Dzat yang kepada-Nya bumi juga telah berserah diri dengan memikul batu-batu yang berat
Dzat yang telah menjadikan bumi bulat
Dzat yang telah menciptakan bumi dengan sempurna
Dzat yang telah memancangkan gunung-gunung dengan kokoh di atasnya
Aku serahkan diriku kepada
Dzat yang telah menjadikan bumi bulat
Dzat yang telah menciptakan bumi dengan sempurna
Dzat yang telah memancangkan gunung-gunung dengan kokoh di atasnya
Aku serahkan diriku kepada
Dzat  yang kepada-Nya awan-awan telah menyerahkan diri dengan membawa air yang tawar
Ketika awan-awan itu dibawa ke suatu negeri, dia akan taat
lalu dia akan menurunkan hujan di atasnya…
 Dia memegang teguh janjinya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam  untuk memerangi kaum musyrikin di negeri Persia, sehingga melalui  tangannya dan juga tangan shahabat-shahabatnya, Allah pun memadamkan api  yang  menjadi sesembahan kaum Majusi ; dan berkat perjuangannya pula  para penduduk Persia beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dia memegang teguh janjinya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam  untuk memerangi kaum musyrikin di negeri Persia, sehingga melalui  tangannya dan juga tangan shahabat-shahabatnya, Allah pun memadamkan api  yang  menjadi sesembahan kaum Majusi ; dan berkat perjuangannya pula  para penduduk Persia beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Masa-masa akhir hayat Sa’id bin Zaid radhiyallaahu ‘anhu
Ketika awan-awan itu dibawa ke suatu negeri, dia akan taat
lalu dia akan menurunkan hujan di atasnya…
Zaid bin ‘Amr bin Nufail (ayah Sa’id bin Zaid radhiyallaahu ‘anhu) membawakan bait-bait syair tersebut, lalu dia memandang ke arah Ka’bah seraya berucap, “Aku datang untuk memenuhi panggilan-Mu, wahai Tuhanku. Aku datang untuk memenuhi panggilan-Mu dengan sebenar-benarnya.”
Zaib bin ‘Amr bin Nufail merupakan putra dari paman Umar bin Khattab radhiyallaahu ‘anhu. Dia hidup sebelum Islam datang dan sebelum diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. 
Dengan fitrah atau tabiatnya yang lurus, dia pun mendapat petunjuk  untuk menyembah Allah, sehingga dia tidak pernah menyembah  berhala-berhala ataupun menyembelih binatang untuk dipersembahkan kepada  berhala-berhala itu seperti yang biasa dilakukan oleh kaum musyrikin di  Mekah pada saat itu.
Perjalanan Iman Zaid bin Amr
Dia pernah berkata kepada penduduk Mekah, “Wahai kaum Quraisy,  Allah telah menurunkan hujan untuk kalian, menumbuhkan tanaman untuk  kalian, dan menciptakan kambing untuk kalian, tetapi mengapa kalian  menyembelih binatang-binatang ini untuk selain Allah? Bagaimana hal ini  bisa terjadi?” Mendengar ini, Khaththab bin ‘Amr bin Nufail pun berdiri dan memukul wajahnya, lalu dia berkata  kepadanya: ”Celakalah kamu, sungguh kita sudah terlalu bersabar terhadapmu.”
Selanjutnya, Khaththab menyiksanya dengan siksaan yang pedih, hingga  akhirnya Zaid pun terpaksa keluar dari Mekah. Dia tidak pernah kembali  ke Mekah, kecuali dengan sembunyi-sembunyi. Hal itu karena dia merasa  takut kepada pamannya, Khaththab ayah Umar radhiallahu ‘anhu.
Di Mekah Zaid bin ‘Amr mengadakan pertemuan dengan Waraqah bin  Naufal, ‘Abdullah bin Jahsy, dan Umaimah binti Harits (bibi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam). Selain mereka, dalam pertemuan itu ada juga ‘Ustman bin Huwairits. Zaid berkata kepada mereka, “Demi Allah, kalian semua telah  mengetahui bahwa kaum kalian telah menyimpang dari ajaran –ajaran agama  Ibrahim. Mengapa kita berthawaf mengelilingi batu yang tidak bisa  mendengar dan melihat serta tidak dapat memberikan mudharat dan juga  manfaat ? Wahai kaum, carilah agama untuk kalian semua. Demi Tuhan, kita  bukanlah apa-apa.”
Mereka kemudian berpencar ke segala penjuru negeri untuk mencari  agama yang benar. Adapun Waraqah bin Naufal telah memeluk agama Masehi,  sementara ‘Abdullah bin Jahsy dan ‘Utsman bin Huwairits masih  melanjutkan pencarian terhadap agama yang benar itu, hingga akhirnya  datanglah Islam. Abdullah bin Jahsy radhiallahu ‘anhu pun beriman dan masuk Islam, hingga akhirnya dia terbunuh sebagai syahid dalam perang Uhud, lalu dia dijuluki dengan julukan Asy-Syahid Al-Mujadda’ (syahid yang tangannya terpotong).
Zaid bin ‘Amr yang telah pergi ke negeri Syam untuk mencari agama Ibrahim ‘alaihissalam,  hingga akhirnya dia bertemu dengan seorang pendeta di Syam. Dia  menceritakan hal itu kepada pendeta tersebut. Sang pendeta pun berkata, “Sesungguhnya  kamu sedang mencari agama yang sudah tidak ada. Oleh karena itu,  pulanglah ke Makkah, karena sesungguhnya Allah akan mengutus kepada  kalian orang yang memperbaharui agama Ibrahim itu. Pergilah, lalu  berimanlah kepadanya dan ikutilah dia!”
Ketika Zaid masih berada dalam perjalanan menuju Makkah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam  telah diutus sebagai rasul. Saat itu Zaid belum mengetahui bahwa  Rasulullah telah diutus. Sayangnya, kematian telah lebih dulu  menjemputnya sebelum dia beriman. Dia telah dibunuh oleh sebagian orang  Badui (Arab pedalaman).
Ketika kisah ini diceritakan kepada nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau pun menceritakan tentang sosok Zaid, “Sesungguhnya dia akan dibangkitkan pada hari kiamat (nanti) seorang diri sebagai satu umat (yang terpisah).”
Menjelang hembusan nafas terakhirnya, Zaid berkata, “Ya Allah,  jika Engkau memang tidak menghendaki kebaikan ini (agama Islam) untukku,  maka janganlah Engkau halangi anakku (Sa’id) darinya.” Doa Zaid ini masih menggantung di antara langit dan bumi, hingga pada  suatu hari ketika Sa’id sedang berada di Makkah, dia mengetahui bahwa  Rasulullah telah diutus. Karenanya, dia beserta istrinya, Fatimah binti  Khaththab, yang merupakan saudara perempuan ‘Umar bin Khaththab, segera  beriman kepada Rasulullah  Shallallahu ‘alaihi wasallam. Keislaman mereka berdua itu terjadi pada awal munculnya Islam, sebelum masuknya Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wasallam ke dalam rumah Arqam bin Abi Arqam (Daarul Arqam).
Said masih merahasiakan keimanannya dan dia sangat sabar menghadapi siksaan  yang berasal dari kaumnya, sehingga dia pun tidak diusir dari Makkah, seperti yang dialami  sebelumnya oleh orang tuanya. Akan tetapi kemudian, Umar mengetahui keimanan Sa’id. Umar pun bermaksud membunuhnya, lalu  dia memukulnya hingga darah mengalir dari wajah Sa’id . Akan tetapi,  kesabaran Sa’id dalam menghadapi sikap Umar inilah yang menjadi salah  satu faktor penyebab masuknya Umar radhiyallahu ‘anhu ke dalam Islam.
Sa’id pergi berhijrah ke Madinah bersama istrinya, Fathimah. Sebelum terjadinya perang Badar, Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wasallam  telah memilihnya dan mengutusnya untuk pergi bersama Thalhah bin  Ubaidillah radhiyallahu ‘anhu dengan tujuan agar dia mengetahui jumlah pasukan kaum  musyrikin dan mematai gerak-gerik mereka. Oleh karena itu, Sa’id pun  tidak ikut serta dalam peperangan Badar. Akan tetapi, Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wasallam  telah memberinya bagian  ghanimah (harta rampasan) yang diperoleh dalam  perang tersebut. Dia dianggap seperti orang yang ikut serta dalam  perang itu. Setelah itu Sa’id ikut serta dalam setiap peperangan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.  Dia bertempur dengan menggunakan pedangnya dan beriman dengan  menggunakan hatinya. 
Pada suatu hari dia pernah berada bersama  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di gua Hira’ dengan para shahabat lainnya. Ketika itu tiba-tiba gunung  Hira bergetar, maka nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tenanglah, wahai Hira’, karena sungguhnya tidak ada yang berada di  atasmu, kecuali seorang nabi, seorang yang sangat jujur (ash-shiddiq),  dan seorang syahid.”
Ketika orang-orang bertanya kepada Sa’id, “Siapa sajakah yang bersamamu pada saat itu ?” Sa’id pun menjawab, “Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Zubair, Thalhah, ‘Abdur Rahman bin ‘Auf, dan Sa’ad bin Malik.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda tentang Sa’id: “Sa’id bin Zaid di surga.”
Sa’id merupakan salah satu dari sepuluh orang yang mendapat kabar gembira bakal masuk surga. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala meridhoinya.
Jihad
 Dia memegang teguh janjinya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam  untuk memerangi kaum musyrikin di negeri Persia, sehingga melalui  tangannya dan juga tangan shahabat-shahabatnya, Allah pun memadamkan api  yang  menjadi sesembahan kaum Majusi ; dan berkat perjuangannya pula  para penduduk Persia beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dia memegang teguh janjinya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam  untuk memerangi kaum musyrikin di negeri Persia, sehingga melalui  tangannya dan juga tangan shahabat-shahabatnya, Allah pun memadamkan api  yang  menjadi sesembahan kaum Majusi ; dan berkat perjuangannya pula  para penduduk Persia beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Setelah penaklukan terhadap negeri Persia selesai, Sa’id tidak  tinggal diam. Dia mengangkat pedang dan barang-barangnya untuk pergi ke  negeri-negeri lain yang sedang di perangi oleh kaum muslimin. Kali ini  sasarannya adalah negeri Syam dimana pada saat itu sedang berlangsung  pertempuran yang sangat menentukan antara kaum  muslimin dengan bangsa  Romawi, yaitu perang Yarmuk.
Di atas kertas, nampaknya kemenangan lebih dekat kepada pasukan  Romawi, karena jumlah mereka sangat banyak, sementara jumlah kaum  muslimin sangat sedikit. Kekalahan bangsa Romawi berarti jatuhnya negeri Syam secara  keseluruhan ke tangan kaum muslimin. Karenanya, kedua pasukan itu pun  sama-sama mempersiapkan dirinya sebaik mungkin untuk menghadapi  pertempuran ini. Pasukan Romawi datang dengan jumlah personel seratus  dua puluh ribu pasukan, sedangan jumlah pasukan kaum muslimin hanya dua  puluh empat ribu pasukan saja. Kedua pasukan ini saling  berhadap-hadapan.
Para pendeta dan uskup datang sambil membawa salib-salib mereka  sambil mengeraskan suara mereka untuk membaca doa-doa. Ketakutan pun  merasuk ke dalam hati kaum muslimin ketika pasukan Romawi  mengulang-ulang doa-doa tersebut. Suara mereka laksana gunung-gunung  yang bergeser dari tempatnya.
Pemimpin kaum muslimin yang bernama Abu Ubaidah bin Jarrah berdiri untuk memberikan khutbah kepada kaum muslimin. Dia berkata, “Wahai hamba-hamba Allah,  tolonglah Allah, niscaya Allah akan menolong kalian dan meneguhkan  kaki-kaki kalian. Bersabarlah, sesungguhnya kesabaran akan menyelamatkan  kalian dari kekufuran dan akan menyebabkan kalian diridhai oleh Tuhan.  Tetaplah kalian diam sampai aku memberikan perintah kepada kalian.  Ingatlah selalu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Diantara kaum muslimin, keluarlah seorang laki-laki. Dia berkata kepada Abu Ubaidah, “Wahai  Abu Ubaidah, sekarang aku akan pergi dengan harapan aku dapat gugur  sebagai syahid dan aku akan keluar untuk memerangi mereka. Apakah kamu  mempunyai pesan yang akan kamu kirimkan kepada Rasulullah shallallahu  ‘alaihi wasallam ?”
Abu Ubaidah menjawab, “Ya. Kirimkan salam dari kami untuk beliau,  dan katakan kepada beliau bahwa kami telah mengetahui bahwa apa yang  dijanjikan oleh Tuhan kami kepada kami adalah benar.”
Melihat itu, Sa’id bin Zaid radhiallahu ‘anhu pun berkata, “Ketika  aku melihat lelaki tersebut telah menaiki kudanya, menghunus pedangnya,  dan melesat menuju musuh-musuh Allah guna memerangi mereka, aku pun  meletakkan lututku ke tanah, lalu aku melemparkan anak panahku ke arah  seorang anggota pasukan berkuda dari bangsa Romawi. Saat itu Allah  menghilangkan rasa takut dari dalam hatiku. Maka, aku pun langsung masuk  menembus barisan musuh. Aku memerangi mereka hingga Allah Subhanahu wa  Ta’ala memberikan kemenangan kepada kami.”
Abu Ubaidillah telah mengetahui dengan baik kesungguhan keimanan  Sa’id. Karenanya Abu Ubaidillah pun menyerahkan misi penaklukan Damaskus  kepada Sa’id, lalu dia menjadikan Sa’id sebagai wali (gubernur) disana.  Ketika semua orang yang hidup pada masanya sudah berpulang keharibaan   Allah, Sa’id bin Zaid radhiyallahu ‘anhu  masih tetap hidup sampai masa Dinasti Bani  Umayyah.
Pada masa Dinasti Bani Umayyah, Sa’id bin Zaid menangisi  shahabat-shahabat Islam yang telah meninggal sebelumnya. Tinggalah dia  seorang diri menyaksikan terjadinya fitnah (kerusuhan) dan menyaksikan  bagaimana kehidupan dunia dengan segala macam perhiasannya telah masuk  ke dalam hati kaum muslimin, maka Sa’id pun lebih memilih untuk kembali  ke Madinah dan tinggal disana. Pada waktu itu yang menjadi gubernur di  Madinah adalah Marwan bin Hakam bin ‘Ash.
Saat itu seorang wanita yang bernama Arwa binti Uwais keluar, lalu dia berkata, “Sesungguhnya Sa’id telah mencuri tanahku dan telah memasukkannya ke bagian tanahnya.” Sungguh  perkataan itu sangat menyakitkan hati Sa’id bin Zaid, sahabat  Rasulullah dan salah satu dari sepuluh orang yang mendapat kabar gembira  berupa surga. Karenanya, Sa’id pun berkata, “Ya Allah, jika dia berbohong, maka hilangkanlah penglihatannya dan bunuhlah ia di tanahnya sendiri.” Seketika itu pula hujan turun dari langit sampai diperbatasan tanah  yang menurut wanita itu Sa’id telah melampaui batas tersebut. Seketika  mata wanita itupun menjadi buta dan hanya selang beberapa hari, wanita  itu terjatuh dalam sebuah lubang  yang  berada di tanah miliknya hingga  dia meninggal dunia. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengabulkan doa Sa’id bin Zaid yang terzhalimi dan telah dituduh sebagai seorang pembohong dan pendusta.
Pada suatu pagi penduduk Madinah dikagetkan oleh suara seorang pelayat yang menangisi kepergian Sa’id bin Zaid radhiallahu ‘anhu.  Peristiws itu terjadi pada masa kekhalifahan Muawiyah bin  Abi Sufyan,  tepatnya pada tahun ke-50 Hijriyah. Dia di kuburkan oleh Sa’ad bin Abi  Waqqash radhiallahu ‘anhu dan ‘Abdullah bin ‘Umar radhiallahu ‘anhu.
Teririmg doa untuk belioau, semoga kita dapat meneladani.
Tata Cara Sholat Nabi Muhammad : 
Click Link di bawah ini !

 
No comments:
Post a Comment
Seorang mukmin bukanlah pengumpat, pengutuk, berkata keji atau berkata busuk. (HR. Bukhari dan Al Hakim)