini bahwa pencalonan diri dan keikutsertaan dalam proses pemilu tidaklah bisa mewujudkan tujuan yang diinginkan, seperti yang diuraikan di atas. Langkah tersebut hanyalah untuk memperkecil kerusakan atau untuk menghindarkan kerusakan yang lebih besar dengan memilih kerusakan yang lebih ringan. Kaedah inilah yang biasa diterapkan oleh para pakar fiqh.

Pertanyaan ketiga: Bagaimana hukumnya kaum perempuan mengikuti pemilu?

Jawab: Boleh saja, tapi harus memenuhi kewajiban-kewajibannya, yaitu memakai jilbab secara syar’i, tidak bercampur baur dengan kaum lelaki, itu yang pertama.

Kedua, memilih calon yang paling mendekati manhaj ilmu yang benar, menurut prinsip menghindarkan kerusakan yang lebih besar dengan memilih kerusakan yang lebih ringan, seperti yang telah diuraikan di atas.

[Disalin dari Madarikun Nazhar Fis Siyasah, Syaikh Abdul Malik Ramadlan Al-Jazziri, edisi Indonesia “Bolehkah Berpolitik?”, hal 45-46]

[2] Syaikh ‘Abdurrahman Al Barrok –hafizhohullah-, ulama senior di kota Riyadh Saudi Arabia dan terkenal keilmuannya dalam masalah akidah

Pertanyaan:

Wahai fadhilatusy Syaikh, sekarang banyak dikemukakan masalah pemilihan umum tingkat daerah. Apa pendapatmu mengenai keikutsertaan dalam pemilu seperti itu?

Jawab:

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam kepada Rasulullah. Wa ba’du:

Munculnya cara pemilihan umum tingkat daerah dan semacamnya, atau pemilihan penguasa pada wilayah lainnya adalah di antara bentuk taqlid (sekedar ikut-ikutan) dan tasyabbuh (menyerupai orang kafir) yang dimasukkan atau diimpor ke tengah-tengah kaum muslimin.

Asalnya (yang benar), ulil amri (kepala negara) berijtihad untuk memilih orang yang capable (memiliki kemampuan) dan sholeh untuk mengurusi rakyat yang berada di bawah kekuasaannya. Ulil amri di sini meminta nasehat kepada orang-orang yang ahli di bidangnya dan menghendaki kebaikan bersama. Akan tetapi, jika rakyat diminta untuk menyumbangkan suara dalam pemilihan, maka hendaklah para penuntut ilmu (yang perhatian pada agamanya), juga orang-orang yang baik-baik ikut serta dalam memilih caleg yang baik dari sisi agama dan dunia. Hal ini dilakukan agar orang-orang bodoh, orang yang gemar bermaksiat (fasiq), dan orang yang sekedar mengikuti hawa nafsu tidak menang dengan memilih pemimpin yang sesuai dengan hawanya (keinginannya) dan orang yang sejenis dengan mereka. Jika orang-orang baik turut serta memilih, maka ini akan memperbanyak kebaikan, kejelekan pun berkurang sesuai dengan kemampuan yang ada. Sunggun Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu” (QS. At Taghaabun: 16). Allah Ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (QS. Az Zalzalah: 7)

Hikmah dari ini semua: Seorang hendaknya berusaha mewujudkan kebaikan sesuai dengan kemampuannya dan bukan kewajiban baginya untuk menyempurnakan tujuan.

Kita memohon kepada Allah untuk memperbaiki keadaan kaum muslimin dan semoga Allah menjadikan pemimpin adalah orang-orang terbaik di antara mereka. Wallahu a’lam.

[http://www.shawati.com/vb/archive/index.php/t-12080.html]


[3] Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman Al Jibrin –rahimahullah-, salah satu ulama besar di Saudi Arabia

Fadhilatusy Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman Al Jibrin ditanya mengenai pandangan beliau terhadap keikutsertaan dalam pemilu baladiyah (semacam pemilu tingkat daerah) dengan mendaftarkan diri, mencalonkan diri dan memberikan suara.

Jawab: Jika dipandang dari pentingnya pemilu ini dan dampak yang muncul dengan bagusnya keadaan pemerintahan, serta bisa menentukan berbagai kebijaksanaan yang urgen dan manfaat bagi negera dan rakyat, maka kami menilai bahwa penting sekali untuk ikut serta dalam pemilu semacam ini, dan memilih calon yang terbaik dari sisi kemampuan, wawasan dan kapasitas sehingga dia dapat betul-betul mengabdi. Diharapkan pula bahwa yang terpilih nantinya adalah orang yang sholeh, dapat membuat inovasi baru dan membuat kebijakan-kebijakan yang menjadi sebab baiknya agama rakyat, serta memilih proyek-proyek yang sesuai dengan kondisi real. Demikian pula akan diangkat para pejabat yang sholeh dan reformis serta memiliki kapasitas dari kalangan orang-orang yang benar-benar beriman, mengharapkan kebaikan bagi penguasa dan rakyatnya. Oleh karena itu, jika yang mencalonkan diri adalah orang yang punya kemampuan, wawasan dan bagus agamanya sehingga dapat mengangkat bawahan dari kalangan orang-orang sholeh dan berpengetahuan, maka itulah yang terbaik untuk saat ini dan di masa yang akan datang. Wallahu a’lam.

[http://montada.echoroukonline.com/archive/index.php/t-16999.html]


[4] Syaikh ‘Ali bin Hasan Al Halabiy–hafizhohullah-, murid senior Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dan pakar hadits

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh,

Sebagian ulama dan masyaikh mengeluarkan fatwa tentang bolehnya penduduk Irak masuk dan ikut serta dalam pemilu di Irak. Jadi pertanyaanku –wahai Syaikh-: Bukankah engkau melihat bahwa fatwa semacam ini malah akan membuka pintu untuk berbagai kelompok (partai) agar masuk dalam parlemen dan ikut serta dalam pemilu dengan alasan karena ini adalah keadaan darurat, sedangkan keadaan darurat membolehkan sesuatu yang terlarang.

Syaikh ‘Ali bin Hasan Al Halabi menjawab:

Keadaan ‘Irak saat ini begitu pelik dan ruwet. Dalam masalah pemilu –sebagaimana yang telah lewat- harus kita tinjau lebih mendalam lagi dan jika ingin diputuskan, maka perlu dilihat hakikat sebenarnya sebagaimana yang pernah aku isyaratkan padanya. Di markaz Al Imam Al Albani pun telah keluar fatwa mengenai bolehnya ikut serta dalam pemilu jika terpenuhi syarat-syaratnya. Begitu juga ada fatwa dari Syaikh ‘Ubaid Al Jabiriy mengenai bolehnya hal ini. Jika aku menilai, perkara ini amatlah ruwet (rumit). Kita harus melihat maslahat dan mafsadat. Tidak boleh kita legalkan secara mutlak atau pun kita larang secara mutlak.

[http://www.kulalsalafiyeen.com/vb/showthread.php?t=2467]


[5] Para Ulama di Al Lajnah Ad Da’imah lil Buhuts wal Ifta’ (Komisi Tetap Urusan Riset dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi)

Ada beberapa fatwa Lajnah Da’imah mengenai pemilu. Berikut adalah salah satunya.

Fatwa no. 14676

Pertanyaan: Sebagaimana yang kalian ketahui bahwa nanti di negara kami, Al Jaza-ir akan dilaksanakan Pemilu untuk memilih anggota DPR. Dalam pemilu tersebut, terdapat partai yang memperjuangkan hukum Islam. Namun ada juga partai yang menolak hukum Islam. Apa hukum memilih partai yang anti hukum Islam padahal dia tetap shalat?

Jawab: Wajib bagi setiap muslim di berbagai negeri yang berhukum dengan selain hukum Islam, agar mereka mencurahkan usaha mereka semampunya untuk berhukum dengan syari’at Islam. Oleh karena itu, hendaklah mereka saling bahu membahu dan menolong partai yang diketahui akan menegakkan syari’at Islam. Adapun menolong partai yang menolak penerapan hukum Islam, hal ini tidak diperbolehkan, bahkan pelakunya menjadi kafir. Hal ini berdasarkan firman Allah (yang artinya), “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?” (QS. Al Maa’idah: 49-50). Oleh karena itu, ketika Allah telah menyatakan bahwa orang yang berhukum dengan selain hukum Islam adalah kafir, maka Allah memperingatkan agar kita tidak menolong mereka atau menjadikan mereka sebagai wali (penolong). Allah telah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk bertakwa jika memang mereka beriman dengan sebenar-benarnya. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman.” (QS. Al Ma’idah: 57)

Wa billahi taufik. Semoga shalawat dan salam dari Allah tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’
Anggota: ‘Abdullah bin Ghodyan
Wakil Ketua: ‘Abdur Rozaq ‘Afifi
Ketua: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz
[Maktabah Asy Syamilah]

[6] Syaikh Musthofa Al ‘Adawi, ulama terkemuka di Mesir, murid dari Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i, dan terkenal dengan ilmu tafsir dan haditsnya

Syaikh Musthofa Al ‘Adawi hafizhohullah berkata, “Adapun memberikan suara dalam pemilu, maka ini kembali pada kaedah ‘memilih mudhorot (bahaya) yang lebih ringan’. Jika ada calon yang fasik dan ada calon yang sholeh, maka memberi suara ketika itu dalam rangka memilih bahaya yang lebih ringan (mengikuti pemilu termasuk mudhorot, tidak memilih calon yang sholeh termasuk mudhorot, maka ketika itu dipilihlah bahaya yang lebih ringan, pen). Jadi memberikan suara ketika itu dalam rangka memilih bahaya yang lebih ringan.” (Diambil dari video: http://www.youtube.com/watch?v=ce7JnGuyB_s)


[7] Syaikh Sholeh Al Munajjid, ulama Saudi Arabia dan di antaranya murid Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, juga menjadi pengelola website Al Islam Sual wal Jawab (Tanya Jawab Islam)

Dalam fatwa Al Islam Sual wal Jawab, Syaikh Sholeh Al Munajjid hafizhohullah berkata, “Masalah memberikan suara dalam Pemilu adalah masalah yang berbeda-beda tergantung dari waktu, tempat dan keadaan. Masalah ini tidak bisa dipukul rata untuk setiap keadaan.

Dalam beberapa keadaan tidak dibolehkan memberikan suara seperti ketika tidak ada pengaruh suara tersebut bagi kemaslahatan kaum muslimin atau ketika kaum muslimin memberi suara atau tidak, maka sama saja, begitu pula ketika hampir sama dalam perolehan suara yaitu sama-sama mendukung kesesatan. Begitu pula memberikan suara bisa jadi dibolehkan karena menimbang adanya maslahat atau mengecilkan adanya kerusakan seperti ketika calon yang dipilih kesemuanya non muslim, namun salah satunya lebih sedikit permusuhannya dengan kaumm muslimin. Atau karena suara kaum muslimin begitu berpengaruh dalam pemilihan, maka keadaan seperti itu tidaklah masalah dalam pemberian suara.

Ringkasnya, masalah ini adalah masalah ijtihadiyah yang dibangun di atas kaedah menimbang maslahat dan mafsadat. Sehingga masalah ini sebaiknya dikembalikan pada para ulama yang lebih berilmu dengan menimbang-menimbang kaedah tersebut.” (Fatwa Al Islam Sual wal Jawab no. 3062).

Demikian fatwa para ulama terkemuka yang bisa kami sajikan. Menyuruh untuk “Golput” pun suatu yang masalah saat ini, sehingga seharusnya ditimbang-timbang manakah yang maslahat.

Semoga bermanfaat. Hanya Allah yang memberi taufik.

Artikel Muslim.Or.Id
Penyusun: Muhammad Abduh Tuasikal

Monday, April 7, 2014

Adab Dakwah Elektronik Melalui Gadget/Handheld ( via: BBM, WA, dll.)


Tidak bisa dipungkiri bahwa peran alat komunikasi canggih sangat besar terhadap dakwah ahlussunnah, terutama di zaman sekarang ini. Jangkauan dakwah semakin luas mencapai pelosok dunia. Dengan tekanan huruf-huruf pada alat komunikasi ini, seorang yang berada jauh dari tempat menuntut ilmu dapat turut mendapat manfaat dari tempatnya menetap.

Tentunya fenomena ini membuka lahan baru dunia dakwah, tidak hanya secara langsung di majelis-majelis ulama di suatu tempat tertentu, bahkan majelis tersebut bisa dihadiri oleh ribuan bahkan jutaan orang dengan perantara gadget ini. Namun ketidakpahaman beberapa da'i atau penuntut ilmu yag mencoba terjun ke lahan ini akan adab ber-gadget, bisa jadi malah menjauhkan manusia dari dakwah yang haq. Sungguh kelembutan disertai akhlaq yang baik dalam melayani pertanyaan ummat adalah wajib dimiliki bagi seseorang yang berdakwah di media ini. 

Rasulullah bersabda,

إِنَّالرِّفْقَ لاَيَكُونُ فِي شَيْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ يُنْزَ عُ مِنْ شَيءٍ إِلاَّ شَانَهُ

“Sungguh, segala sesuatu yang dihiasi kelembutan akan nampak indah. Sebaliknya, tanpa kelembutan segala sesuatu akan nampak jelek” [Shahih Muslim No.2594]



Perlu diingat bhw Gadget handheld itu adalah alat komunikasi milik pribadi, mencerminkan kepribadian penggunanya. Pendakwah yg memakai fasilitas ini, perlu mengetahui adab-adab dalam memakainya.



Berikut hal-hal yang perlu diperhatikan:

1. Jangan lupa ucapan salam ketika disapa oleh org di contact anda, tidak perlu menunggu org memberi salam dulu, yg lebih dahulu mk itulah yg terbaik,

RasulullahShallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

إِنَّ أَوْلَى النَّاسِ بِاللَّهِ مَنْ بَدَأَهُمْ بِالسَّلَامِ .

“Sesungguhnya orang yang paling utama bagi Allah, adalah orang yang lebih dulu memberikan salam." [Sunan Abi Dawud/Kitab Al-Adab/Bab fi Fadhl Man Bada`a bi As-Salam/hadits nomor 4522. Al-Baihaqi juga meriwayatkan hadits ini dalam Syu’ab Al-Iman(8518). Hadits shahih. Lihat; Shahih Sunan Abi Dawud (5197), Shahih At-Targhib wa At-Tarhib (2703), dan Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir (3774).]


2. Atur kata-kata anda layaknya sedang bertatap muka secara langsung dg lawan bicara anda. 

Gunakan "symbol emotion" yg tersedia utk mendukung realitas percakapan yg sedang berlangsung. Lontarkan emo senyuman pada lawan chatting anda. Senyum kepada lawan bicara, atau orang yang ditemui, akan mencairkan hati dan menimbulkan kebahagiaan. Tidak ada hati yang fitrah dan bersih kecuali pasti akan memberikan respon positif terhadap senyuman. Wajah yang penuh senyuman adalah akhlak Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. 

DariJarir bin Abdillah Radhiallahu’anhu : “Sejak aku masuk Islam, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak pernah menghindari aku jika aku ingin bertemu dengannya, dan tidak pernah aku melihat beliau kecuali beliau tersenyum padaku” [HR. Bukhari, no.6089.]


3. Bila pesan sudah anda "Read" maka segera anda jawab, lawan bicara tahu anda sudah membacanya dengan symbol "R", bila anda sedang tidak ingin menjawab, anda bisa katakan "nanti saya kembali pd anda  إن شاء الله ". 

Apakah org bertamu ke rmh, anda sudah melihatnya, namun anda tinggalkan begitu saja tanpa sepatah katapun? Ini tdk sopan!

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda: “Orang beriman yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaq-nya” [HR. Tirmidzi no.1162, ia berkata: “Hasan shahih”]




4. Ingatlah, anda mengemban dakwah salaf yang mulia, dan handheld itu milik pribadi anda, cermin diri anda (bagi org lain), maka beradablah dalam bekomunikasi dengan alat itu. Jangan membuat orang lari dari dakwah hanya karena anda tidak bisa menerapkan adab komunikasi elektronik ini.

Rasulullah bersabda,

يَسِّرُوْا وَلاَ تُعَسِّرُوْا، وَبَشِّرُوْا وَلاَ تُنَفِّرُوْا

“Mudahkanlah dan jangan kalian persulit, berilah kabar gembira dan janganlah kalian membuat orang lari” [HR. Al-Bukhari no. 69 dan Muslim no. 1734]


Bila adab di atas tdk bisa anda terapkan, maka lebih baik "BUANG GADGET ANDA", berdakwalah dengan jalan dimana anda bisa beradab di dalamnya. Karena bilamana anda tidak memiliki dan mengaplikasikan adab yang baik dalam menggunakannya, maka anda hanya akan merusak dakwah ahlussunnah.


Wabillahi taufiq, salam dan solawat kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabat beliau.


By: Abi Zam
Bandung, 7 Jumaddil 'akhir 1435 H
#BelajarIslam di: www.kisahrasulnabisahabat.blogspot.com

Friday, April 4, 2014

Tuesday, April 1, 2014

Meremehkan Sunnah Dengan Lisan Yang Kurang Terjaga


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

 

"Dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaknya ia berkata baik atau diam" [HR. Bukhari dan Muslim]

Meremehkan sunnah dengan lisan yang kurang terjaga. Sungguh hal ini merupakan satu fenomena yang sangat sering kita temui. Perbuatan lisan yang mengucapkan kalimat meremehkan Sunnah tidak lepas dari 3 keadaan:

  1. Tidak sengaja karena tidak tahu
  2. Tidak sengaja dalam rangka beramar ma’ruf nahi mungkar
  3. Sengaja karena menolak Sunnah tersebut

Berikut penjabaran 3 keadaan yang disebut di atas:

1. Tidak sengaja karena tidak tahu

Keadaan ini adalah keadaan yang paling banyak terjadi pada masyarakat awam yang jauh dari ilmu. Mereka tidak mengetahui apakah kata yang mereka keluarkan itu meremehkan Sunnah, bagaimana mungkin mereka tahu sedangkan Sunnah pun mereka tidak memahami arti, atau macamnya, apalagi hukumnya.


2. Tidak sengaja dalam rangka beramar ma’ruf nahi mungkar

Keadaan ini sering terjadi pada para da’i ataupun penuntut ilmu. Kondisi ini pun terbagi menjadi 2 sub keadaan, yaitu

-     Terjadi pada mereka yang terlalu bersemangat sehingga terkadang dengan ghiroh nya tersebut dalam beramar ma’ruf nahi mungkar, maka ia tidak sengaja mengeluarkan kalimat yang meremehkan suatu sunnah.
-     Terjadi pada mereka yang kurang bertafakur dan hanya focus pada tujuan pengucapan kalimat dan kurang memberi perhatian pada kandungan kalimat tersebut.

Sebagai contoh dari kesalahan ini misalnya kalimat:
“… Cuma modal jenggot dan celana cingkrang saja si fulan itu sudah berani berlagak paling nyunnah, akhlaqnya masih jauh dari sunnah”. 

Atau kalimat:
“… baru hapal sedikit hadits saja si fulan sudah berani mengeluarkan fatwa.”

Subhanallah.. jenggot dan celana cingkrang adalah perintah yang agung, tidaklah pantas digandengkan dengan kata “cuma” atau “hanya”. Begitupun dengan hapalan suatu ayat atau hadits, ini adalah suatu kebaikan yang agung. Tidaklah pantas bergandeng dengan kata yang justru merendahkan keagungannya. Sungguh dengan keterbatasan ilmu penulis, penulis belum pernah menemukan hadits dimana Rasulullah melakukan hal ini. Pernahkah Rasulullah mengucapkan kalimat yang meremehkan atau merendahkan suatu sunnah, walau untuk tujuan beramar ma’ruf nahi mungkar?

Seorang dai atau penuntut ilmu seharusnya dapat lebih arif dalam pemilihan kata demi mencapai maksudnya. Sebagai contoh, ia bisa mengucapkan kalimat:
“… sayang sekali si fulan, ia sudah berjenggot, celananya sudah cingkrang, sudah sesuai sunnah,  seharusnya akhlaqnya juga mengikuti adab yang  disunnahkan”.

Kalimat selanjutnya bisa diganti dengan:
“.. hapalan si fulan harus diperbanyak lagi, dengan memperbanyak ilmu, dengan ijin Allah ia baru bisa mengeluarkan pendapat yang mendekati kebenaran”

Kedua contoh kalimat tersebut mempunyai misi yang sama yaitu beramar ma’ruf nahi mungkar, namun sangatlah jauh bobot kandungannya. Yang satu beramar ma’ruf dengan kalimat yang mengandung peremehan terhadap suatu sunnah / suatu kebaikan. Yang satu lagi beramar ma’ruf dengan memuliakan sunnah / kebaikan yang telah dijalani pelaku yang akan dinasehati. Sungguh dampak nasehat yang dilontarkan pun jelas akan berbeda baginya. Orang yang akan dinasehati tidak kecil hati dengan kebaikan yang mungkin ia berjuang untuk dapat melakukannya, dan ia tidak merasa diremehkan karena dianggap kecil amalannya oleh orang lain. Bisa jadi karena kekecewaannya itu, ia meninggalkan sunnah yang telah ia lakukan tersebut. Sungguh Rasulullah telah memerintahkan dan menganjurkan kita agar senantiasa berlaku lemah lembut. 

- Rasulullah bersabda,

يَسِّرُوْا وَلاَ تُعَسِّرُوْا، وَبَشِّرُوْا وَلاَ تُنَفِّرُوْا

 

“Mudahkanlah dan jangan kalian persulit, berilah kabar gembira dan janganlah kalian membuat orang lari” [HR. Al-Bukhari no. 69 dan Muslim no. 1734]

- Rasulullah juga bersabda,

إِنَّالرِّفْقَ لاَيَكُونُ فِي شَيْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ يُنْزَ عُ مِنْ شَيءٍ إِلاَّ شَانَهُ

 

“Sungguh, segala sesuatu yang dihiasi kelembutan akan nampak indah. Sebaliknya, tanpa kelembutan segala sesuatu akan nampak jelek” [Shahih Muslim No.2594]

- Allah menjelaskan bahwa lemah lembut adalah sifat yang ada pada Rasulullah, hendaknya kita senantiasa berdoa dan berusaha agar Allah menganugerahkan sifat ini pada kita:

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللَّهِ لِنتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ

 

“Dengan sebab rahmat Allah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentu mereka menjauh dari sekelilingmu” [Ali Imran : 159]


3. Sengaja karena menolak Sunnah tersebut

Keadaan ini adalah keadaan orang-orang yang sesat jalannya. Ia memilih-milih sunnah mana yang ia sukai dan ia menolak sunnah yang ia tidak sukai dengan mencari dalih. Orang seperti ini memperturutkan hawa nafsunya, ia sesat dan menyesatkan. Semoga Allah menjaga kita dari perbuatan ini. Aamiin.

Wabillahi taufiq, salam dan solawat kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabat beliau.


By: Abi Zam
#BelajarIslam di: www.kisahrasulnabisahabat.blogspot.com

Thursday, February 20, 2014

Keutamaan Bulan-Bulan Haram


Sungguh Allah subhanahu wa ta'ala telah berfirman : 

(إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْراً فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ)

Artinya: "Sesungguhnya bilangan bulan disisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kalian menganiaya diri kalian dalam bulan yang empat itu." (At Taubah: 36)


Di dalam ayat yang mulia ini, Allah ta'ala telah menjelaskan pada kita bahwasanya bulan yang ada pada kehidupan kita di dunia ini berjumlah dua belas bulan. Dan diantara dua belas bulan tersebut ada empat bulan yang dinyatakan oleh Allah ta'ala sebagai bulan-bulan haram. Maka akan timbul di benak kita, apa yang dimaksud dengan bulan haram tersebut? dan apa saja bulan haram yang telah Allah nyatakan dalam ayat diatas? dan apa yang membedakan bulan haram dengan bulan-bulan lainnya? serta mengapa ia dinamakan dengan nama tersebut?

Insya Allah ta'ala para pembaca sekalian akan mendapatkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan diatas didalam tulisan yang ringkas ini, yang akan kita bagi menjadi beberapa sisi pembahasan, diantaranya:


1. Makna dari Bulan Haram

Bulan haram yang telah disebutkan oleh Allah ta'ala pada ayat diatas adalah semakna dengan apa yang telah disebutkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sebuah hadits yang shahih,

إن الزمان قد استدار كهيئته يوم خلق الله السماوات والأرض ، السنة اثنا عشر شهرا ، منها أربعة حرم ، ثلاث متواليات : ذو القعدة وذو الحجة والمحرم ، ورجب مضر الذي بين جمادى وشعبان

"Sesungguhnya zaman ini telah berjalan (berputar) sebagaimana perjalanan awalnya ketika Allah menciptakan langit dan bumi, yang mana satu tahun itu ada dua belas bulan. Diantaranya ada empat bulan haram, tiga bulan yang (letaknya) berurutan, yaitu Dzul Qa'dah, Dzul Hijjah, dan Muharram, kemudian bulan Rajab Mudhar yang berada diantara Jumada (Akhir) dan Sya'ban." 
(HR. Al Bukhari: 4385 dan Muslim: 1679)

Dalam hadits diatas, disebutkan secara terperinci apa saja bulan-bulan haram yang telah Allah sebutkan didalam ayatnya. Yaitu tiga bulan berurutan yang dimulai dari Bulan Dzul Qa'dah sampai bulan Muharram. Dan satu bulan yang terletak diantara bulan Jumada Akhir dan Sya'ban yaitu bulan Rajab. Itulah empat bulan yang telah dinyatakan oleh Allah dalam firman Nya,

مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ

"diantaranya ada empat bulan haram."


- Dan Asy Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah telah ditanya berkenaan dengan maksud dari bulan haram, dan mengapa ia dinamakan dengan haram, maka beliau menjawab:

الأشهر الحرم هي أربعة: رجب وذو القعدة وذو الحجة والمحرم؛ فشهر مفرد، وهو رجب، والبقية متتالية، وهي: ذو القعدة وذو الحجة ومحرم.
والظاهر أنها سميت حرماً؛ لأن الله حرم فيها القتال بين الناس؛ فلهذا قيل لها حرم؛ جمع حرام.

كما قال الله جل وعلا: إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِندَ اللّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَات وَالأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ، وقال تعالى: يَسْأَلُونَكَ عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيهِ قُلْ قِتَالٌ فِيهِ كَبِيرٌ، فدل ذلك على أنه محرم فيها القتال، وذلك من رحمة الله لعباده؛ حتى يسافروا فيها، وحتى يحجوا ويعتمروا.

"Bulan-bulan haram itu ada empat: Rajab, Dzul Qa'dah, Dzul Hijjah, dan Muharram. Satu bulan yang letaknya terpisah (dari yang lain) yaitu Rajab, sementara sisanya terletak berurutan, Dzul Qo'dah, Dzul Hijjah, dan Muharram.

Dan yang dzahir dari penamaan haram pada bulan-bulan tersebut karena Allah telah mengharamkan (melarang) kaum muslimin untuk berperang didalamnya, oleh karena itu disebut dengan hurum yang merupakan bentuk jamak dari haram. Sebagaimana firman Allah ta'ala (yang artinya):

"Sesungguhnya bilangan bulan disisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya ada empat bulan haram."

Dan juga firman Allah ta'ala (yang artinya):

"Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan haram. Katakanlah: "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar."

Maka (dari ayat diatas) menjelaskan pada kita tentang haram (dilarang) nya berperang dalam bulan-bulan tersebut, dan itu merupakan rahmat Allah terhadap segenap hambaNya, agar mereka bisa melakukan perjalanan (dengan aman) didalamnya, dan agar mereka bisa melaksanakan haji dan umrah pada bulan-bulan tersebut." (Majmu' Fatawa Ibn Baz, jilid ke-18, hal.433)


2. Keutamaan Bulan-Bulan Haram

Bulan-bulan ini telah dimuliakan oleh syari'at sebelum kita, yaitu pada syari'at nabi Ibrahim 'alaihi assalam dan hal tersebut berlanjut hingga di kalangan arab pada masa jahiliah, padahal mereka adalah orang-orang musyrik yang menyekutukan Allah didalam ibadah-ibadah yang mereka lakukan, akan tetapi mereka sangat mengagungkan bulan-bulan ini dan sangat menjaga diri mereka dari berbuat dosa dan kemaksiatan didalamnya.

Adalah Allah yang telah berfirman:

فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ

"Maka janganlah kalian menganiaya diri kalian dalam bulan (haram) yang empat itu."


- Dan sahabat yang mulia 'Abdullah bin 'Abbas radhiyallahu'anhu telah menjelaskan tafsir dari ayat diatas, beliau mengatakan:

أي فيهن كلهنَّ؛ ثم اختص منهنَّ أربعة فجعلهنَّ حرامًا وعظم حرماتهنَّ، وجعل الذنب فيهنَّ أعظم والعمل الصالح والأجر أعظم

"(Janganlah kalian menganiaya diri kalian) yakni pada seluruh bulan yang ada, kemudian dikhususkan dari bulan-bulan itu empat bulan yang Allah telah menjadikannya sebagai bulan-bulan haram, yang telah dilebihkan kedudukannya daripada bulan yang lain. Dan perbuatan dosa yang dilakukan didalamnya lebih besar dihadapan Allah, begitu juga amalan shalih yang dilakukan akan menghasilkan ganjaran yang lebih besar pula." (Lathaif Al Ma'arif: 124)

Inilah diantara keutamaan yang telah Allah turunkan pada bulan-bulan haram ini, dilipatgandakannya ganjaran dan balasan bagi seorang yang mengerjakan amalan shalih, sehingga seorang hamba akan bersemangat untuk terus berada di tengah-tengah amalan kebaikan. Begitu pula, ketika perbuatan dosa dan kemaksiatan menjadi lebih besar dihadapan Allah, maka akan mengantarkan dirinya kepada kekhawatiran dan ketakutan dari melakukan hal tersebut, karena akan adanya siksaan dari Allah ta'ala kelak di hari akhir, yang akan menjadikan dia selalu berusaha untuk menjauh dari perbuatan-perbuatan keji tersebut. Oleh karena itu, keutamaan ini akan menjadikan dirinya untuk selalu berusaha meraih keutamaan yang banyak dengan menjalankan keta'atan-keta'atan pada Allah dan menghindari seluruh keburukan dengan menjauhkan dirinya dari perbuatan dosa dan kemaksiatan serta melatih dirinya agar menjadi pribadi muslim yang selalu memegang teguh konsekwnsi keimanan dia kepada Allah dan Rasul-Nya.Yang mana perkara ini akan mengantarkan dirinya kepada puncak kemuliaan, yaitu tatkala ia diselamatkan oleh Allah ta'ala dari siksaan api Neraka dan dimasukkan ke dalam syurga-Nya.


3. Bulan Haram yang Ada di Hadapan Kita

Telah diketahui bersama bahwasanya pada hari-hari ini kita berada diantara bulan-bulan haram, yang merupakan akhir tahun dari penanggalan di kalender hijriah. Dan sungguh disadari ataukah tidak, pada saat ini pula kita berada di pintu gerbang bulan Muharram yang akan datang beberapa saat lagi jika Allah masih memberi izin kepada kita untuk menemui bulan yang mulia itu. Sungguh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda, ketika ada seorang yang datang kepada beliau dan bertanya tentang shalat yang paling utama dan puasa yang paling utama, maka beliau menjawab:

أفضل الصلاة بعد المكتوبة الصلاة في جوف الليل وأفضل الصيام بعد شهر رمضان الشهر الذي يدعونه المحرم

"Shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat di penghujung malam, dan puasa yang paling utama setelah bulan Ramadhan adalah pada bulan yang disebut dengan Muharram." 
(HR. Muslim: 1163)

Sungguh bulan Muharram yang telah dinyatakan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits diatas adalah bulan yang sangat dimuliakan oleh Allah dan para Nabi. Terkhusus pada hari kesepuluh dari bulan itu, yang lebih dikenal dengan nama hari 'Asyura. Bahkan nabi Nuh dan Musa 'alaihima assalam berpuasa pada hari tersebut, begitupula nabi kita Muhammad bin 'Abdillah shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai penutup para nabi, juga berpuasa pada hari itu dan memerintahkan kaum muslimin untuk turut berpuasa padanya. 

Sebagaimana dalam sebuah hadits shahih yang datang dari sahabat 'Abdullah bin 'Abbas, ketika beliau berkisah: Saat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam datang ke kota Madinah, maka beliau mendapati kaum yahudi berpuasa pada hari kesepuluh dari bulan Muharram, maka beliau bertanya pada mereka: "Mengapa kalian berpuasa pada hari ini?", mereka pun menjawab: "Ini merupakan hari dimana Allah ta'ala telah menyelamatkan Musa dari kejahatan Fir'aun dan bala tentaranya, dan pada hari ini pula Allah menenggelamkan mereka, maka Musa pun berpuasa dalam rangka bersyukur atas nikmat tersebut, dan kami pun berpuasa sebagaimana Musa berpuasa." Ketika mendengarkan jawaban itu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 

نحن أحق بموسى منكم فصامه وأمر بصيامه 

"Kami lebih berhak untuk mengikuti Musa daripada kalian", maka beliau berpuasa pada hari itu dan memerintahkan kami untuk berpuasa." (HR. Al Bukhari: 2004, dan Muslim: 1130)

Dari hadits diatas, maka terdapat silang pendapat dikalangan para ulama, apakah hukum berpuasa pada hari tersebut wajib ataukah mustahab? Dan yang lebih kuat dari penjelasan-penjelasan yang mereka utarakan adalah wajibnya berpuasa di hari 'Asyura sebelum turun kewajiban berpuasa kepada kaum muslimin di bulan Ramadhan, maka setelah turun kewajiban tersebut pada tahun kedua setelah hijrahnya Nabi 'alaihi ash shalatu wa assalam, maka berpuasa di hari Asyura pun berpindah hukumnya menjadi mustahab, karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:

إن عاشوراء يوم من أيام الله . فمن شاء صامه ومن شاء تركه

"Sesungguhya Asyura ini adalah satu hari diantara hari-hari yang dimilik oleh Allah ta'ala, maka bagi siapa yang hendak berpuasa maka baginya untuk berpuasa dan bagi siapa yang ingin meninggalkan maka baginya pula untuk meninggalkannya." (HR. Muslim: 1126)

Dan bagi mereka yang menjalankan ibadah puasa pada hari yang mulia ini, sungguh akan bergembira dengan sebuah hadits yang telah datang dari Abu Qatadah, tatkala ada seorang yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tentang berpuasa di hari 'Asyura, maka beliau bersabda:

أحتسب على الله أن يكفر السنة التي قبله

"Aku berharap kepada Allah agar puasa itu dapat menggugurkan dosa yang telah dilakukan pada tahun lalu." (HR. Muslim: 1162)

Maka dengan hanya berpuasa satu hari dapat menggugurkan perbuatan dosa yang pernah ia lakukan dalam satu tahun yang telah lewat. Inilah kemuliaan yang Allah turunkan pada hari 'Asyura, yang menunjukkan betapa luasnya kasih sayang Allah ta'ala terhadap seluruh hambaNya. Dan kemuliaan yang besar ini bisa digapai oleh setiap hambaNya yang ingin melangkahkan kakinya untuk berjalan kedepan mendapatkan ampunan dari Allah ta'ala.

Dan yang dimaksud dengan "menggugurkan dosa" pada hadits diatas adalah gugurnya dosa-dosa kecil. Adapun dosa besar, maka akan gugur dihadapan Allah ta'ala dengan taubat yang dilakukan oleh seorang hamba.


4. Beberapa Pelajaran Tambahan

Disana terdapat beberapa perkara yang perlu diketahui oleh kaum muslimin secara umum, dan terkhusus bagi mereka yang akan melaksanakan ibadah puasa 'Asyura (berpuasa di hari kesepuluh dari bulan Muharram), adalah :

Pertama : Melaksanakan puasa satu hari sebelumnya, yaitu pada tanggal sembilan Muharram, karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:

إذا كان العام المقبل إن شاء الله صمنا اليوم التاسع

"Jika masih mendapati tahun depan dengan izin Allah, maka aku akan berpuasa pada hari yang kesembilan." (HR. Muslim: 1134)

Akan tetapi takdir berbicara lain, karena Allah menakdirkan bahwa tahun tersebut adalah tahun dimana beliau mendapati ajalnya shallallahu alaihi wa sallam. 


Kedua : Bahwasanya hari 'Asyura dalam sejarah Islam melewati empat fase, yaitu:

  1. Tatkala Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berpuasa pada hari tersebut bersama kaum jahiliah di Mekkah.
  2. Tatkala beliau shallallahu 'alaihi wa sallam beranjak dari Mekkah menuju Madinah, dan mendapati kaum yahudi berpuasa pada hari Asyura. Maka beliau pun berpuasa dan memerintahkan para sahabatnya agar berpuasa pada hari tersebut.
  3. Setelah turunnya kewajiban untuk berpuasa di bulan Ramadhan, hukum berpuasa di hari 'Asyura menjadi mustahab dan bukan wajib.
  4. Diakhir hayatnya shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau berniat untuk berpuasa pada hari kesembilan dari Muharram guna menyelisihi kaum yahudi yang hanya mengkhususkan puasa mereka pada hari kesepuluh ('Asyura).


Ketiga : Telah ditanya Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al 'Utsaimin, dengan bentuk pertanyaan sebagai berikut :

ما تقولون في صيام يوم بعد عاشوراء و المشروع الصيام قبله، هل الصيام بعد عاشوراء ثبت به حديث صحيح عن الرسول صلى الله عليه و سلم؟
فأجاب فضيلته بقوله: في مسند الإمام أحمد: (صوموا يوما قبله أو يوما بعده خالفوا اليهود). و مخالفة اليهود تكون إما بصوم اليوم التاسع كما قال النبي صلى الله عليه و سلم: (لئن بقيت إلى قابل لأصومن التاسع). يعني مع العاشر، و تكون بصوم يوم بعده، لأن اليهود كانو يفردون اليوم العاشر، فتحصل مخالفتهم بصيام يوم قبله أو يوم بعده، و قد ذكر ابن القيم رحمه الله في زاد المعاد أن صيام عاشوراء أربعة أنواع:
١. إما أن يصوم اليوم العاشر وحده.
٢. أو مع التاسع. 
٣. أو مع الحادي العشر.
٤. أو يصوم الثلاثة، و صوم الثلاثة يكون فيه فائدة أيضا، و هي الحصول على صيام ثلاثة أيام من الشهر


" Apa pendapat anda tentang puasa yang dilakukan sehari setelah hari 'Asyura (pada tanggal sebelas Muharram,pen) dan disyariatkannya berpuasa pada hari sebelumnya (tanggal sembilan Muharram,pen)? Apakah berpuasa satu hari setelah hari 'Asyura (yaitu pada tanggal sebelas) telah datang hadits yang shahih dari Rasulullah 'alaihi ash shalatu wa assalam berkenaan dengannya?"


Maka beliau menjawab: "Dalam Musnad Al Imam Ahmad, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Berpuasalah kalian pada satu hari sebelum atau sesudahnya, dan selisihilah kaum yahudi." Dan penyelisihan terhadap kaum yahudi itu bisa direalisasikan dengan berpuasa pada tanggal sembilan, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam: "Jikalau aku masih ada hingga tahun depan, pasti aku akan berpuasa pada hari ke sembilan." yakni bersamaan dengan hari 'Asyura. Dan bisa juga dilakukan dengan berpuasa pada satu hari setelahnya (tanggal sebelas), karena yang dilakukan oleh kaum yahudi hanyalah berpuasa pada hari kesepuluh. Maka engkau telah menyelisihi mereka, tatkala engakau berpuasa pada satu hari sebelum ataupun setelahnya. 

Dan telah disebutkan oleh Ibnul Qayyim Rahimahullah dalam Zadul Ma'ad, bahwasanya berpuasa di hari Asyura itu ada empat macam:
  1. Berpuasa hanya pada tanggal sepuluh (Muharram).
  2. Atau bersamaan dengan tanggal sembilannya.
  3. Atau bersamaan dengan tanggal sebelasnya.
  4. Atau dengan berpuasa pada tiga hari tersebut, yang juga terdapat faedah didalamnya, yaitu puasa tiga hari dalam satu bulan." 
(Majmu' Fatawa wa Rasail Al 'Utsaimin: jilid ke-20, hal.38)


Maka dari pelajaran diatas, kita bisa mengambil kesimpulan bahwasanya amalan yang paling utama dalam hal ini adalah ketika ia melaksanakan puasa 'Asyura bersamaan dengan satu hari sebelum dan setelahnya, yakni pada hari ke sembilan, sepuluh, dan sebelas Muharram. Dan hal ini akan melahirkan kebaikan lainnya yaitu puasa tiga hari dalam sebulan, yang telah dinyatakan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa berpuasa tiga hari pada setiap bulan itu setara dengan seorang yang berpuasa sepanjang zaman. Kemudian yang berikutnya adalah puasa di hari 'Asyura dan satu hari sebelumnya, yakni pada hari kesembilan, dan sepuluh, dan inilah yang diniatkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Kemudian yang berikutnya adalah puasa di hari Asyura dan satu hari setelahnya, yakni pada hari kesepuluh dan sebelas. Dan yang terakhir adalah puasa yang hanya dilakukan pada hari Asyura, yaitu di hari kesepuluh pada bulan Muharram.

Pada Akhirnya, jika dalam tulisan yang ringkas ini ada yang mencocoki kebenaran maka segala puji bagi Allah ta'ala, dan tidaklah hal tersebut datang melainkan dari sisi-Nya dan dari pertolongan-Nya. Apabila disana terdapat kurangan dan kekeliruan maka itu semua bersumber dari diri kami pribadi yang tidak akan pernah luput dari kesalahan dan kedhaliman.

Medinah An Nabawiyyah, 26 Dzul Hijjah 1433

Download Software Penanggalan/Kalender Hijriah
Oleh : Al-ustadz Abdul Mu'thi bin Mughni karim

Saturday, February 8, 2014

Takut Kepada Allah Ta'ala


Semakin seorang berilmu, maka akan semakin besar rasa takutnya kepada Allah. Rasa takut inilah yang bisa menyelamatkan seseorang dari azab Allah yang pedih. Berikut salah satu bab dalam Kitab Riyadhus Shalihin karya Al Imam An-Nawawi tentang tentang rasa takut kepada Allah Ta'ala

Allah Ta'ala berfirman: "Dan kepadaKu, maka takutlah engkau semua!" (al-Baqarah: 40)

Allah Ta'ala berfirman pula: "Sesungguhnya tindakan siksaan Tuhannya itu adalah sangat dahsyatnya." (al-Buruj: 12)

Allah Ta'ala juga berfirman: "Dan demikianlah tindakan Tuhanmu jikalau menindak kepada penduduk negeri, yang mereka itu melakukan kezaliman, sesungguhnya tindakan penghukuman Allah itu adalah amat pedih dan keras. Sesungguhnya hal yang sedemikian itu niscaya merupakan keterangan untuk orang yang takut akan siksa hari akhir. Itulah hari yang seluruh manusia dikumpulkan dan itulah pula hari yang disaksikan. Tidaklah Kami akan mengundurkan hari itu, melainkan sampai waktu yang ditentukan. Yaitu pada hari yang tidak seorang pun akan berbicara, melainkan dengan izinNya dan diantara para manusia itu ada yang celaka dan ada pula yang berbahagia. Adapun orang-orang yang celaka, maka tempatnya adalah dalam neraka. Mereka di situ menarik nafas panjang dan mengerang." (Hud: 102- 106)

Allah Ta'ala berfirman lagi: "Dan Allah memperingatkan engkau semua akan kewajibanmu terhadap Allah sendiri -supaya tidak terkena siksanya-." (Ali-Imran: 28)

Juga Allah Ta'ala berfirman: "Pada hari seorang manusia lari meninggalkan saudaranya, ibu dan ayahnya, juga istri dan anak-anaknya. Setiap seorang pada hari itu mempunyai urusan yang membuat diri sendiri sibuk -dari urusan orang lain-." (Abasa: 34-37)

Allah Ta'ala berfirman lagi: "Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu, sesungguhnya pergoncangan hari kiamat itu adalah suatu peristiwa yang dahsyat. Pada hari itu engkau lihat perempuan yang menyusukan melupakan anak yang disusukannya, juga setiap perempuan yang mengandung melahirkan kandungan-kandungannya; engkau lihat pula seluruh manusia itu dalam keadaan mabuk, tetapi mereka itu sebenarnya tidaklah mabuk, meiainkan siksa Allah jualah yang sangat hebatnya." (al- Haj: 1-2)

Allah Ta'ala juga berfirman: "Dan orang yang takut di waktu berdiri di hadapan Tuhannya, ia akan memperoleh dua buah taman syurga." (ar-Rahman: 46)

Allah Ta'ala berfirman lagi: "Dan para ahli syurga setengahnya berhadap-hadapan dengan setengahnya sambil saling tanya menanyakan. Mereka berkata: "Sesungguhnya kita pada masa dahulu -ketika di dunia- merasa takut terhadap keluarga kita. Tetapi Allah mengkaruniakan kepada kita dan melindungi kita dari siksa angin yang amat panas. Sesungguhnya kita bermohon kepadaNya sejak saat sebelum ini, sesungguhnya Allah adalah Maha Pemberi karunia lagi Penyayang." (at-Thur: 25-28) 

Ayat-ayat dalam bab ini amat banyak sekali dan dapat dimaklumi, sedang tujuannya ialah untuk menunjukkan kepada bagian yang lainnya -sebagai penjelasan- dan begitulah hasilnya.


Dari Hadits Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam

Dari Ibnu Mas'ud radhiyallahu'anhu, katanya: "Kami diberitahu oleh Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam dan ia adalah seorang yang benar lagi dapat dipercaya, sabdanya: "Sesungguhnya seorang diantara engkau semua itu dikumpulkan kejadiannya dalam perut ibunya selama empat puluh hari sebagai mani, kemudian merupakan segumpal darah dalam waktu empat puluh hari itu pula, selanjutnya menjadi sekerat daging dalam waktu empat puluh hari lagi. Selanjutnya diutuslah seorang malaikat, lalu meniupkan ruh dalam tubuhnya dan diperintah untuk menulis empat kalimat, yaitu mengenai catatan rezekinya, ajal serta amalnya dan apakah ia termasuk orang celaka ataupun bahagia. Maka demi Zat yang tiada Tuhan selain daripadaNya, sesungguhnya seorang diantara engkau semua, sesungguhnya melakukan dengan amalan ahli syurga, sehingga tiada -batas- diantara dirinya dengan syurga itu melainkan hanya jarak sezira' -sehasta, tetapi telah didahului oleh catatan kitabnya, lalu ia melakukan dengan amalan ahli neraka, kemudian akhirnya masuklah ia dalam neraka itu. Dan sesungguhnya ada pula seorang diantara engkau semua itu, niscaya mengamalkan dengan amalannya ahli neraka, sehingga tidak ada -batas- antara orang itu dengan neraka, melainkan hanya jarak sezira' saja, tetapi telah didahului oleh catatan kitabnya, lalu ia mengamalkan dengan amalan ahli syurga dan akhirnya masuklah ia dalam syurga itu." (Muttafaq 'alaih)

Keterangan:
  • Dalam hadits ini ada beberapa hal yang perlu kita maklumi, yaitu: 
  • Malak -malaikat- yang dikirimkan ini, memang diserahi oleh Allah untuk melihat rahim ibu anak itu sejak ia berupa mani. Di waktu ini malak itu berkata: "Wahai Tuhan, apa dijadikan terus apa tidak? Kalau tidak terus ditakdirkan oleh Allah menjadi manusia, lalu dijadikan darah kotor yang terlempar sia-sia. Tetapi apabila memang dikehendaki jadi manusia, malak itu lalu berkata: "Wahai Tuhan, laki-lakikah atau perempuankah ini, bagaimana rezekinya, kapankah ajalnya (waktu meninggalnya), bagaimana kelakuannya dan di bumi mana ia nanti meninggal (di kubur)." Allah lalu berfirman: "Pergilah ke Lauh Mahfuzh, akan engkau temui semuanya." Malak itu lalu naik ke atas Lauh Mahfuzh dan mencatat semuanya. Jadi semua apa yang terjadi atas diri kita ini benar-benar telah digariskan oleh Allah menurut takdir yang dikehendaki. Tetapi kita tetap harus berusaha menjadi hamba Allah yang baik segala-galanya, sebab kita semua tentu tidak tahu takdir apa yang akan kita alami. Jadi marilah kita berusaha dan berikhtiar, sebab hanya di tangan Allahlah semua takdir itu. Kembali ke atas, yaitu sesudah anak itu ditulis semua ketentuan-ketentuannya, lalu 40 hari jadi nuthfah, 40 hari 'alaqah dan 40 hari lagi berupa mudhghah, kemudian ditiupkan ruhnya. Selanjutnya ialah sebagaimana firman Allah dalam al-Quran: "Lalu kami ubahlah mudhghah itu menjadi tulang-belulang, kemudian tulang-belulang itu kami beri daging, selanjutnya Kami lupakanlah -jadikanlah- suatu makhluk lain (yakni jadi manusia benar-benar). Maha Sucilah Allah itu, sebaik-baiknya Zat yang membuat." 
  • Yang meniupkan jiwa dalam tubuh manusia itu malak, tetapi ini tidak bererti bahwa malak yang memberi ruh kita, tetapi Allah jualah yang memberikan, hanya saja dengan tiupan malak itulah yang merupakan sebab musababnya manusia diberi ruh oleh Allah. Jadi tiupan ini hanyalah sebagai perantaraan belaka. Adapun ruh itu adalah benda halus yang hanya Allah saja yang Mengetahui akan keadaannya. Dalam al-Quran disebutkan: "Dan orang-orang itu sama bertanya padamu (Muhammad) tentang halnya ruh. Katakanlah: "Ruh itu adalah dari urusan Tuhanku. Engkau semua ini tidak diberi pengetahuan oleh Allah melainkan hanya sedikit sekali." 
  • Empat kalimat artinya empat ketentuan dari Allah. 
  • Maksudnya sehasta ialah karena sangat dekat jaraknya. Adapun Hadits-hadits yang menguraikan bab ini, maka amat banyak sekali pula. Maka dari itu kita akan menyebutkan sebagian dari Hadits-hadits itu, dan dengan Allah jualah datangnya pertolongan.
  • Dari Ibnu Mas'ud radhiallahu 'anhuma pula, katanya: Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Pada hari kiamat itu -yakni disaat seluruh hamba Allah sedang berdiri untuk dihisab atau diperhitungkan amalannya, didatangkanlah di Jahannam sebanyak tujuh puluh ribu kendali dan beserta setiap kendali ada tujuh puluh ribu malaikat yang sama menariknya." (Riwayat Muslim)

Dari an-Nu'man bin Basyir radhiallahu 'anhuma, katanya: "Saya mendengar Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya seringan-ringan siksa ahli neraka pada hari kiamat itu adalah seorang yang di bagian bawah kedua kakinya diletakkan dua buah bara api yang dengannya itu dapat mendidihlah otaknya. Orang itu tidak meyakinkan bahwa ada orang lain yang lebih sangat siksanya daripada dirinya sendiri -jadi ia mengira bahwa dirinya itulah yang mendapat siksa yang terberat-, padahal orang itulah yang teringan sekali siksanya." (Muttafaq 'alaih)

Dari Samurah bin Jundub radhiallahu 'anhuma bahwasanya Nabiyullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Di antara para ahli neraka itu ada orang yang dijilat oleh api neraka sampai pada kedua tumitnya, diantara mereka ada yang dijilat oleh api sampai kedua lututnya, ada juga yang sampai ke empat ikat pinggangnya dan ada pula yang sampai di tulang lehernya." (Riwayat Muslim) [Alhujzah ialah tempat mengikat sarung yang ada di bawah pusat. Dan Attarquwah dengan fathah ta' dan dhammahnya qaf ialah tulang yang ada di tengah leher dan setiap manusia itu mempunyai dua buah tulang tarquwah ini yang terletak di tepi lehernya.]

Dari Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma bahwasanya Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Seluruh manusia akan berdiri di hadapan Tuhan Seru sekalian alam -yakni berdiri bangun dari masing-masing kuburnya untuk diadili dan dihisab atau diperhitungkan amalannya sewaktu di dunia- sehingga diantara engkau semua itu ada orang yang tenggelam karena keringatnya sendiri sampai di pertengahan telinganya karena dahsyatnya keadaan, berdesak-desak serta amat teriknya matahari di saat itu. (Muttafaq 'alaih)

Dari Anas radhiallahu 'anhuma, katanya: "Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam mengucapkan sebuah khutbah yang saya tidak pernah mendengar suatu khutbah pun seperti itu -karena amat menakutkan-. Beliau shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Andaikata engkau semua dapat mengetahui apa yang dapat saya mengetahuinya, sesungguhnya engkau semua akan tertawa sedikit saja dan akan menangis banyak-banyak." Para sahabat Rasulullah s.a.w. lalu menutupi masing-masing wajahnya sambil terdengar suara isaknya. (Muttafaq 'alaih) Dalam riwayat lain disebutkan: Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam menerima berita bahwa ada sesuatu tentang sahabat-sahabatnya, lalu beliau berkhutbah, kemudian bersabda: "Ditunjukkanlah syurga dan neraka padaku maka belum pernah saya melihat sesuatu yang melebihi penglihatanku pada hari itu tentang bagusnya syurga dan buruknya neraka. Dan andaikata engkau semua dapat melihat apa yang dapat saya lihat, maka sesungguhnya engkau semua akan ketawa sedikit dan menangis banyak-banyak." Maka tidak pernah datang pada para sahabat Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam yaitu hari yang lebih dahsyat lagi dari hari itu -tentang ngerinya khutbah yang diberikan oleh beliau shalallahu 'alaihi wa sallam. Para sahabat sama menutupi masing-masing kepalanya sambil terdengar suara esaknya. [Alkhanin dengan menggunakan kha' mu'jamah ialah tangis dengan dengungan serta timbulnya suara esakan dari hidung.]

Dari al-Miqdad radhiallahu 'anhuma, katanya: "Saya mendengar Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Didekatkanlah matahari pada hari kiamat itu dari para makhluk hingga jarak matahari tadi adalah bagaikan sekadar semil saja." Sulaim bin 'Amir yang meriwayatkan hadits ini dari al-Miqdad berkata: "Demi Allah, saya sendiri tidak mengerti apa yang dimaksudkan dengan kata mil itu, apakah artinya itu jarak semil bumi ataukah mil yang artinya alat untuk mengambil celak -dari tempatnya- guna celak mata." Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam. bersabda seterusnya: "Maka keadaan manusia-manusia pada hari itu adalah menurut kadar masing-masing amalannya dalam banyak sedikitnya keringat -yang keluar dari badannya-. Di antara mereka ada yang berkeringat sampai di kedua tumitnya dan diantaranya ada yang sampai di kedua lututnya dan diantaranya ada pula yang sampai di tempat pengikat sarungnya yang ada di kedua lambungnya, bahkan diantaranya ada yang dikendalikan oleh keringat itu dengan sebenar-benarnya dikendalikan -yakni seperti kendali kuda yaitu keringat tadi sampai masuk ke mulut dan kedua telinganya-." Ketika menyabdakan ini Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam menunjuk dengan tangannya ke arah mulutnya." (Riwayat Muslim)

Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhuma bahwasanya Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Para manusia sama berkeringat pada hari kiamat, sehingga keringatnya itu turun dalam bumi sedalam tujuh puluh hasta dan keringat itu mengendalikan mereka hingga mencapai ke telinga-telinga mereka -mengendalikan maksudnya sampai ke mulut dan telinga seperti kendali." (Muttafaq 'alaih) [maknanya Yadzhabu fil-ardhi ialah turun dan menyelam.]

Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhuma pula, katanya: "Kita semua bersama Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam, tiba-tiba terdengarlah suara benda yang jatuh keras, lalu beliau bersabda: "Adakah engkau semua mengetahui suara apakah ini?" Kita semua berkata: "Allah dan RasulNya yang lebih mengetahui." Beliau shalallahu 'alaihi wa sallam lalu bersabda: "Ini adalah batu yang di lemparkan ke dalam neraka sejak tujuh puluh tahun yang lalu dan kini sudah sampai di dasar neraka itu. Maka dari itu engkau semua dapat mendengarkan suara jatuhnya." (Riwayat Muslim)

Dari 'Adi bin Hatim radhiallahu 'anhuma, katanya: "Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Tiada seorangpun dari engkau semua, melainkan akan diajak bicara oleh Tuhannya, tidak ada antara ia dengan Tuhannya seorang penerjemahpun -perantara sebagai juru bahasanya-. Orang itu lalu melihat ke arah kanannya, tetapi tidak ada yang dilihat olehnya, melainkan amalan yang telah ia lakukan dahulu saja -sebelum itu-, dan ia melihat ke arah kirinya, maka tidak ada yang dilihat olehnya melainkan amalan yang ia lakukan dahulu saja, seterusnya ia melihat ke arah mukanya, maka tidak ada yang dilihat olehnya melainkan neraka yang ada di hadapan mukanya itu. Maka dari itu, takutlah engkau semua pada siksa api neraka, sekalipun dengan jalan sedekah dengan belahan kurma." (Muttafaq 'alaih)

Dari Abu Zar radhiallahu 'anhuma, katanya: "Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya saya itu dapat melihat apa yang engkau semua tidak dapat melihatnya. Langit bersuara dan memang sepatutnyalah jikalau ia bersuara, sebab tiada tempat terluang selebar empat jari di langit itu, melainkan tentu ada malaikatnya yang meletakkan dahinya sambil bersujud kepada Allah Ta'ala. Demi Allah, andaikata engkau semua dapat melihat apa yang dapat saya lihat, nescayalah engkau semua akan ketawa sedikit dan pasti akan menangis banyak-banyak, juga engkau semua tidak akan merasakan berlezat-lezat dengan para wanita di atas hamparan, bahkan niscayalah engkau semua akan ke luar ke jalan-jalan untuk memohonkan pertolongan kepada Allah Ta'ala." [Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan ia mengatakan bahwa ini adalah Hadis hasan.]  Aththat dengan fathahnya hamzah dan syadahnya tha' dan taiththu dengan fathahnya ta' dan sesudahnya itu hamzah yang dikasrahkan, juga al-athithu, ialah suara sekedup atau tempat duduk di atas unta ataupun lain-lainnya. Maknanya ialah bahwasanya karena banyak malaikat yang ada di langit yang sama beribadah itu telah menyebabkan langit itu merasa berat, sehingga bersuara tadi, sedang ashshu'udat dengan dhammahnya shad dan 'ain artinya ialah jalan dan artinya taj-aruna ialah memohonkan pertolongan.]

Dari Abu Barzah -dengan menggunakan radhiallahu 'anhuma. kemudian zai- yaitu Nadhlah bin 'Ubaid al-Aslami radhiallahu 'anhuma, katanya: "Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Tidak henti-hentinya kedua kaki seorang hamba -di hadapan Allah- pada hari kiamat -untuk ditentukan-, apakah masuk syurga atau neraka, sehingga ia ditanya perihal umurnya, untuk apa dihabiskannya, perihal ilmunya, untuk apa ia melakukannya, perihal hartanya, dari mana ia memperolehnya dan untuk apa dinafkahkannya, juga perihal tubuhnya, untuk kepentingan apa dirusakkannya -yakni sampai matinya itu digunakan apa-." [Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan ia mengatakan bahwa ini adalah hadits hasan shahih.]

Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhuma, katanya: "Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam membaca -yang artinya-: "Pada hari itu -yakni hari kiamat- bumi akan memberitahukan kabar-kabarnya," kemudian beliau shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Adakah engkau semua mengetahui, apakah kabar-kabarnya itu?" Para sahabat berkata: "Allah dan RasulNya adalah lebih mengetahui." Beliau shalallahu 'alaihi wa sallam lalu bersabda: "Sesungguhnya kabar-kabar yang akan diberitahukan itu ialah bahwa bumi itu akan menyaksikan pada setiap hamba, lelaki atau perempuan, perihal apa yang dilakukan di atas bumi itu. Bumi akan mengucapkan: "Orang ini akan melakukan begini dan begitu pada hari ini dan itu. Inilah kabar-kabarnya." [Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, Sanad hadits ini dha 'if. Karena ada perawi yang bernama Yahya bin Abi Sulaiman Al Madani, orang yang lemah dalam periwayatan haditsnya. Lihat Adh-Dha'ifah hadits no. 4834 dan Takhrij Riyadhush-Shalihin Syu'aib Al Arnauth, hadits no. 408]

Dari Abu Said al-Khudri radhiallahu 'anhuma katanya: "Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Bagaimanakah saya akan dapat bersenang-senang sedang malaikat yang bertugas meniup terompet sudah meletakkan mulutnya pada ujung -mulut- terompet -sebagai tanda sudah dekatnya hari kiamat- sambil mendengarkan perintah, kapan saja ia diperintah untuk meniupnya itu, maka seketika itu pula ia akan meniupkannya." Berita yang sedemikian dirasakan amat berat sekali oleh para sahabat Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam, lalu beliau shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada mereka: "Ucapkan sajalah: Hasbunallah wa ni'mal wakil -yakni cukuplah kita semua menyerahkan diri kepada Allah dan Dia adalah sebaik-baiknya Zat yang diserahi." [Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan ia mengatakan bahwa ini adalah hadits hasan]. Alqarn ialah terompet yang difirmankan oleh Allah Ta'ala -yang artinya: Dan ditiuplah dalam terompet. Demikianlah yang ditafsirkan oleh Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam

Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhuma, katanya: "Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa yang takut bermalam, tentu ia terus berjalan di waktu malam -untuk pulang- dan barangsiapa yang berjalan malam-malam, tentu sampai di rumah. Ingatlah bahwasanya harta benda Allah itu adalah mahal sekali. Ingatlah bahwasanya harta benda Allah yang dimaksudkan itu ialah syurga." [Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan ia mengatakan bahwa ini dalah hadits hasan.] Adlaja dengan sukunnya dal, artinya ialah berjalan di waktu permulaan malam. Adapun maksudnya ialah supaya kita semua giat-giat untuk melakukan ketaatan kepada Allah. Wallahu a'lam.

Dari Aisyah radhiallahu 'anha, katanya: Saya mendengar Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Dikumpulkanlah sekalian manusia di padang mahsyar pada hari kiamat dengan telanjang kaki, telanjang tubuh dan tidak berkhitan kemaluannya." Saya bertanya: "Ya Rasulullah, kalau begitu kaum wanita dan kaum pria semuanya dapat melihat antara yang sebagian dengan sebagian yang lainnya." Beliau shalallahu 'alaihi wa sallam menjawab: "Hai Aisyah, peristiwa pada hari itu lebih sangat untuk menjadi perhatian mereka daripada memperhatikan orang lain." Dalam riwayat lain disebutkan: "Peristiwa pada hari itu lebih penting untuk diperhatikan oleh setiap orang -daripada yang sebagian melihat kepada sebagian yang lain-." (Muttafaq 'alaih) Ghurlan dengan dhammahnya ghain artinya tidak berkhitan.


Sumber:
Terjemah Riyadhush Shalihin - Jilid 1 & 2 - Pustaka Amani, Jakarta